Pencarian nya untuk mendapatkan wanita idaman yang bisa menerima diri dan anak-anak nya, melalui proses panjang. Tidak heran hambatan dan ujian harus ia hadapi. Termasuk persaingan diantara wanita-wanita yang mengejar dirinya karena dia termasuk pria yang mapan, tampan dan punya banyak aset yang berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Di dalam sebuah kamar hotel berbintang yang ber-AC, seorang wanita tak berselubung, menjalani momen penuh gairah bersama pria setengah baya. Suara menggoda terdengar bergema ketika wanita itu memerankan perannya dengan baik. Wanita itu adalah Erlina, yang selama beberapa hari terakhir menjadi teman khusus bagi pria konglomerat ini. Sampai beberapa menit berlalu akhirnya mereka sama-sama saling berpelukan setelah satu sama lain menuntaskan permainannya.
"Hidup memang tak adil," batin Erlina dalam hati.
"Apakah ini jalan yang harus kujalani? Adakah kebahagiaan lain di balik keputusan ini?"
Sejuta pertanyaan muncul dalam benaknya, tetapi jawaban itu entahlah kemana. Dia tidak pernah mengira bakal terjebak dalam kehidupan seperti ini. Namun, Erlina juga sadar bahwa dirinya harus bertahan. Suatu saat, mungkin kehidupan ini akan berubah dan membawanya pada jalan yang lebih baik. Dan dia akan terus berjuang, menemukan cara untuk keluar dari lingkaran setan ini, sebelum terlambat bagi dirinya dan masa depan yang masih ingin diraihnya. Hingga saat itu, Erlina hanya bisa mencoba untuk menjalani hidup sebaik mungkin dan berharap suatu saat nanti, dia akan menemukan jawaban untuk semua pertanyaannya.
Erlina merapikan pakaian setelah membersihkan tubuhnya di kamar mandi dalam kamar hotel mewah tersebut. Hatinya terasa berkecamuk, antara perasaan bersalah dan ingin mencari angin di luar gedung hotel bertingkat itu. Sejenak ia menengok pria berumur 55 tahun yang terlelap di tempat tidur dengan suara dengkuran terdengar pelan. Tuan Zidan tampak lelah setelah pergumulan indah tadi malam, dan Erlina merasa tidak tahan berada di ruangan itu.
“Mungkinkah ini kesempatan bagiku untuk mencari angin sejenak?,” pikir Erlina, berharap angin malam mampu menyegarkan pikiran dan melupakan sejenak apa yang telah ia perbuat.
Menatap jam di dinding, Erlina melihat angka delapan sudah terlewat. Mengingat jam segini di kota besar seperti Jakarta, orang-orang mungkin baru saja selesai sholat Tarawih dan berbondong-bondong kembali ke rumah. Mengingat bulan suci Ramadhan sedang berlangsung, suasana ramai di masjid dan musholla membuatnya merasa semakin bersalah dengan pekerjaannya sebagai wanita tuna susila.
"Apakah aku benar-benar tak bisa berubah? Mengapa semakin mendalam bulan puasa ini, hatiku merasa semakin sesak mendengar suara orang-orang mengaji," gumamnya, seraya beranjak keluar kamar menuju hiruk-pikuk kota yang ingin ia tengok.
Erlina melangkah keluar dari kamar, hatinya berdebar-debar. Perasaan bingung dan penasaran menyelimuti dirinya, membuat setiap langkahnya terasa berat. Tanpa disadari, kaki Erlina membawanya turun ke lantai dasar.
Dia telah memesan taksi online, namun tujuannya masih belum jelas di benaknya. Namun, satu yang pasti, Erlina ingin bertemu dengan Sabrina malam ini.
"Mengapa aku harus berusaha begitu keras hanya untuk bertemu dengan Sabrina?" batin Erlina. Perasaan cemas dan rindu telah menyelimuti hatinya. Namun, ia juga sadar bahwa untuk bertemu dengan Sabrina tentu saja dia harus mendatangi rumah Fauzan yang lama. Alternatif untuk bertemu dan berkencan di luar rumah rasanya hampir tidak mungkin. Aku merasa terkurung dengan keadaan ini, aku bahkan tak memiliki nomor handphone Sabrina saat ini. Hatiku semakin teriris ketika ingat nomor handphoneku sendiri telah kupergantikan. Aku merasa semakin jauh dari Sabrina yang kucari-cari ini.
"Apakah Tuhan menguji kesabaran dan ketekunanku?" gumam Erlina, mencoba untuk tetap berharap dan melangkah menuju impian yang telah lama ia pendam.
Taksi membawa Erlina menuju destinasi yang dituju, sebuah perumahan elit Kamboja yang menjadi lokasi mansion pribadi Tuan Fauzan. Erlina tidak bisa menyembunyikan kegugupannya seiring menginjakkan kaki di perumahan mewah ini. Di sana, Sabrina dan anak-anak mereka tinggal, menunggu kedatangannya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. Aku takut," bisik hati Erlina.
"Menghadapi Sabrina, wanita yang menikah dengan suami yang ku cintai, lalu menghadapi anak-anakku yang mungkin masih belum mengenalku sebagai ibu kandung mereka." Rasa tidak nyaman dan kekhawatiran bercampur menjadi satu di dalam dadanya.
Erlina mencoba untuk menguatkan dirinya, menghadapi kenyataan bahwa kehidupan yang seharusnya ia jalani ternyata berbeda dengan yang ia impikan dulu.
"Sudahkah aku siap untuk menjalani kehidupan ini? Menyaksikan kebahagiaan keluarga yang semestinya milikku, dan melihat Tuan Fauzan mencintai wanita lain?" pemikiran ini terus menggelayuti pikirannya.
Namun, saat itu juga Erlina menyadari bahwa ia harus menghadapi kenyataan, untuk dirinya sendiri dan untuk anak-anak yang akan menjadi alasan bagi dirinya untuk berjuang dan tetap bertahan di tengah pergulatan perasaan yang begitu kompleks ini. Dengan nafas yang sedikit terengah-engah dan langkah pasti, Erlina melangkah masuk ke dalam mansion tersebut, siap menghadapi segala rintangan yang akan dihadapinya di sini.
Erlina merasa tiba-tiba terhanyut dalam ragu saat seorang satpam penjaga mansion pribadi Tuan Fauzan mendatangi dirinya. Dia berusaha mengendalikan ketakutannya dan bertanya-tanya.
"Kenapa dia datang padaku? Apakah ada yang salah?" Ternyata, satpam tersebut adalah orang yang telah bekerja cukup lama di rumah Tuan Fauzan. Tanpa disadari, suara hati Erlina berbisik.
"Ah, tentu saja dia masih mengenalku. Bagaimana bisa aku melupakan hal itu?" Pria setengah baya tersebut dengan tatapan tajamnya membuat Erlina semakin tidak tenang. Erlina menarik napas dalam-dalam sambil berusaha menenangkan hati yang mulai gundah.
"Apa yang harus aku katakan padanya? Bagaimana cara meyakinkannya bahwa aku datang dengan niat baik? Semoga dia bisa mempercayai bahwa aku bukan ancaman bagi keluarga Tuan Fauzan." Pikiran dan perasaan Erlina semakin terbenam dalam kegelisahan dan pertanyaan yang tak berujung.
"Nyonya Erlina kah?" Satpam atau penjaga mansion pribadi tuan Fauzan sebut saja pak Helsa memastikan bahwa dia tidak salah mengenali orang.
"Iya benar, pak Helsa! Maaf malam sekali saya ke sini. Kira-kira apakah nyonya Sabrina masih terjaga atau belum tidur?" Erlina bertanya. Pak Helsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Hem, kalau itu saya tidak tahu nyonya. Sebentar tunggu di sini dulu nyonya. Saya coba tanyakan pada bibi pembantu dulu. Mungkin saja dia mengetahui nya. Masalahnya nyonya Sabrina kan kamarnya ada di lantai atas," ucap pak Helsa.
Namun di saat keduanya sama-sama saling berbicara di depan teras. Mamak Sarina bersama dengan anak-anak datang. Mereka tampaknya baru pulang tadarusan di masjid. Pak Helsa lupa kalau mereka masih di masjid dan baru pulang.
"Ahay, itu mereka baru datang nyonya! Maaf saya tadi tiba-tiba lupa. Nanti nyonya langsung bertanya pada mamak Sarina saja kalau ingin berjemur dengan nyonya Sabrina," jelas satpam itu masih dengan sikapnya yang sopan dan ramah.
"Mama!" Panggil Zulaikha yang sekarang ini telah menginjak usia remaja. Zulaikha adalah anak kandung dari Erlina dari pernikahan nya dengan tuan Fauzan dulu sebelum dirinya diceraikan oleh suaminya. Betapa Erlina berkaca-kaca matanya saat melihat putrinya yang sudah sekian lama dia tidak bisa menemuinya. Bahkan putrinya pun tidak lupa dengan wajah ibu nya.
"Zulaikha, putriku," gumam Erlina akhirnya. Semua saudara-saudara Zulaikha ikut terharu saat melihat ibu dan anak itu saling berpelukan. Apalagi mamak Sarina yang melihat kedatangan Erlina di mansion itu. Namun mamak Sarina sedikit mengkhawatirkan dengan kedatangan Erlina di mansion mewah itu lantaran menjaga perasaan Sabrina dan Fauzan jika Erlina datang ke mansion tersebut.