Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Keseruan Sarapan
Pagi yang cerah menyelimuti kota. Matahari memancarkan sinarnya melalui celah-celah tirai kamar pengantin, membangunkan pasangan baru itu dari malam penuh cinta yang baru saja mereka lalui. Harrison sudah terjaga lebih dulu, memandang wajah Hawa yang masih terlelap di sampingnya. Ia tersenyum, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah istrinya.
Tak lama kemudian, Hawa mengerjapkan matanya perlahan, matanya yang masih mengantuk bertemu dengan pandangan penuh kasih dari Harrison. “Selamat pagi, istriku,” sapa Harrison lembut.
Hawa tersenyum malu, mengingat malam sebelumnya. Tubuhnya terasa pegal, namun hatinya dipenuhi kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. “Selamat pagi…” jawabnya pelan.
Harrison tertawa kecil, menatap leher Hawa yang tampak kemerahan. “Sepertinya aku terlalu menikmati malam kita. Maaf kalau aku meninggalkan beberapa ‘jejak’ di tubuhmu.”
Hawa segera meraba lehernya dan menyadari apa yang dimaksud Harrison. Pipinya memerah seketika. “Kamu ini... Apa tidak cukup semalam kamu menggoda?” Ia menunduk malu, mencoba menutupi tanda-tanda itu dengan selimut.
Harrison semakin terhibur melihat istrinya malu-malu seperti itu. “Tenang saja, aku akan bilang ke Mami kalau itu bekas alergi.”
“Jangan bercanda!” Hawa memukul ringan lengan suaminya, membuat mereka berdua tertawa lepas.
Setelah momen penuh kehangatan itu, mereka bersiap untuk sarapan bersama keluarga. Hawa mengenakan gaun sederhana berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun, meskipun ia masih merasa canggung karena tanda-tanda di lehernya yang sulit disembunyikan.
Keseruan di Meja Makan.
Di ruang makan hotel yang sudah disiapkan untuk keluarga, Emma sudah duduk di antara Nikki dan Anna Noah. Nikki terlihat sibuk menceritakan sesuatu yang membuat Emma tertawa riang. Tamara, Dylan, Benji, dan Malika juga sudah hadir, menikmati aroma kopi dan roti panggang yang tersaji.
Begitu Harrison dan Hawa muncul, semua mata tertuju pada mereka. Harrison dengan percaya diri menggenggam tangan istrinya, sementara Hawa berusaha tersenyum walau malu karena sorotan mata keluarga mereka.
“Oh, lihat siapa yang datang! Pengantin baru yang bersinar,” seru Benji dengan nada menggoda.
Emma segera berlari menghampiri Hawa dan memeluknya. “Mama cantik banget! Apa semalam Papa jaga Mama baik-baik?” tanyanya polos, membuat semua orang di ruangan tertawa.
Hawa hanya tersenyum canggung, sementara Harrison dengan santainya menjawab, “Papa selalu menjaga Mama dengan sangat baik, Emma.”
Anna Noah yang memperhatikan tanda kemerahan di leher Hawa langsung menyipitkan matanya. “Harrison, itu di leher Hawa apa ya? Kok kayaknya…”
“Ah, alergi, Mami,” jawab Harrison cepat sambil tersenyum lebar. “Mungkin karena semalam terlalu dingin.”
Tamara yang duduk di dekat Anna langsung tertawa kecil. “Alergi, ya? Kalau begitu, alerginya cukup parah sampai meninggalkan bekas seperti itu.”
Semua orang di meja makan tertawa, kecuali Hawa yang berusaha menunduk, menahan malu. “Sudahlah, jangan bahas itu,” katanya sambil menyenggol lengan Harrison pelan.
Benji ikut menambahkan, “Yah, Hawa, jangan malu. Itu tandanya suamimu sangat mencintaimu.”
Hawa hanya bisa tersenyum tipis, sementara Harrison merasa puas karena semua orang bisa tertawa. Ia tahu momen seperti ini adalah awal yang baik untuk mempererat hubungan antara Hawa dan keluarganya.
Saat semua orang sibuk menikmati sarapan, Emma, yang duduk di pangkuan Nikki, tiba-tiba bertanya dengan suara polos, “Mama, kenapa leher Mama ada bercak merah? Apa Mama sakit?”
Pertanyaan itu membuat semua orang terdiam sejenak, sebelum akhirnya Dylan, ayah Hawa, tertawa terbahak-bahak. “Emma, itu bukan sakit. Itu tandanya Mama bahagia.”
Hawa segera menunduk, menutupi wajahnya yang memerah. “Papa! Jangan bicara seperti itu di depan Emma,” protesnya dengan nada malu-malu.
Harrison yang duduk di sebelah Hawa hanya tersenyum penuh arti. “Emma, Papa akan jelaskan nanti, ya. Yang penting sekarang Mama baik-baik saja.”
“Janji, ya, Pa?” Emma berkata dengan nada penuh rasa ingin tahu, membuat semua orang kembali tertawa.
Setelah sarapan, suasana menjadi lebih santai. Dylan menghampiri Harrison sambil menepuk bahunya. “Kamu berhasil membuat keluarga ini tertawa pagi ini. Itu bagus, Harrison. Tapi ingat, tugasmu untuk menjaga kebahagiaan Hawa belum selesai. Aku percaya kamu bisa melakukannya.”
Harrison menatap Dylan dengan serius. “Jangan khawatir, Pa. Aku berjanji akan menjaga Hawa dengan segenap hatiku. Dia adalah segalanya bagi aku.”
Mendengar itu, Dylan merasa terharu, matanya berkaca-kaca. Ia memeluk Harrison singkat sebelum berkata, “Bagus. Kalau kamu melukai hatinya, kamu tahu di mana aku akan berdiri.”
Harrison mengangguk tegas. “Aku tidak akan mengecewakanmu, Pa.”
Setelah sarapan selesai, keluarga mulai beranjak untuk melanjutkan aktivitas masing-masing. Namun, Harrison dan Hawa tetap berada di meja makan, menikmati momen berdua setelah keramaian pagi. Harrison memandang istrinya yang tampak bahagia meskipun masih sedikit malu dengan candaan keluarga tadi.
“Hawa,” panggil Harrison lembut, sambil meraih tangan istrinya. “Setelah ini, aku ingin mengajakmu pergi jauh dari semua kesibukan. Kita butuh waktu untuk berdua saja. Aku ingin memastikan kamu menikmati awal perjalanan hidup baru kita ini dengan penuh kebahagiaan.”
Hawa menatap Harrison dengan senyum lembut. “Kamu mau ajak aku ke mana? Kamu tahu aku belum pernah keluar negeri sebelumnya.”
Harrison tertawa kecil. “Aku sudah mempersiapkan semuanya. Aku ingin mengajakmu ke Maldives. Kita akan menghabiskan waktu di villa terapung, menikmati matahari terbenam, berenang di laut biru, dan menikmati makan malam romantis di bawah bintang-bintang.”
Mata Hawa berbinar. “Benarkah? Itu terdengar seperti mimpi.”
Harrison mengangguk sambil tersenyum. “Aku ingin memberimu pengalaman yang tidak akan pernah kamu lupakan. Bagaimana menurutmu?”
Hawa tertawa kecil, merasa terharu. “Aku tidak pernah membayangkan akan punya kesempatan seperti ini. Tapi, bagaimana dengan Emma? Apa dia tidak akan merasa kesepian?”
Harrison menggenggam tangan Hawa lebih erat. “Emma akan tinggal bersama Nikki, Mama Anna, dan keluargamu. Dia akan baik-baik saja. Kita hanya pergi beberapa hari, dan aku sudah memastikan dia akan merasa nyaman. Ini saatnya kita fokus pada kita, Hawa. Aku ingin memastikan kamu tahu betapa berharganya kamu bagiku.”
Hawa merasa hatinya hangat mendengar kata-kata Harrison. Ia mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan ikut ke mana pun kamu pergi. Aku percaya kamu sudah memikirkan semuanya.”
Harrison tersenyum puas. “Bagus. Karena kita berangkat besok pagi. Jadi, malam ini, aku ingin kamu istirahat dengan cukup. Perjalanan kita akan panjang, dan aku ingin melihatmu penuh energi saat kita tiba di sana.”
“Besok pagi?” Hawa terkejut. “Kenapa tidak memberi tahu lebih awal?”
“Aku ingin membuatnya jadi kejutan,” jawab Harrison sambil tersenyum lebar.
Hawa tertawa kecil, merasa bahwa Harrison selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. Ia tidak sabar untuk memulai babak baru dalam hidupnya, memulai perjalanan yang akan membawa mereka lebih dekat sebagai pasangan.
Di malam harinya, Harrison dan Hawa duduk di balkon kamar hotel, berbicara tentang rencana mereka, tertawa, dan saling berbagi mimpi untuk masa depan. Bagi Hawa, ini adalah awal dari kebahagiaan yang ia harapkan selama ini. Baginya, bersama Harrison, ia merasa dicintai dan dilindungi.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.