"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
bab 35
"Kenapa kau menembak ke arahku?!" seru Ariella dengan nada marah yang berusaha menyembunyikan ketakutannya.
Carlton mendesah panjang, menatap tajam ke arahnya. Lalu pria itu menunjuk ke arah sisi Ariella, tempat seekor ular berwarna hitam tergeletak tak berdaya.
"Aku hanya mencoba menyelamatkanmu."
Ariella nyaris tidak berkedip.
"Lagi?"
Wajah Carlton datar.
"Kau berada di area latihan menembak, dan kelinci sialan itu melompat tepat di jalur bidikanku. Kalau saja aku tahu kau akan berlari seperti orang bodoh mengejar kelinci di sana, aku tidak akan membiarkanmu keluar dari mansion."
"Apakah sebelumnya kau berniat membunuh kelinci itu?"
Carlton mendengus.
"Benar, lalu aku melihat ular itu berada di kakimu."
"Aku melihatmu tadi. Jelas-jelas kau berniat menembak ke arahku."
Carlton menyeringai.
"Aku hanya sedang bermain."
Ariella merasa darahnya mendidih. Ia tahu ia salah, tapi ucapan Carlton membuatnya merasa marah.
"Kau seharusnya memperingatkanku! Apa kau pikir aku tahu bahwa tempat ini digunakan untuk bermain-main dengan senapan?!"
Ariella mencoba bangkit, sepertinya ia pingsan selama beberapa detik saja karena terlalu terkejut, dan sadar secepat ia pingsan.
Meskipun begitu, tubuhnya masih terasa lemas.
"Bermain-main?" Carlton tertawa sinis.
"Aku tidak bermain-main. Kegiatan ini adalah latihan yang serius. Hanya orang bodoh yang tidak memahami batasan wilayah di tempat ini."
Ariella mengerutkan kening, menahan dorongan untuk membalasnya. "Kau tidak perlu berbicara seolah aku adalah tahananmu. Lagi pula aku tidak tahu kau ada di sini!"
"Aku baru akan mulai menembak ketika kau muncul."
Carlton mendekatkan wajahnya ke wajah Ariella, membuat gadis itu terdiam seketika.
Mata Carlton tajam, seperti mata predator yang siap menerkam mangsanya. "Kau memang tahananku, Ariella. Jangan pernah lupakan itu."
Ariella bergidik. Tatapan Carlton tidak hanya membuatnya merasa seperti mangsa, tapi juga seperti seseorang yang sepenuhnya tidak berdaya di hadapan sosok itu.
Ia menguatkan hatinya, mencoba menahan pandangannya agar tidak berpaling.
Carlton berdiri, lalu meraih Ariella agar mengikutinya.
"Kembali ke mansion. Jangan membuat ulah!"
Ariella mengepalkan tangannya.
Ia menunjuk ke bawah.
"Carlton, ada ular di sepatumu."
Carlton termakan umpan.
Lalu, setelah itu Ariella berlari sangat kencang menuju padang rumput yang luas.
"Nona!" Pelayan yang tadi berada di sana mencoba mengejar, tetapi Carlton melarangnya.
"Aku yang akan mengejarnya, kurasa dia pantas dihukum. Biarkan saja dia."
Setelah menunggu sekitar 20 menit, Carlton berlari mengejar Ariella.
Di sisi lain, Ariella berlari sekuat tenaga menuju wilayah yang lebih rimbun dengan pepohonan besar. Di sana ada jalan setapak, dan Ariella berjalan mengikuti jalan itu, yang seolah tiada habisnya.
Itu mungkin bisa digunakan untuk jalur berkuda, di depan sana ada danau buatan yang dikelilingi pagar besi, sangat besar dengan air jernih yang bergelombang terkena angin, dan Ariella melihat seekor buaya tengah berada di tepinya, tertidur sambil membuka mulut. Ia bergidik, berusaha keras agar tidak mendekati danau.
Senja perlahan berubah jadi kelabu, tanda bahwa sebentar lagi petang akan tiba. Ariella terengah-engah, ia hampir kehabisan napas dan saat itu barulah ia menyadari bahwa ia entah berada di mana.
"Aku berlari tak tentu arah, sekarang aku di mana? Astaga! Aku tersesat? Bagaimana kalau Carlton sengaja melepaskan harimau-harimau itu agar memakanku?"
Ariella menjadi panik dan hampir menangis, namun secara mendadak Carlton tahu-tahu saja muncul.
"K-kau!"
Carlton tidak mengatakan apa-apa, tetapi pria itu meraih tangan Ariella, mendorongnya sampai punggung gadis itu menyentuh permukaan kasar batang pohon besar.
"Sudah lelah berlari?"
Ariella masih tersengal-sengal karena berlari.
Untuk sepersekian detik kemudian Carlton mendekatkan wajahnya ke wajah Ariella. Gadis itu mencoba melawan, tetapi sekali lagi. Ariella tidak berdaya.
"Katakan padaku, Ariella. Katakan padaku bahwa kau bersedia menikah denganku."
"Kau akan menikah dengan gadis yang akan dijodohkan kakekmu, dan kau berencana menjadikanku seorang gundik?"
"Daripada hidup di jalanan tanpa tujuan, lebih baik kau menjadi gundikku. Makanan, pakaian, tempat tinggal. Kau akan memiliki semuanya. Kau tidak akan kekurangan apa pun jika kau bersedia menjadi milikku."
"Tidak, aku tidak mau!"
"Kau hanya perlu mengandung untukku, kau bahkan tidak perlu bekerja lagi."
"Dari banyaknya gadis cantik di luar sana, kenapa kau menginginkan aku?"
"Karena kau mirip dengan Ruby." Jawaban Carlton seketika membuat Ariella terdiam.
Matanya menatap Carlton dengan kebingungan.
"Siapa dia?"
"Jangan banyak bertanya."
"Kenapa kau tidak menikah dengannya saja?"
"Tidak bisa, karena dia sudah lama mati."
Mendengar itu, Ariella semakin tidak terima.
"Kau menginginkan aku hanya karena aku mirip teman masa kecilmu? K-kau benar-benar tidak waras!"
"Dan kau perempuan naif."
"Pria aneh!"
"Kapan kau akan menyerah untuk melarikan diri dariku?"
"Sampai aku berhasil."
"Kalau begitu kau harus berusaha lebih keras lagi."
"Tentu saja, aku tidak akan menyerah. Aku akan--hmmppp."
Ariella tidak diizinkan menyelesaikan kalimatnya. Carlton langsung membungkamnya. Rahangnya bahkan direngkuh agar tidak bergerak.
Tubuh perempuan itu seketika menegang, ia terpana merasakan ketegasan serangan Carlton di mulutnya, begitu tegas, mendominasi, sampai ia tak dapat bernapas dengan benar.
"Mmmpph!"
Setelah beberapa lama, Carlton melepaskan diri agar Ariella mengais oksigen.
"Mulut kecilmu itu harus dihukum," ucap Carlton menyeringai. Ia menikmati bagaimana napas itu naik turun dengan wajah yang memerah. "
Masih mau melawanku?"
"Tentu saja, kau--hmmpttt."
Sekali lagi, Carlton menyerang Ariella.
Gadis itu berusaha keras melawan, mendorong dada Carlton sekuat tenaga, tapi pria itu seperti batu cadas di pegunungan, tak tergoyahkan.
Napasnya tertahan, dan tubuhnya gemetar hebat antara marah, takut, dan perasaan yang tak mampu ia definisikan. Ketika akhirnya Carlton melepaskan diri, Ariella tersengal, matanya dipenuhi air mata. Ia menampar pipi Carlton dengan keras.
Plak!
"Dasar pria tak tahu malu!" serunya, suaranya bergetar oleh emosi.
Carlton hanya menatapnya, wajahnya tak menunjukkan rasa sakit atau marah. Ia justru tersenyum kecil, senyum dingin yang membuat darah Ariella mendidih.
"Kau terlalu keras kepala, Ariella," katanya dengan nada santai. "Tapi aku menyukainya. Itu membuat permainan ini semakin menarik."
"Permainan?!" Ariella hampir berteriak.
"Kau pikir hidupku ini mainanmu? Aku bukan boneka, Carlton! Aku manusia, dan aku tidak akan pernah tunduk padamu!"
Carlton memiringkan kepalanya sedikit, seperti sedang mempertimbangkan ucapannya.
"Kau benar. Kau bukan boneka. Kau lebih seperti kucing liar-selalu mencakar dan mencoba melarikan diri, tapi tahukah kau apa yang dilakukan pemilik kucing liar? Ya, mereka akan menjinakkannya."
Mendengar itu, Ariella merasa darahnya membeku. Carlton tidak hanya mengancam kebebasannya, tapi juga martabatnya.
"Aku tidak akan pernah menjadi milikmu, Carlton. Tidak peduli seberapa keras kau mencoba."
Carlton tidak merespons langsung. Ia hanya menatapnya, matanya yang dingin seperti mencoba menembus jiwa Ariella.
"Kau pikir itu akan membuat pria penuh ambisi ini menyerah?"
Sebelum Ariella dapat mengatakan apa-apa, untuk yang ketiga kalinya hari itu. Carlton menyerang Ariella, menekan bibirnya dengan tegas dalam dan mendominasi.