Cassandra Magnolia Payton, seorang putri dari kerajaan Payton. Kerajaan di bagian utara atau di negeri Willems yang dikenal dengan kesuburan tanahnya dan kehebatan penyihirnya.
Cassandra, gadis berumur 16 tahun berparas cantik dengan rambut pirangnya yang diturunkan oleh sang ayahanda dan mata sapphiernya yang sejernih lautan. Gadis polos nan keras kepala dengan sejuta misteri.
Dimana kala itu, Cassandra hendak dijodohkan dengan putra mahkota dari kerajaan bagian Timur dan ditolak mentah-mentah olehnya karena ia ingin menikah dengan orang yang dicintainya dan memilih kabur dari penjagaan ketat kerajaan nya dengan menyamar menggunakan penampilan yang berbeda, lalu pergi ke kekerajaan seberang, untuk mencari pekerjaan dan bertemulah dengan Duke tampan yang dingin dan kejam.
Bagaimana perjalanan yang akan Cassandra lalui? Apakah ia akan terjebak selamanya dengan Duke tampan itu atau akan kembali ke kerajaan nya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon marriove, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XXXIV. Bahuku, Sandaranmu
Pagi itu, istana mulai terasa lebih ramai dari biasanya. Para pelayan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk keberangkatan sang Putri. Gadis bersurai keemasan itu sudah berdiri di depan cermin besar di kamarnya, dia dirias dengan pakaian sederhana namun elegan—gaun berwarna kuning cerah lembut yang dihiasi sedikit aksen renda perak. Rambutnya disanggul rendah, meninggalkan beberapa helai rambut yang membingkai wajahnya, membuat kecantikannya tampak alami namun akan memikat lawan jenis.
Ketika semuanya siap, Cassa melangkah ke aula utama tempat keluarganya menunggu. Langkahnya mantap, meskipun hatinya sedikit berdebar. Christina, sang ibu, berdiri dengan senyuman lembut di wajahnya.
Cassa mendekat, lalu memeluk ibunya erat, membenamkan wajahnya ke bahu Christina, “Doakan aku selamat sampai disana, Ibu,” katanya dengan suara pelan, dia merasa gugup bertemu dengan orangtua Alaric. Bagaimana jika mereka tidak menerima dirinya? Tapi dia menepis pikiran jeleknya dan mencoba untuk berpikir positif.
Christina mengecup dahi Cassa dengan lembut, “Tentu saja, sayang. Hati-hati di perjalanan, dan ingat, selalu bersikap baik kepada calon mertua kamu.”
Setelah itu, Cassa beralih ke kakaknya, meski sering bertengkar kecil, ia tetap menyayanginya. Ia memeluk Jezgar sebentar dan mengecup pipinya.
“Kau tidak perlu terlalu khawatir, Kak. Aku hanya pergi sebentar, jangan rindu kepadaku!," katanya sambil tersenyum kecil. Kakaknya yang overprotective pasti sangat khawatir padanya, padahal dia bukanlah anak kecil lagi.
Jezgar mengangkat alis, lalu menepuk kepala adiknya dengan lembut, “Ck, kau terlalu percaya diri Adikku. Aku tahu kau bisa menjaga diri. Tapi tetaplah hati-hati, Cassa.”
Terakhir, ia mendekati Jasver, Jasver menatapnya dengan mata penuh kasih sayang, lalu membuka tangannya lebar untuk memeluk Cassa. Bisa-bisanya anak gadis semata wayangnya sudah semakin besar seperti sekarang ini, membuat dirinya tidak rela. Padahal dulunya adalah gadis kecil yang begitu keras kepala, tapi sekarang? Tumbuh begitu cantik dan menawan, walaupun sifat turunannya tidak bisa dihilangkan begitu saja.
“Tunjukkan pesonamu, Cassa. Kau adalah putri kesayangan Ayah,” kata Jasver dengan tegas sambil menepuk bahunya, “Dan kau adalah kebanggaan keluarga ini, begitu pula dengan Kakakmu. Ayah menyayangimu.”
Cassa mengangguk pelan, dan tersenyum lebar meninggalkan mereka. Setelah itu, ia melambaikan tangan kepada keluarganya sebelum berjalan menuju halaman depan, di mana mobil Alaric sudah menunggu.
***
Alaric berdiri di sisi mobil, mengenakan pakaian yang menunjukkan jati dirinya. Ketika ia melihat Cassa keluar, langkahnya langsung terhenti. Mata merahnya terfokus pada sosok gadis itu yang berjalan anggun ke arahnya. Senyuman kecil terukir di bibirnya. Gadisnya memang yang tercantik daripada gadis lainnya, dan dia tidak bisa mengalihkan perhatian darinya.
Ia segera menghampirinya, lalu membukakan pintu mobil dengan gerakan lembut dan sangat gentle, “Selamat datang, Nyonya Hexton,,” katanya dengan nada yang menggoda.
Cassa, yang menyadari tatapan kagum Alaric, merasa sedikit salah tingkah. Namun, ia segera menutupinya dengan mendengus kecil, “Kau terlalu berlebihan, Aric. Padahal ini hanyalah perjalanan biasa,” katanya dengan nada sinis, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.
Alaric hanya tersenyum kecil, memilih tidak menanggapi komentar itu. Dalam hatinya, ia tahu betul bahwa gadis ini memang tsundere—dan itu hanya membuatnya semakin menyukainya. Terlihat menggemaskan sekali dimatanya.
Setelah Cassa masuk, Alaric menutup pintu dengan hati-hati sebelum naik ke sisi lainnya. Sopir yang duduk di depan melirik mereka melalui kaca spion, tersenyum kecil melihat interaksi pasangan muda itu.
...****************...
Dalam perjalanan, Alaric mendongak menatap langit biru yang cerah, matanya terlihat berbinar seolah sedang memikirkan sesuatu yang dalam.
“Langit hari ini indah sekali, ya,” katanya tiba-tiba, memecah keheningan.
Cassa meliriknya malas, “Kalau mau ngobrol soal langit, bicara saja dengan sopir. Aku tidak tertarik sama sekali.”
Alaric terkekeh, lalu menoleh padanya, “Tapi aku serius. Langit biru ini benar-benar mengingatkanku pada matamu.”
Cassa langsung menoleh dengan tatapan kesal, “Aku tahu mataku biru, tapi jangan mulai dengan kata manismu itu, Aric.”
“Kenapa tidak?” sahut Alaric, tersenyum lebar, “Langit biru seperti ini selalu membuatku tenang. Sama seperti saat aku menatap matamu. Rasanya… aku seperti bisa melupakan segalanya.”
Pipi Cassa langsung memerah, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan memalingkan wajah, “Berhenti bicara aneh. Kau hanya akan membuatku muak.”
“Benarkah? Tapi pipimu tidak mengatakan hal yang sama,” balas Alaric sambil tertawa kecil. Senang sekali melihat gadis didepannya berubah menjadi kucing kecil menggemaskan.
Cassa menghela napas panjang, berusaha keras menahan diri untuk tidak membalas lebih pedas. Kenapa Duke jelek itu selalu melontarkan kata-kata tidak berguna seperti itu?! Dan juga kenapa jantungnya selalu berdetak secepat ini?! "Diamlah, Aric. Kau membuatku ingin membuka pintu mobil ini dan melompat keluar. Apakah kau mau?”
Alaric hanya tersenyum puas, lalu bersandar di kursinya, “Kalau kamu melompat, aku akan ikut melompat. Tapi aku yakin kita akan tetap bersama, karena aku tak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”
Cassa menggigit bibirnya, pipinya semakin memerah. Ia tahu Alaric menikmati reaksinya, tapi tidak bisa menghentikan rasa panas yang menjalar di wajahnya, "Terserah kau, Aric. Aku tidak peduli.”
Namun, di balik rasa kesalnya, ada sedikit perasaan hangat yang tak mau ia akui. Alaric memang menyebalkan, tapi sulit baginya untuk benar-benar marah.
Sopir di depan hanya menggelengkan kepala, menyembunyikan senyumnya saat melihat tingkah laku pasangan muda dibelakangnya, “Sepertinya Duke kita akhirnya menemukan lawannya,” gumamnya pelan. Jika kalian bertanya dimana Nathanio? Dia sedang ditugaskan untuk menjaga kediaman, alasannya agar tangan kanannya tidak membuat rusuh. Kasian sekali~
Alaric, meskipun berusaha melawan komentar-komentar Cassa, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia merasa perjalanan ini akan menjadi salah satu pengalaman paling menyenangkan—meski penuh dengan perdebatan. Dan di sisi lain, Cassa juga, meskipun tidak mengakuinya, menikmati bagaimana Alaric selalu berhasil membuatnya kesal sekaligus tersenyum.
Di tengah perjalanan, suasana dalam mobil mulai terasa lebih tenang. Setelah sekian lama berdebat, Cassa terlihat mulai lelah. Matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali, dan ia menguap kecil, mencoba menahan kantuk.
Alaric, yang duduk di sampingnya, hanya melirik sekilas sambil menahan senyum. Melihat gadis di sampingnya yang sedang menahan kantuk, terlihat menggemaskan, “Cassie, kamu ngantuk?” tanyanya pelan.
Cassa menggeleng kecil, tapi kelopak matanya jelas semakin berat, “Tidak, aku hanya… istirahat sebentar,” gumamnya, suaranya semakin pelan dan menggumam dengan tidak jelas.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Cassa sudah tertidur karena tidak bisa menahannya terlalu lama. Kepalanya perlahan terkulai ke samping, sempat terayun sebentar sebelum akhirnya bersandar lembut di bahu Alaric.
Alaric membeku sesaat, merasakan beban ringan di bahunya. Ia menoleh perlahan, dan pandangannya jatuh pada wajah Cassa yang tertidur. Untuk pertama kalinya, ia melihat gadis itu tanpa ekspresi kesal atau tatapan sinis. Wajahnya terlihat begitu damai, bahkan sangat manis.
“Cassie…” gumam Alaric pelan, nyaris seperti bisikan. Pipinya mulai memanas, tapi ia tidak berniat mengalihkan kepala Cassa. Sebaliknya, ia membiarkannya tetap di sana, anehnya dia merasa nyaman dengan situasi ini. Situasi yang membuat dirinya hampir gila.
Dalam hati, Alaric berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimana kucing nakal bisa terlihat semanis ini bahkan saat tidut? Padahal selalu membuatku kesal dengan ucapan sinismu, tapi sekarang…. Andai kamu tahu, melihatmu seperti ini membuat hatiku terasa hangat.
Ia mengangkat tangannya, hampir ingin menyentuh rambut Cassa, tapi menahannya. Ia tahu jika gadis itu terbangun, ia pasti akan dimarahi habis-habisan. Alaric hanya tersenyum kecil, membiarkan tangannya jatuh kembali ke pangkuannya.
“Kamu tahu?” bisik Alaric, meskipun ia tahu Cassa tidak mungkin mendengarnya, Aku pernah menganggapmu sebagai badai yang menyebalkan, tapi ternyata kamu sekarang menjadi pelangi yang menenangkan dalam hidupku. Lucu, bukan? Aku pikir aku sudah terbiasa dengan sisi dirimu yang menyebalkan, tapi sisi ini…”
Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Sisi ini membuatku ingin melindungimu lebih dari apapun. Bahkan jika aku harus menanggung segala macam kemarahanmu nanti, aku tetap akan memilih berada di sini bersamamu.”
Mobil berguncang sedikit, tapi Alaric menahan bahunya agar kepala Cassa tidak terlepas. Ia menoleh ke jendela, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya, “Tidurlah dengan tenang, sayang. Aku akan memastikan kamu sampai dengan selamat. Selalu.”
Wajahnya tetap menghangat, tapi ia hanya tersenyum tipis. Perjalanan yang awalnya terasa biasa saja kini berubah menjadi momen yang takkan pernah ia lupakan. Gadis disebelah nya adalah alasan dia selalu tersenyum, bahagia melebihi apapun.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya klasik di tengah hamparan hutan yang asri, Cassa masih terlelap di bahu Alaric. Ia sempat ingin membangunkannya, tapi kemudian mengurungkan niat. Wajah Cassa terlihat begitu damai saat tidur, dan Alaric merasa itu adalah pemandangan yang terlalu berharga untuk diganggu.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu mobil, lalu menunduk untuk meraih Cassa. Ia menggendong gadis itu perlahan, memastikan langkahnya tetap ringan agar tidak membuatnya terbangun. Tapi, saat mereka sudah melangkah melewati jalan setapak menuju rumah, suara lembut Cassa mulai terdengar.
“Hmm… di mana ini?” gumam Cassa sambil mengerjap, menatap sekitar dengan bingung.
Alaric tersentak kecil, berhenti sejenak, “Kenapa bangun?” tanyanya, sedikit kecewa karena ia gagal menjaga ketenangan tidurnya.
“Jelas,aku bangun,” sahut Cassa dengan suara serak, menatap Alaric yang masih menggendongnya. “Dan kenapa kau menggendongku? Aku bisa berjalan sendiri!”
“Tapi kamu tidur seperti batu,” jawab Alaric santai, senyum kecil di wajahnya, “Lagipula, aku tidak keberatan menggendongmu.”
Cassa mendesah, mencoba turun dari pelukan Alaric, “Baiklah, kau bisa turunkan aku sekarang. Tapi… ini di mana? Kenapa seperti di tengah hutan?”
Alaric tersenyum tipis, “Ini rumah keluargaku. Kamu akan tahu setelah melihatnya.”
Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini Cassa berjalan di samping Alaric, meskipun wajahnya masih sedikit bingung. Ketika mereka sampai di depan pintu utama, Alaric mengangkat tangannya, bersiap mengetuk, tapi belum sempat ia melakukannya, pintu sudah terbuka lebih dulu.
Di sana, berdiri seorang wanita dengan rambut merah muda yang disanggul rapi. Wajahnya terlihat sedikit berumur, namun tetap memancarkan kecantikan yang anggun. Senyum hangat menghiasi bibirnya saat matanya jatuh pada Alaric dan Cassa.
“Anakku,” katanya dengan nada lembut tapi penuh antusias, “Kau akhirnya datang. Dan ini… pasti Cassa, benar kan?”
Cassa yang awalnya bingung langsung tersadar. Ia menunduk sopan, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. “Benar, saya Cassandra. Senang bertemu dengan Anda, Nyonya”
“Oh, anak manis,” jawab wanita itu sambil mendekati Cassa, “Kau tidak perlu terlalu formal, sayang. Panggil aku ibu, seperti Alaric memanggilku. Dan kau sangat cantik. Alaric & Nathan benar-benar tidak berbohong tentang itu.”
Cassa melirik Alaric dengan tatapan tajam, membuat lelaki itu hanya mengangkat bahu dengan senyum jahil.
“Ibu,” kata Alaric, nada suaranya sedikit menggoda tapi datar, “tidak perlu terlalu memuji dia di awal. Dia sudah cukup sering membuatku terdiam hanya dengan melihatnya.”
Cassa mendengus, tapi pipinya kembali memerah, meskipun ia berusaha keras menyembunyikannya.
“Masuklah,” lanjut Seraphine membuka pintu lebih lebar, “Ayahmu sudah menunggu, Ala. Dan Ibu yakin Cassa akan merasa nyaman di sini. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang.”
Cassa mengangguk pelan dan Alaric hanya membalas dengan deheman saja. Cassa melirik sekilas pada Alaric yang berjalan di sampingnya. Lelaki itu terlihat begitu santai.
"Kalian sudah sampai?"
"Ya, Ayah."
Kedua lelaki berbeda umur itu saling menatap dengan tatapan tajam seperti saling bermusuhan, Cassa bingung. Suasana macam ini? Kenapa Alaric dan Ayahnya seperti bermusuhan? Kenapa?..
...— Bersambung — ...
Misal.
"Kakak, kau sudah gila, ya? Apa perlu kupanggilkan seorang tabib?" tanya Cassandra BLA BLA BLA.
Debutante. Ini kata asing, kan? bukan kata dari KBBI atau serapan?
Kalo iya, harusnya menggunakan font italic (miring) sebagai kata asing.