--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 35
Tidak butuh waktu lama untuk Xavier mencari jalan keluar.
Dalam sekali pertemuan dengan komunitas penopeng milik istrinya, dia sudah memutuskan akan memboyong para penduduk kumuh itu ke Grim Hills.
Mereka bisa bekerja di sana dan hidup dengan layak sembari membantu menyempurnakan wilayah terkutuk menjadi surga.
Tidak perlu mengurus kepindahan berupa surat-surat dan lainnya, karena para penduduk itu terlanjur tak diakui pemerintahan Bjorn.
Demikian jumlah penduduk yang akan mengisi dan menghidupkan Grim Hills tercatat lebih dari dua ratus orang, ditambah mereka yang tidak sampai seratus itu. Tapi sejumlah mereka cukup membawa kekuatan.
Xavier akan menyiapkan guru pembimbing terbaik terkait bisnis dan sekolah untuk anak-anak mereka. Semua harus tumbuh dan berkembang sesuai harapan.
Baik Ashiana maupun teman-temannya sama-sama setuju.
Mereka selain Ashiana, hanya berpikir Xavier yang menyamarkan namanya menjadi Math itu memiliki kenalan orang-orang keprajuritan yang bisa terhubung langsung dengan Kapten Blood sang penerima hadiah Grim Hills.
Tapi mereka tetap disumpah untuk tak membicarakan hal itu pada siapa pun. Jika tidak, Xavier sendiri yang akan turun tangan untuk menghukum mulut-mulut yang rusak.
Semuanya harus berjalan lancar sebelum Kaisar mengetahui perombakan besar-besaran itu. Biarkan saja Bjorn tetap berpikir jika Xavier hanya akan membangun peternakan domba dan kebun-kebun yang baginya sangat mustahil akan berkembang.
Di ruang kerja Mansion Willow, pada Luhde sekarang Xavier berkata, “Kita harus mempercepat pembangunan.”
“Sedang diusahakan, Tuan Muda,” tanggap Luhde. “Sebagian sedang melakukan penyempurnaan jalan dan sebagian lain-lain memoles rumah-rumah penduduk.”
“Hmm. Lalu air? Apakah penggalian di banyak titik itu berjalan lancar.”
Luhde tersenyum. “Tentu, Tuan Muda. Walau airnya masih sedikit keruh, tapi semua aman. Untuk konsumsi, kita tetap masih mengandalkan air kiriman dari kota sebelum dilakukan filtrasi nantinya.”
“Tak apa. Lakukan saja semua sesuai prosedur yabg terencana. Aku akan meminta orang pada Kakek untuk membantu mereka.”
“Itu keputusan bagus. Saya dengar bagian pengiriman barang sedang diam dan menunggu produksi selesai. Artinya mereka bisa dilibatkan sementara oleh Anda, Tuan Muda.”
“Benarkah?" Xavier membalik badan, dari jendela untuk menatap Luhde.
“Ya, Tuan Muda. Tapi waktu yang diberi mungkin hanya beberapa hari saja. Karena mereka harus tetap di perdagangan.”
“Tak apa, setidaknya mereka bisa sedikit membantu. Tolong wakili aku kunjungi Kakek.”
Luhde setuju tanpa cincong. “Saya akan memantau pembangunan jembatan dulu di Climford, baru ke Flavian.”
“Tidak perlu, biar aku yang ke Climford. Kau langsung ke tempat Kakek saja," tanggap Xavier, bangkit dari kursi lalu mengayun dua kaki panjangnya menuju jendela dengan membawa gelas minumnya.
Kening Luhde mengerut lagi. “Kenapa demikian, Tuan Muda?” Pandangannya mengikuti gerakan Xavier yang mulai santai menatap nirwana senja.
Tadi Luhde berpikir kenapa Xavier meminta ke Flavian menemui Homer karena tuan muda itu ada kesibukan lain, nyatanya dia akan turun tangan memantau pembangunan jembatan di Climford.
“Aku sedang malas bertemu Kakek. Dia selalu mengulang pertanyaan dan pembicaraan sama.”
“Hmm.” Luhde paham sekarang.
Homer memang sedang bawel meminta cucu.
Mengatakan jika, “Putri hanya gila, bukan berarti tidak bisa memberi anak!”
Mengingat itu, Luhde menggeleng-geleng dengan senyuman tipis, saat itu Xavier hanya bisa diam tanpa bisa menjawab.
“Ada apa dengan senyummu itu?” Xavier menegur melihat ekspresi si asisten.
“Tak apa, Tuan Muda,” jawab Luhde, tangannya mulai sibuk membereskan dokumen di atas meja. “Saya hanya berpikir ... apa yang dikatakan Tuan Besar tidaklah salah.”
“Maksudmu?" Xavier berbalik badan lagi, menghadap Luhde dan mencampakkan pemandangan di luar jendela, keningnya berkerut memperlihatkan keheranannya.
Selesai, semua dokumen sudah tersusun rapi. Membawa senyumnya yang khas teduh, Luhde menghadap Xavier tanpa beranjak dari kursinya. “Ya, tentang membuat Nyonya Muda hamil.”
Tidak ada lagi panggilan Tuan Putri, Xavier melarangnya. Mengatakan jika Ashiana resmi milik Blood, bukan lagi milik Philaret, pada seluruh penghuni mansion.
“Kau berpikir seperti itu, Luhde?" telisik Xavier, kening yang mengernyit sesaat lalu telah menghilang. Kini tersirat senyuman aneh di antara pertanyaan itu.
Luhde jadi merasa menyesal, tapi tetap melontarkan apa yang harus. “Ya, itu pun jika Anda berkenan.”
“Maka akan aku lakukan!”
Sontak Luhde melengak. “Maksud Anda, Tuan Muda ... Anda akan membuat Nyonya Muda ....”
“Ya!” potong Xavier sebelum Luhde menyelesaikan kata-katanya. Dengan senyuman dan gerak santai, Xavier kembali menghadap jendela. Menyesap sesaat minumannya, lalu melanjutkan, “Aku hanya ingin memberi kejutan pada Kakek, bukan untuk mengecewakannya dengan jawabanku yang kau dengar sendiri waktu itu.”
Luhde merasa tersengat. Ini kejutan namanya. Meski begitu terkejut, dia tetap tersenyum. “Anak ini sungguh sudah dewasa,” cicit hatinya, kemudian melontarkan tanggapan pada Xavier, “Kalau begitu semoga berhasil, Tuan Muda. Tuan Besar pasti akan berbahagia.”
Xavier tersenyum lagi. “Semoga, Luhde.”
Menyinggung masalah ini, Xavier jadi terpikirkan Ashiana.
Sejak saat dimana dia mengetahui Ashiana adalah Aegle si wanita dengan banyak kelebihan, dan Ashiana yang tidak bisa berkutik lagi karena sudah terbongkar rahasianya, Xavier tak henti membuat wanita itu resah.
Setiap akhir pekan di waktu senggang, selalu dia membawa Ashiana pergi keluar mansion tanpa dampingan Proka atau para pengawal lainnya.
Baik Luhde atau siapa pun tidak ada yang curiga atau beranggapan lebih. Sejoli itu hanya berjalan-jalan, sekalian untuk terapi Ashiana mengenal apa saja yang tidak dimengertinya. Stigma yang bagus dan Xavier berhasil menciptakannya.
Rumah kerja di selatan, selalu itu yang didatangi Xavier, sebelum kemudian sungguh berjalan-jalan untuk membeli banyak barang sebagai pengalihan kecurigaan.
Ya, seperti dugaan kalian, dia akan melakukan serangan pada Ashiana di dalam kamar. Membuat wanita itu kelelahan hingga lututnya gemetar. Menunjukkan betapa hebat dan perkasa seorang Xavier tak hanya di medan perang, tapi juga di atas ranjang.
Dan sekarang setelah diusik mengenai itu ....
“Aku jadi merindukan istriku,” cicit hatinya. Lalu mulai berfantasi dengan pikiran. “Wangi rambutnya ... seperti peony yang bermekaran di musim semi, kulit halus yang terasa licin saat disentuh, bibir semerah cerry yang begitu manis dan memabukkan, juga ... kelopak sempit yang menghimpit itu ... membuatku gila. Aku terus menginginkannya sepanjang waktu. Ashiana ... berlian di dalam lumpur.”
Sementara Luhde terus bertanya-tanya. Apa yang tidak diketahuinya tentang Tuan Muda yang tiba-tiba gemar menciptakan teka-teki aneh. Sekarang lihat, anak muda itu sedang tersenyum sembari menatap sekumpulan burung yang bertengkar kicau di atas bentangan kabel.
“Luhde! Minta Proka siapkan mobil!”
Sialan itu mengejutkan saja, Luhde yang asyik dengan pikiran jadi kelabakan. “Ah, iya. Memangnya Anda mau kemana, Tuan Muda?”
“Membawa istriku jalan-jalan," Xavier menjawab sembari membalutkan long coat ke tubuhnya.
“Jalan-jalan? Dengan Nyonya Muda? Di waktu ini?!”
“Memangnya kenapa? Bukankah sebentar lagi malam? Dan malam adalah waktu yang indah untuk membuat anak.”
DOENG!
Luhde terkejut dengan kalimat vulgar itu sampai tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Lalu ... “Baik, Tuan Muda. Sedikit senyum menggelitik menghias wajah.
“Kau tidak perlu seterkejut itu, jangan pula menertawakan aku," kata Xavier.
“Ah, tidak, Tuan Muda," sangkal Luhde. Dia merasakan ini sedikit aneh, sampai Xavier mengungkapkan dengan seringai.
“Selain untuk membahagiakan Kakek, membuat Ashiana hamil juga adalah hadiah untuk Kaisar.”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞