Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 AWAL KEPERCAYAANNYA.
“Kamu nggak capek, bolak-balik ke sini tiap hari?” tanya Cintia, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Namun, ada sedikit kerutan di dahinya, seperti ia benar-benar penasaran.
Araf tertawa kecil, renyah, seperti angin sore yang lembut. “Capek sih. Tapi aku suka ngobrol sama kamu. Jadi, ya, nggak apa-apa.”
Cintia menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan senyum tipis di sudut bibirnya. Ia tidak terbiasa dengan perhatian seperti ini. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang diinginkan Araf? Tidak ada orang yang bersikap baik tanpa alasan, pikirnya. Dunia terlalu kejam untuk itu.
“Kalau kamu suka ngobrol, kenapa nggak ngobrol sama orang lain aja?” Cintia mencoba terdengar santai, meskipun nada bicaranya sedikit tajam. “Di sini banyak orang yang lebih menarik daripada aku.”
Araf menatapnya, matanya tajam tapi lembut. “Karena aku suka ngobrol sama kamu. Kamu menarik, Cin.”
Cintia terdiam. Kata-kata itu seperti pukulan kecil di dadanya, membuatnya sesak. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Ia menarik napas panjang, lalu berdiri dari kursinya di depan toko. “Aku harus kerja,” katanya singkat, berusaha menghindari kontak mata.
“Cin,” panggil Araf, membuat langkah Cintia terhenti. Ia berbalik, menatap Araf dengan alis terangkat, menunggu. “Aku nggak pernah maksa kamu buat percaya sama aku. Tapi aku harap, suatu hari nanti, kamu bisa lihat kalau aku nggak ada maksud apa-apa selain pengen bantu kamu.”
Kata-kata itu membuat dada Cintia terasa berat. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk kecil, lalu melangkah masuk ke dalam toko. Di dalam, Bu Rini sudah berdiri di balik meja kasir, mengamati mereka dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Raf lagi, ya? Dia emang perhatian banget sama kamu, Cin,” gumam Bu Rini sambil menyusun barang-barang di rak.
“Bu, bisa nggak jangan ikut campur?” balas Cintia cepat. Ia tahu arah pembicaraan ini dan tidak ingin mendengarnya.
Bu Rini mengangkat bahu, tersenyum jahil. “Aku cuma bilang, dia kayaknya beneran suka sama kamu. Nggak semua laki-laki kayak bapak kamu, Cin. Kadang ada juga yang baik.”
Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Cintia berhenti sejenak, menggenggam erat tangan di sisinya. Bapak. Nama itu selalu membawa kenangan buruk, luka yang belum sembuh. Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan pekerjaannya dengan ekspresi datar.
Hari itu, sore Tamansari terasa lebih sejuk dari biasanya. Matahari mulai turun, mewarnai langit dengan semburat jingga. Cintia duduk di atas batu besar di tepi pantai, tempat favoritnya sejak kecil. Ia memandangi ombak yang bergulung pelan, mencoba meredakan pikirannya yang kacau.
“Boleh duduk di sini?” Suara Araf menghentikan lamunannya.
Cintia menoleh, mendapati Araf berdiri di dekatnya, membawa dua botol air mineral. Ia tidak menjawab, hanya memberi isyarat dengan tangannya agar Araf duduk.
Araf menyerahkan satu botol padanya. “Buat kamu. Udah lama di sini?”
“Lumayan,” jawab Cintia singkat, membuka botol itu dan meneguknya perlahan.
Mereka terdiam sejenak, hanya suara ombak yang menemani. Araf tidak mencoba memulai pembicaraan, membiarkan Cintia menikmati kesunyian. Itu salah satu hal yang diam-diam ia sukai darinya—Araf tidak pernah memaksakan dirinya.
“Aku nggak ngerti kenapa kamu terus datang,” kata Cintia tiba-tiba. Suaranya pelan, tapi ada nada tajam di dalamnya. “Aku udah bilang, aku nggak butuh siapa-siapa.”
Araf menoleh, menatapnya dalam-dalam. “Kamu serius nggak butuh siapa-siapa, Cin? Atau kamu cuma takut buat percaya lagi?”
Cintia mendengus, menunduk. “Percaya itu cuma bikin sakit hati. Aku udah cukup tahu rasanya dikhianati.”
Araf mengangguk pelan, tidak menghakimi. “Aku ngerti. Aku juga pernah ngerasa kayak gitu.”
Cintia mengangkat wajah, menatapnya dengan mata menyipit. “Pernah? Kamu nggak tahu apa-apa soal aku, Raf. Kamu nggak tahu rasanya hidup kayak aku.”
“Ceritain,” sahut Araf pelan, tapi tegas. “Aku mau tahu.”
Cintia terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini, ia selalu menyimpan lukanya sendiri, tidak pernah berbagi dengan siapa pun. Tapi tatapan Araf begitu tulus, membuat hatinya yang dingin sedikit hangat.
“Aku...” Cintia ragu, suaranya nyaris berbisik. “Aku nggak tahu gimana caranya percaya, Raf. Semua orang yang aku percaya... mereka selalu nyakitin aku.”
Araf tidak langsung menjawab. Ia membiarkan Cintia berbicara, memberinya ruang.
“Bapak aku...” Cintia berhenti, suaranya bergetar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dia nggak cuma nyakitin aku. Dia ngancurin aku.”
Araf mengepalkan tangan di sisinya, mencoba menahan emosi. “Aku minta maaf, Cin.”
“Buat apa?” Cintia mendengus, suaranya pahit. “Kamu nggak salah.”
“Karena kamu harus ngelewatin semua itu sendirian,” jawab Araf, suaranya penuh rasa bersalah. “Nggak ada yang pantas ngerasain itu.”
Air mata mulai menggenang di mata Cintia, tapi ia segera menghapusnya dengan kasar. Ia tidak ingin terlihat lemah. “Makanya aku nggak percaya orang. Karena akhirnya, aku yang harus tanggung semuanya sendiri.”
Araf menatapnya dengan lembut. “Aku nggak tahu apa aku bisa bikin kamu percaya lagi, Cin. Tapi aku mau kamu tahu, aku di sini. Kapan pun kamu butuh.”
Cintia terdiam, hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ia tidak menjawab, hanya menatap ombak yang terus bergulung di depannya.
Malam itu, Cintia duduk di kamar kontrakannya yang kecil. Ia memandangi foto lama di tangannya—foto dirinya bersama ibunya, sebelum semua kekacauan dalam hidupnya dimulai. Wajah ibunya yang tersenyum lembut selalu membuat hatinya terasa hampa.
Ia teringat kata-kata Araf di pantai tadi. “Aku di sini. Kapan pun kamu butuh.” Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, membuatnya bingung. Ia tidak tahu harus percaya atau tidak. Selama ini, ia selalu hidup dengan keyakinan bahwa semua orang punya maksud tersembunyi. Tapi Araf... ia berbeda. Atau setidaknya, ia terlihat berbeda.
Pikirannya terganggu oleh suara ketukan di pintu. Cintia bangkit dan membuka pintu, menemukan Bu Rini berdiri di sana dengan senyum lebar di wajahnya.
“Cin, aku baru dengar dari pelanggan tadi. Katanya, Raf mau ngajak kamu makan malam di warung Bu Sum?” tanya Bu Rini dengan nada menggoda.
Cintia mengerutkan alis. “Dia nggak bilang apa-apa ke aku.”
“Ya ampun, Cin. Anak itu perhatian banget sama kamu. Kalau aku jadi kamu, aku udah senang banget.”
Cintia menghela napas, mencoba mengabaikan komentar Bu Rini. “Bu, aku capek. Kalau nggak ada yang penting, aku mau istirahat.”
“Terserah kamu, deh. Tapi aku cuma bilang, jangan sia-siain orang baik,” kata Bu Rini sebelum pergi.
Setelah menutup pintu, Cintia duduk kembali di tempat tidurnya, merasa semakin bingung. Ia tahu Araf berbeda. Tapi apakah ia benar-benar bisa membuka diri? Atau apakah itu hanya akan membuatnya terluka lagi?
Keesokan harinya, Araf kembali ke toko seperti biasa. Ia membawa seikat bunga liar yang ia temukan di jalan. “Ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkannya pada Cintia.
Cintia menatap bunga itu dengan ragu. “Buat apa?”
“Karena aku pengen bikin hari kamu sedikit lebih baik,” jawab Araf dengan senyum hangat.
Cintia mengambil bunga itu dengan hati-hati, seolah-olah takut bunga itu akan hancur di tangannya. “Kenapa kamu terus baik sama aku, Raf?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban langsung dari Araf. Ia hanya tersenyum, membiarkan Cintia menebak sendiri jawabannya.
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku