Mungkin hal biasa kalo cewek cupu pacaran sama bad boy, namun kali ini kebalikanya gimana peran sicewe yang urak-urakan, suka balap liar, dan tidak mau diatur malah dia jatuh cinta dengan cowo cupu kutu buku yang anti sosial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prettyaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tuntunan
Sore hari dengan mood yang sudah membaik, Sera dalam perjalanan pulang dari rumah sang ibu. Rasa kangen dan rindu sudah teratasi, dan dia juga cukup lega setelah curhat dengan ibunya tentang masalah hidupnya.
Sampai di rumah, ia melihat mobil ayahnya masih terparkir di garasi. "Kapan sih mereka pergi," gerutunya sendiri. Sera sangat malas bertemu dengan kakak tirinya itu. Bicara tentang kakaknya, dirinya juga ogah mempunyai kakak seperti itu. Namun, apa boleh buat? Memang kenyataannya begitu. Dia tetap kakaknya, meskipun hanya tiri.
Membuka pintu rumah, Sera langsung melihat sang ayah duduk di kursi keluarga menatap dirinya.
"Habis ini kamu datang ke ruangan kerja ayah, ada sesuatu yang ingin ayah katakan," ujar sang ayah sebelum berlalu ke ruangannya, meninggalkan Sera yang belum sempat merespons.
Sera menaiki tangga menuju kamarnya dan segera menguncinya. Dia tidak ingin diganggu oleh kakak tirinya yang selalu menyindirnya. Itu benar-benar menyebalkan.
Mengambil ponselnya yang seharian tak ia buka, Sera hanya menemukan pesan-pesan dari teman-temannya. Tidak ada dari Gara. Hatinya terasa semakin sakit. Mungkin Gara memang sudah tidak membutuhkannya lagi. Tak ingin terus memikirkannya, Sera bangun dan bersiap mandi sebelum menemui ayahnya. Entah apa yang akan ayahnya katakan kali ini.
Setelah selesai mandi dan mengenakan baju tidur panjang, serta merampungkan rutinitas skincare-nya, Sera menuju ruang kerja sang ayah.
Tok tok.
"Masuk."
Mendengar balasan itu, Sera masuk dan menemukan ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.
"Ada apa, Yah?" tanyanya basa-basi.
"Tunggu sebentar, duduk dulu," jawab ayahnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.
Sera menunggu sambil mengamati ruangan kerja yang bergaya modern. Jujur, setelah perceraian orang tuanya, dia lebih sering mengurung diri di kamar atau pergi keluar, jadi dia tak tahu banyak perubahan di rumah ini.
Pandangan matanya tertuju pada foto ayahnya bersama istri barunya. Mereka tampak bahagia. Namun, ia tak menemukan satu pun foto dirinya di ruangan itu. Hatinya semakin sesak. Ayahnya memang benar-benar sudah tak menyayanginya lagi.
Menghela napas, ia kembali fokus ketika sang ayah akhirnya menyelesaikan pekerjaannya.
"Sini," panggil ayahnya.
Sera bangkit dan duduk di hadapan ayahnya.
"Setelah lulus, kamu ingin ke mana?" tanya sang ayah dengan ekspresi datar.
Sera gugup. Ia tak mau bicara jujur bahwa dirinya akan kuliah di luar negeri. Ia takut ayahnya marah pada ibunya dan membuat masalah semakin besar.
"Tidak tahu, Yah."
"Ayah ingin kamu memegang dan mengurus perusahaan ayah yang lain."
Kaget mendengar perkataan itu, Sera bertanya, "Kenapa harus aku, Yah? Bukan Edo saja?"
"Kakakmu sudah ayah kasih tanggung jawab lain. Nanti kamu akan dibimbing untuk menjadi pemimpin yang benar."
"Tidak, Yah. Aku ingin melanjutkan pendidikan."
"Kamu bisa kuliah setelah memegang perusahaan dengan baik."
"Ayah tahu kan dari dulu aku ingin menjadi dokter? Maaf, Yah, aku tidak bisa menuruti keinginan ayah."
"Ayah selama ini tidak meminta apa pun darimu, ya Sera! Kali ini kamu harus turuti keinginan ayah karena ini yang terbaik untukmu!"
"Tidak, Yah. Itu bukan yang terbaik. Aku hanya ingin meraih mimpiku ini."
"Lihatlah dirimu sekarang, Sera. Kamu tidak akan bisa menjadi dokter! Nilaimu berantakan! Menjadi dokter harus pintar dan rajin. Lihatlah dirimu! Apa kamu bisa seperti itu, hah?!"
Sera menahan air matanya. Inilah sifat ayahnya yang paling ia benci—suka meremehkan dirinya, merendahkannya seolah ia tak berharga.
"Aku bisa berubah, Yah! Akan aku tunjukkan kalau aku bisa!"
"Beraninya kamu membentak ayah! Tunjukkan kalau kamu bisa, Sera! Kejar mimpi doktermu itu! Ayah tidak sudi membiayai kuliahmu! Ingat, ayah juga akan menghentikan uang bulananmu!"
"Baiklah kalau itu keputusan ayah. Permisi."
Sera keluar dari ruangan itu. Di pertengahan jalan, Edo berdiri di tangga sambil menyeringai melihatnya menangis.
"Kasian deh lo. Udah bener pergi aja dari rumah ini! Aset milik ayah lo semua bakal jatuh ke tangan gue. Ingat itu."
Sera tidak mempedulikan ejekan Edo dan terus berjalan menuju kamarnya.
Ia tahu, kakak dan ibu tirinya hanya mengincar harta ayahnya. Selama ini, ibu tirinya selalu mempengaruhi sang ayah agar Edo selalu diutamakan. Tapi Sera tidak peduli dengan harta itu. Jika semua jatuh ke tangan mereka, dia akan mencari uang sendiri dan tinggal bersama ibunya daripada harus terus berurusan dengan mereka.