GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 35. Karena Uang dan Koneksi.
Kaesang menoleh ke arah siswi yang tadi menjadi korban perundvngan. Rambutnya kusut, seragamnya berantakan, dan wajahnya penuh dengan air mata. Dia tak berani menatap Kaesang, hanya menunduk dalam diam, sesenggukannya terdengar pilu.
"Lo nggak papa?" tanya Kaesang kepada siswi itu. Siswi itu perlahan mengangkat wajahnya, tatapannya bertemu dengan tatapan Kaesang.
Siswi itu mengangguk pelan, tubuhnya masih gemetar. "Nggak papa. Makasih ya udah nolongin," katanya, suaranya bergetar karena ketakutan. Kaesang mengangguk, lalu menoleh ke arah Tyas.
"Gue nggak ngelakuin apa-apa kok, semua ini Bu Tyas yang ngelakuin. Dia yang udah nolongin Lo, harusnya lo terima kasih sama Bu Tyas bukan gue." Kata-kata Kaesang membuat siswi itu menoleh ke arah Tyas. Matanya masih berkaca-kaca, tubuhnya gemetar hebat. Pembvllyan yang dialaminya tadi sungguh membuatnya trauma.
"Terima kasih, Bu Tyas. Saya benar-benar beruntung Ibu datang. Nggak kebayang kalau Ibu nggak ada, mungkin keadaan saya sekarang jauh lebih burvk. Terima kasih ya, Bu," ujar siswi itu sambil tersenyum.
Meskipun penampilannya berantakan, kecantikannya tetap terpancar. Tyas membalas senyumannya dan dengan lembut mengusap pipi siswi itu, membersihkan sisa-sisa tepung yang menempel di wajahnya.
"Sama-sama. Lain kali kalau kamu mengalami hal seperti ini lagi, jangan diam aja ya. Kalau kamu bisa membalas, ya balas. Tapi kalau kamu merasa nggak bisa, kamu laporkan aja ke Pak Indra. Biar Pak Indra yang ngasih konsekuensi sama mereka ...
Jangan biarin mereka menang dan semakin berkuasa. Kamu mau terus-terusan di-bvlly kayak gini?" Tyas memberikan beberapa nasihat kepada siswi itu, yang hanya dibalas anggukan olehnya.
Sebenarnya, siswi itu ingin membalas perbuatan mereka. Tapi rasa takut menguasainya. Dia sadar, kondisi finansialnya tidak setara dengan mereka. Hal itu membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.
Sembari menundukkan wajahnya, siswi itu membalas. Senyumnya terasa getir, seolah menyimpan luka yang tak terucapkan. "Sebenarnya saya ingin membalasnya Bu. Saya ingin meninjv mereka semua karena saya adalah atlet beladiri. Tapi saya orang miskin Bu, saya nggak memiliki apapun yang bisa untuk melawan mereka ...
Benar kata orang tua saya, di manapun tempat kita berada jika kita tidak kaya kita tidak bisa melakukan apapun. Saya sekolah di sini juga karena prestasi, karena beasiswa, bukan karena kekayaan ...
Saya sering dibvlly sama mereka karena kondisi finansial saya. Saya sering membalasnya tapi itu selalu berakhir dengan pembvllyan seperti ini. Saya ingin menyerah tapi sebentar lagi saya akan lulus. Saya tidak bisa membiarkan perjuangan saya terbuang sia-sia hanya karena hal kecil seperti itu," cerita siswi itu.
Tyas dan Kaesang yang mendengarnya merasa prihatin. Tyas yang merupakan guru di sekolah itu ingin sekali membantu siswi itu, tapi dia sendiri juga bukanlah orang kaya dan berkuasa. Dia tidak bisa melakukan apapun selain apa yang dilakukannya tadi. Sedangkan Kaesang yang merupakan anak dari pemilik sekolah itu langsung memiliki ide cemerlang.
"Berapa lama Lo dibvlly sama mereka?" tanya Kaesang, wajahnya terlihat datar, dingin dan cuek, tapi sorot matanya menunjukkan rasa peduli.
Siswi itu terdiam sejenak, matanya seolah sedang berkelana jauh, mengingat kembali masa lalunya.
Akhirnya, dia menoleh ke arah Kaesang dan menjawab, "Hmm, hampir tiga tahun ini. Dari awal aku sekolah sampai sekarang mau lulus, mereka selalu bvlly aku. Sering banget mereka bawa aku ke taman di belakang sekolah atau ke tempat-tempat sepi buat ng4niaya aku." Suaranya bergetar, jelas dia masih terluka dan sedih.
Kaesang dan Tyas yang mendengarnya langsung tercengang. Tyas, yang baru mengajar di sana, tentu saja tidak tahu menahu soal pembvllyan itu. Tapi Kaesang, yang sudah sekolah di sana sejak awal, merasa geram. Bagaimana bisa dia tidak tahu soal pembvllyan itu?
"Astaga, jadi kamu sudah di bully selama itu? Kenapa kamu nggak lapor ke Pak Indra kalau kamu dibvlly sama mereka?" cecar Tyas terlihat khawatir.
"Lo tenang aja, gue bakal laporin ini ke bokap gue dan pastiin ketiga cewek tadi bakal dikeluarin dari sekolah," timpal Kaesang, suaranya tegas.
"Gue nggak peduli kenapa lu nggak bilang selama ini, tapi gue janji bakal ngehukum ketiga cewek tadi." Matanya menatap tajam ke arah siswi yang dibvlly tadi, seperti elang yang mengintai mangsanya.
Siswi itu terkesiap, matanya membulat karena terkejut. Kepalanya menggeleng cepat, menolak dengan kuat. Wajahnya pucat, dipenuhi ketakutan yang terpancar jelas.
"Enggak, jangan Kae. Jangan!" Siswi itu menggeleng cepat, menolak dengan suara bergetar. Kaesang dan Tyas saling bertukar pandang, terkejut dengan penolakan tiba-tiba itu.
Tyas kembali memalingkan wajahnya ke arah siswi itu. "Loh kenapa? Bukannya bagus ya kalau Kaesang mau ngelaporin ini ke Pak Indra? Nanti anak-anak yang udah bvlly kamu bakal dihukum dan dikeluarin dari sekolah, kamu bisa sekolah dengan nyaman lagi di sini sampai kamu lulus," kata Tyas, suaranya terdengar menenangkan.
"Bu Tyas bener. Kalau kasus ini gue laporin ke Papa pasti Papa bahkan ngambil tindakan dan ngeluarin ketiga cewek tadi dari sekolah. Lo kenapa malah nolak? Ketiga cewek tadi udah ngancem lo ya?!" curiga Kaesang.
Dia memang tidak mengenal satu persatu siswi maupun siswa di sekolahnya sendiri. Tapi dia sering mendengar ada beberapa siswa maupun kelompok yang sangat nakal dan suka membvlly orang lain. Mereka sekolah di sini juga bukan karena prestasi, tapi karena uang dan koneksi.
Siswi itu menolak menjawab. Dia terlihat ketakutan, seperti baru saja dianc4m untuk tidak mengatakan hal yang jujur. Dia terus menggelengkan kepalanya, menatap ke arah Kaesang dan Tyas bergantian.
"Nggak, pokoknya jangan laporin hal ini ke Pak Indra! Jangan bikin hidup gue makin hancvr lagi!" Siswi itu semakin tertekan. Setelah mengatakan itu, dia langsung berlari meninggalkan mereka, kedua tangannya menutupi kepala, air matanya mengalir deras.
Setelah siswi itu pergi, Kaesang menoleh ke arah Tyas. Dia juga sangat khawatir kepada Tyas karena tadi Tyas hampir saja dit4mpar oleh siswi yang nakal tadi.
"Kamu nggak papa kan? Nggak ada yang luka?" tanya Kaesang, suaranya terdengar khawatir. Untung saja tidak ada seorang pun di sana, jadi Kaesang bisa leluasa bicara dengan Tyas.
Tyas menoleh ke sana kemari, memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka selain dirinya dan Kaesang. Melihat sekeliling kosong, tak ada siswa atau guru yang lewat, Tyas akhirnya menoleh ke arah Kaesang, tersenyum tipis, dan menggelengkan kepalanya.
"Aku baik-baik aja kok. Makasih ya udah datang. Kalau kamu nggak datang tepat waktu tadi, mungkin pipi aku udah merah-merah nih kena tamparan siswi tadi." Tyas berkata sambil tersenyum, mengingat bagaimana siswi itu hendak men4mparnya. Benar-benar nakal siswi itu, tidak kenal aturan dan sopan santun.
"Sama-sama. Lain kali kalau emang kamu nggak bisa ngehadepin semuanya sendiri, kamu pergi aja dan nyari bantuan. Atau kalau perlu, panggil aku aja, nanti aku laporin ke Papa biar Papa yang ngambil tindakan ...
Aku bener-bener nggak nyangka loh ada siswi kayak mereka tadi di sekolah ini. Kayak aku tuh ngerasa kalau sekolah ini tuh sekolah yang aman, nggak bakal ada pembvllyan semacam apapun. Tapi ternyata tanpa sepengetahuanku ada siswi kayak mereka di sini." Kaesang terlihat memijat kepalanya dan menggeleng.
"Aku juga nggak nyangka bakal ada pembvllyan seperti tadi, serius deh," jawab Tyas dengan wajah serius.
"Ehm, kamu laporin pembvlian tadi ke Pak Indra ya, minta Pak Indra buat ngasih konsekuensi sama ketiga anak tadi. Takutnya kalau kita nggak ngasih konsekuensi dan nurutin kata-kata siswi tadi, pembvllyan seperti tadi bakal terjadi lagi," pinta Tyas, suaranya terdengar sedikit memohon.
Kaesang mengangguk tanpa ragu. "Aku emang akan ngelaporin ini kok. Kamu tenang aja, nanti aku bakal ke ruangan papa buat ngelaporin pembuvlian tadi. Kamu mau ke mana, sendirian aja?" tanya Kaesang kemudian.
"Aku tadi mau ke kantin buat makan siang, terus tiba-tiba lihat pembvlian tadi, jadi ya Aku nggak jadi buat ke kantin. Kamu mau ke mana, ke kantin juga?" tanya balik Tyas.
Kaesang menggeleng. "Aku mana suka sih ke kantin, aku tadi mau ke perpustakaan, eh pas di jalan ada siswi yang ngasih tau kalau ada pembullyan di lorong sebelah lab biologi ...
Aku datang cuma buat ngecek aja, eh pas sampai di sana, aku lihat kamu mau dit4mpar sama siswi itu, jadinya ya aku panik terus memberhentiin mereka. Aku takut banget tau tadi, takut kamu disakitin mereka," jelas Kaesang, raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran.
Tyas tersenyum dan mengusap lengan Kaesang. Mumpung tidak ada orang lain. "Makasih udah khawatir, tapi aku nggak apa-apa kok. Aku cuma belain siswi tadi aja, nggak tega aku rasanya lihat dia kayak gitu. Dia loh kotor banget. Kok ya diam aja waktu di bvlly ...
Ehm, Kita pindah ke perpustakaan aja yuk, cari yang sepi, kalau di sini nanti ada yang lihat kita bisa berabe." Kaesang mengangguk setuju. Tyas benar juga.
Jika mereka bicara di sini mungkin akan ada orang lain yang melihat mereka, saat ini kan masih jamnya istirahat. Kalau ada siswi lain yang lewat sini terus melihat mereka bicara berdua pasti akan curiga.
Meskipun tempat ini adalah tempat yang sepi, jarang ada siswi maupun siswa yang lewat depan lab biologi. Tempat yang kata mereka adalah angker.
Kaesang mengangguk setuju, "Oke, kita ke perpustakaan sekarang. Tapi tadi kamu katanya mau ke kantin, berarti kamu lapar dong? Kamu mau ke kantin aja?" tanya Kaesang.
"Aku lapar sedikit sih, tapi nggak terlalu. Kita ke perpustakaan aja. Nanti setelah dari perpustakaan baru aku ke kantin. Habis ini aku nggak ada jam lagi, jam ngajar aku baru di jam terakhir, jadi aman. Yuk, kita ke perpustakaan. Aku pengen ngobrol banyak hal sama kamu, sekalian bahas pesan yang kamu kirim tadi," jawab Tyas sambil tersenyum.
Senyum lebar mengembang di wajah Kaesang. Berduaan dengan Tyas seperti ini, meskipun harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, membuatnya merasa sangat bahagia.
"Okay, let's go to the library. Kamu jalan duluan ya, biar nggak ada yang curiga. Nanti kalau kamu udah masuk, baru aku nyusul. Takutnya kalau kita jalan barengan, ada yang curiga," bisik Kaesang. Tyas pun mengangguk dan berjalan terlebih dahulu. Setelah benar-benar jauh, melewati beberapa belokan, dan akhirnya sampai di perpustakaan, Tyas pun masuk.
Kaesang menyusul, matanya mencari-cari Tyas di antara deretan rak buku yang menjulang tinggi. Sesuai janji yang tertuang dalam pesan singkat mereka, Tyas sudah menunggu di pojok paling belakang perpustakaan, tempat yang sepi dan terpencil.
(Yang, nanti aku tunggu kamu di pojok paling belakang perpus ya, kamu datang aja. Pojok itu sering sepi, jadi aman kalo kita bicara berdua)
(Aku udah sampe perpus Yang, kamu nyusul aja. Sepanjang jalan banyak cowok cewek ngumpul, tapi aman kok. Mereka pada sibuk sama urusan masing-masing. Kamu cepet kesini ya, keburu jam istirahat berakhir)
Bersambung ...