Ellara, gadis 17 tahun yang ceria dan penuh impian, hidup dalam keluarga yang retak. Perselingkuhan ayahnya seperti bom yang meledakkan kehidupan mereka. Ibunya, yang selama ini menjadi pendamping setia, terkena gangguan mental karena pengkhianatan sang suami bertahun tahun dan memerlukan perawatan.
Ellara merasa kesepian, sakit, dan kehilangan arah. Dia berubah menjadi gadis nakal, mencari perhatian dengan cara-cara tidak konvensional: membolos sekolah, berdebat dengan guru, dan melakukan aksi protes juga suka keluyuran balap liar. Namun, di balik kesan bebasnya, dia menyembunyikan luka yang terus membara.
Dia kuat, dia tegar, dia tidak punya beban sama sekali. itu yang orang pikirkan tentangnya. Namun tidak ada yang tahu luka Ellara sedalam apa, karena gadis cantik itu sangat pandai menyembunyikan luka.
Akankah Ellara menemukan kekuatan untuk menghadapi kenyataan? Akankah dia menemukan jalan keluar dari kesakitan dan kehilangan?
follow ig: h_berkarya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingatan Gavin
Untuk kali kedua, Gavin datang ke tempat ini. Saat ini, dia datang dengan seorang Psikiater yang di kenal oleh orang luas karena kinerjanya selama ini memiliki tingkat keberhasilan di atas 90%. Terhitung, orang orang yang dia tangani rata rata sembuh pada akhirnya. Itulah mengapa Gavin meyakinkan Ellara kemarin.
Selama ini, Om Delon memang tinggal dan bekerja di luar negeri, tepatnya di Singapura karena istrinya dari sana. Tapi sejauh dia kerja, di Negaranya sendiri dia sangat di kenal.
Mereka masuk, menemui dokter yang menangani Mama Delina.
Sementara om Delon menemui Dokter Elis, Gavin pergi ke ruangan Mama Delina, di antar oleh seorang perawat.
Gavin masuk, memperhatikan wanita paruh baya itu yang terlihat masih sibuk dengan bonekanya, dia di temani oleh suster Erma.
“Selamat siang suster” Suara Gavin terdengar sangat pelan.
“Selamat siang, Anda?” Suster Erma menatap bingung. Dia memang tidak sempat melihat Gavin kemarin, makanya agak heran melihat pria asing itu disini.
“temannya Ellara, suster” Gavin memperkenalkan dirinya. Suster Erma hanya mengangguk, kemudian kembali memperhatikan Mama Delina yang masih juga belum menoleh.
“Dia nggak teriak teriak seperti kemarin kan Sus?”
“Tadi iya, tapi sekarang udah enggak” jawab Suster Erma. Gavin mengangguk, kemudian berjalan mendekat.
“Halo tante” sapanya pada Mama Delina. Wanita itu menoleh, memperhatikan wajah Gavin.
“wahh, Gavin datang mau menemui Ara ya?”
Deggg
Jantung Gavin berpacu cepat. Apalagi mendengar suara yang begitu lembut sampai pada telinganya.
“Maaf ya Gavin, Aranya lagi tidur tuh, kamu duduk dulu ya, atau mau makan sayang? Kebetulan tante ada buatin cake kesukaan Ara nih” Dia mengambil piring bekas makannya. Membawanya pada Gavin. Senyum itu selalu terpancar, dia juga menuntun Gavin untuk ikut duduk di ranjang.
“Astaga, ternyata sudah habis cakenya sayang, tunggu, tante buat lagi aja” dia kembali berdiri.
Gavin memegang kepalanya erat, serpihan ingatan itu terputar dalam otaknya. Ingatan yang masih abu abu, seperti kaset rusak yang menghantui isi kepalanya.
“Arghkkkkkk” teriak Gavin tak kuasa menahan sakit di kepalanya.
Dalam rumah yang terlihat tidak terlalu besar itu, Gavin diam, mendengarkan teriakan mommynya yang setiap hari selalu memarahinya.
“Berdiri!!!” bentak wanita itu dengan suara lantang. Dia menyeret tangan mungil Gavin, membawanya ke ruangan bawah tanah yang tampak gelap dan pengap.
Gavin mulai gemetar, dia menangis tanpa suara.
Cetasss
Cetasss
Dia di ikat di sebuah kursi rotan, setelahnya wanita itu mulai mencambuk nya sekuat tenaga.
“Teriak Gavin!” pintanya di sela sela suara cambuk yang semakin terdengar nyaring, mengelupas kulit anak kecil itu.
“Teriak! Aku suka mendengar teriakan histerismu!” Gavin tidak melakukannya.
“Teriak nggak!!! Dasar anak sialan!!!” cambuk itu berkali kali menyentuh kulitnya, hingga melepuh. Setelah cukup puas, wanita paruh baya itu keluar, meninggalkan Gavin disana dalam kesendiriannya. Dia bahkan mengunci pintu ruangan itu, menciptakan nafas sesak karena tidak ada udara.
.
.
“shtttttt, sakit, sakit mom, sakit..” lirih Gavin saat ini.
“To-tolong.. Siapa pun tolong aku..” Suster Erma yang melihatnya menghampiri Gavin.
“Hai, hei kamu kenapa?” tanya suster Erma panik sendiri. Dia menggoyangkan tubuh Gavin, agar pria itu tersadar.
“Eh, dia kenapa mbak?” tanya Mama Delina yang juga menatap heran.
“Mas, mas kenapa?” setelah tadi dia mengingat nama Gavin, kini kembali ke setelan awalnya, dia menatap takut pada Gavin.
“To-tolong..... Sakit, sakit sekali, hikssss.” Gavin berlari keluar. Di pintu dia menabrak dengan Om Delon yang memang hendak mengunjungi Mama Delina.
“Gavin, kamu kenapa?” tanya pria itu merasa heran.
Gavin duduk, dia bersandar pada tembok. Menyakiti kepalanya pada kedua lututnya.
“Sakit.. Aku tidak akan melakukan kesalahan lagi Mom, tolong hentikan..”
“Astaga, dia mengingat jalang itu!” umpat Om Delon. Tangannya terkepal kuat. Dia ikut duduk, membujuk Gavin untuk pergi dari sana.
“Gavin, sadar heiii!” Om Delon berusaha keras, tapi Gavin tetap seperti itu.
“Kenapa dia bisa seperti ini Suster?” tanya Om Delon menatap tajam pada suster Erma yang masih berdiri dengan tatapan cemas.
“Aku kurang tahu Dok, tapi tadi dia sempat datang ke ruangan Bu Delina, mereka terlihat saling mengenal, dan ya, setelah itu dia terlihat agak aneh seperti ini” jelas suster Erma.
“Bu Delina siapa?”
“itu pasien yang akan Anda tangani nantinya dokter” timpal Dokter Elis yang sejak tadi melihat.
“Sakit.... Sakit mom..” Gavin masih memegang kepalanya.
“Gavin, ini tante sudah nyiapin cakenya, sini sayang! Eh, dimana ya..”
“Mbak, mbak melihat anak kecil tadi? Aku menyuruhnya tunggu di sini tadi, tapi dimana ya?” di tengah ketegangan yang terjadi, Mama Delina bertanya pada suster Erma, sembari membawa piring di tangannya.
“Eh, itu pria jahat kan? Mau kamu apain anak itu, lepaskan!!!” Dia menarik paksa Om Delon yang terlihat membujuk Gavin. Membawa tubuh pria paruh baya itu agar menjauh dari sana. Mama Delina menampilkan muka garangnya, berdiri dengan tangan dia rentangkan, menghalangi Om Delon untuk mendekati Gavin lagi.
“Dengar ya! Anak kecil ini adalah teman putri saya, kamu pikir saya akan biarkan kamu menculiknya lagi? Kamu menculik putra saya, dan sekarang mau menculik anak ini? Dasar gila!” teriak Mama Delina memaki maki Om Delon. Dia juga mendekat ke pria itu, hendak mencakar nya.
“Pergi! Pergi kamu dari sini atau saya lapor polisi! Mbak, dimana ponsel saya? Tolong hubungi polisi, disini ada orang yang berniat menculik anak kecil!” Suster Erma dan Dokter Elis menenangkan Mama Delina. Mereka juga mengamankan wanita itu.
“Hah, lepaskan!! Kalian kenapa malah begini? Kalian mau anak itu di culik olehnya? Bukankah mbak tadi yang bilang kalau dia telah mencuri putra saya? Lalu kalian ingin diam saja?” banyak sekali ocehan yang keluar dari mulut Mama Delina.
Mereka tak menghiraukan nya, Om Delon mulai mendekati Gavin. Memapah tubuh Gavin untuk pergi dari sana.
“Hei, kamu mau membawa anak kecil itu, hikss.. Mbak, tolongin dia dong, dia mau di culik!!” langkah Om Delon di iringi teriakan yang lantang dari Mama Delina.
“Hei, kamu!!!”
“Suster, tolong suntik obat penenang!” perintah Dokter Elis dengan suara datarnya. Bukan apa, telinganya merasa sangat sakit mendengar teriakan itu.
Mendengar perintah dari Dokter Elis, Suster Erma menyuntikkan obat penenang pada Mama Delina, hingga tak lama setelahnya wanita itu sudah berdiam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kenapa diam? Anda sudah menyadarinya? Ya sudah, aku ke kam—"
Koreksi sedikit ya.