Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebetulan yang Menyebalkan
Sudah sepuluh hari penuh keadaan Lintang dalam level aman. Dari hari ke hari, kondisi mentalnya menunjukkan kemajuan yang pesat. Selain bisa berinteraksi secara normal, Lintang juga mulai ingat dengan statusnya sebagai seorang istri. Tak hanya memasak atau mencuci baju Pandu, tetapi juga mulai aktif lagi dalam urusan ranjang.
Kendati begitu, Wenda masih tinggal di sana. Hanya sesekali pulang untuk menengok rumahnya. Dia belum tega meninggalkan Lintang, yang kata psikiater masih ada kemungkinan kambuh lagi—jika ada pemicu seperti tempo hari.
Lintang sendiri juga tidak keberatan tinggal satu atap dengan mertuanya. Bagi Lintang, Wenda sekarang sudah seperti kandung. Ah, bahkan jauh lebih baik dibanding ibu kandungnya sendiri.
Sekarang tak ada lagi makian atau sekadar sindiran dari Wenda. Semua kata yang keluar dari bibirnya sekadar obrolan ringan dan candaan, terkadang juga malah pujian. Itu sebabnya Lintang merasa betah dan tidak keberatan meski bersamanya setiap hari.
"Ma, hari ini jadi nengok rumah?" tanya Lintang ketika mereka bersama-sama membereskan bekas sarapan. Dari semalam ia mendengar rencana Wenda untuk menengok rumah.
"Jadi, Lin, nanti sekalian ambil alat jahit. Katanya kamu mau belajar jahit."
"Iya, Ma. Kayaknya seru. Apalagi nanti kalau bisa jahit kemeja sendiri untuk Mas Pandu, pasti rasanya seneng banget," jawab Lintang sambil tersenyum.
Wenda pun turut tersenyum. Lantas ia tatap menantunya itu dengan lembut. "Dulu Mama juga sering jahit kemeja untuk papamu. Dan ... ya, rasanya senang banget, apalagi kalau lihat papamu suka, tambah semangat untuk mengisi waktu luang dengan jahit-jahit pakaian."
"Aku juga akan belajar, Ma. Kebetulan juga kan waktu luangku banyak." Lintang menjawab dengan antusias. Kemudian ia kembali melanjutkan ucapannya setelah menarik napas sejenak. "Ma, nanti kalau pulang suruh ngantar Mas Pandu aja, daripada pesan ojek. Kan Mas Pandu juga lagi santai, nggak ada kesibukan."
"Tapi ...."
"Nggak apa-apa, Ma. Aku udah baik-baik aja kok. Nggak apa meski di rumah sendirian. Lagi pula Mama juga nggak sampai sehari, kan?"
"Ya nggak sih, Lin. Nanti Mama cuma nyapu bentar, terus ambil mesin jahitnya, udah."
"Makanya itu, Ma, sama Mas Pandu aja. Lebih nyaman."
"Ya ... apa kata Pandu aja lah nanti."
Wenda kemudian tersenyum, lalu membantu menata piring yang sudah dicuci Lintang. Di satu sisi dia khawatir meninggalkan Lintang sendirian. Namun, di sisi lain tak nyaman juga menolak tawarannya. Jadi, biar Pandu saja yang menentukan.
"Antarin aja Mama, Mas. Aku nggak apa-apa sendirian di rumah, Mas jangan terlalu khawatir. Kasihan Mama kalau pulang sendiri. Beberapa hari ini juga udah kita repotin, sampai Mama tinggal di sini hanya untuk jagain aku. Hanya perhatian kecil kayak gini, masa harus kita abaikan, Mas," ujar Lintang ketika Pandu menyatakan keberatannya untuk mengantar Wenda.
"Tapi, Sayang, nanti kamu jadi sendirian."
"Nggak apa-apa, Mas. Kamu lihat sendiri kan aku udah sehat?"
"Tapi ...."
"Udah, Mas, antarin aja Mama. Aku di kamar aja nanti, nggak ke mana-mana. Aku mau rampungin baca buku yang dikasih Bu Ratna kemarin," ucap Lintang, terus membujuk sang suami untuk mengantar Wenda.
Pikir Lintang, sudah terlalu banyak dia membuat repot mertuanya selama ini. Ia tidak enak hati jika sekarang membiarkannya pulang sendirian, sementara Pandu juga sangat senggang.
Namun, Pandu sendiri lebih memilih memberi ibunya ongkos daripada mengantarnya dan membiarkan Lintang sendirian di rumah. Entahlah. Masih tak tenang perasaannya meski sekarang Lintang terlihat baik-baik saja.
"Mas, udah, antarin Mama. Percayalah, aku baik-baik aja kok," lanjut Lintang karena Pandu masih bergeming.
Karena Lintang terus memintanya, Pandu pun tak ada pilihan lain. Dengan berat hati ia mengantar ibunya. Itu pun dengan tekad bulat untuk cepat-cepat.
"Hati-hati di rumah, Sayang. Kunci semua pintunya. Aku dan Mama akan segera pulang," ujar Pandu sebelum berangkat.
"Kamu juga hati-hati, Mas. Jangan ngebut-ngebut kalau bawa motor."
"Iya, Sayang." Pandu menyahut sambil mendaratkan kecupan yang cukup lama di kening Lintang. Lantas, ia pun pergi bersama ibunya.
Lintang mengantarnya sampai ke pintu. Lantas, ia pum kembali masuk setelah motor Pandu hilang dari pandangan. Niat hati, Lintang akan membaca dengan tenang di kamar. Masih ada beberapa halaman yang belum ia selesaikan.
Namun, kenyataan tak berjalan mulus seperti yang Lintang bayangkan. Baru sepuluh menit ia duduk dan menenggelamkan diri dalam novel motivasi di tangannya, bunyi klakson mobil di luar membuyarkan fokusnya. Lintang mengernyit dan kemudian beranjak. Bukan langsung keluar, melainkan melangkah menuju jendela dan mengintip siapa gerangan yang datang.
"Mobilnya Mbak Tari," gumam Lintang dengan perasaan yang mulai bergejolak.
Benar saja, ingatan Lintang tidak meleset. Mobil itu memang milik kakaknya. Hanya saja bukan Utari yang datang, melainkan Benny dan Ningrum.
"Ibu, Mas Benny, ngapain mereka ke sini?" Lintang mengerjap cepat. Mendadak dia dilanda dilema. Antara membukakan pintu untuk mereka atau diam dan pura-pura tak mendengar.
Ah, mengapa pula ada kebetulan yang sangat menyebalkan. Mereka datang di saat dirinya di rumah sendirian. Mengapa tidak datang lebih awal atau lebih akhir, agar ada suami dan mertuanya yang ikut menghadapi mereka.
Bersambung...
Takut nya kamu tidak bisa menanggapi ucapan 2 dari mereka Beny dan ibu mu
Duh Pandu di pecat
Akan berdampak nggak ya ke Lintang , kalau Lintang tahu Pandu di pecat
lanjut thor
Kalau memang lintang anak hasil selingkuh,yg patut disalahkan adalah orang yg berselingkuh itu.
Emang dia bisa memilih dan memaksa terlahir dr perut siapa?
Sungguh2 bodoh,atw malah mereka berdua ini sakit jiwa kurasa sehingga bisa dg mudah tanpa rasa bersalah berbuat kejam dan sadis
kpd saudara mereka sendiri.
Sekarangpun sdh disidang dan mendengar kondisi lintan yg dpresi parah,tidak ada sedikitpun rasa bersalah atw menyesal dihati mereka.
depresi berat
lanjut thor 🙏💪😘