NovelToon NovelToon
Married By Accident

Married By Accident

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: Coffeeandwine

Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.

Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.

Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

A Father's Promise

Jae Hyun terdiam sesaat, mencoba mencerna informasi tersebut. “Apa itu artinya...” Ia berhenti sejenak, menelan ludah. “Kau hamil?”

Riin mengangkat bahu kecil. “Belum aku pastikan. Aku... belum memiliki keberanian untuk memeriksanya,” jawabnya dengan jujur. Nada suaranya terdengar penuh keraguan dan sedikit takut.

"Mau ke dokter bersamaku?” tanya Jae Hyun, nada suaranya berubah menjadi lebih tegas namun tetap lembut. “Bagaimanapun, harus kita pastikan lebih dulu.”

Riin akhirnya menatapnya, matanya terlihat penuh kecemasan. “Kau yakin? Lalu, jika hasilnya positif, bagaimana?”

Jae Hyun menatap Riin dengan mata yang penuh ketulusan. “Tentu saja kita rawat dan besarkan dia. Lagipula, kita juga sudah menikah.”

Riin menghela napas berat. “Orang-orang di kantor tidak tahu kalau aku sudah menikah. Apa jadinya jika aku bekerja dengan perut yang semakin membesar?”

"Tak ada pilihan lain selain mengumumkan pernikahan kita,” jawab Jae Hyun dengan santai, seolah-olah itu bukan masalah besar.

Riin memutar bola matanya lagi. “Ck, itu terdengar lebih menyeramkan daripada hujan deras ini.”

Jae Hyun tersenyum kecil, lalu meraih tangan Riin. Genggamannya hangat dan menenangkan, meskipun tangannya sedikit basah oleh udara lembap di dalam mobil. “Tenanglah,” ujarnya dengan nada lembut namun tegas. “Tak akan ada yang berani menindasmu jika mereka tahu kau istri seorang CEO. Tapi sebaiknya hal itu kita pikirkan belakangan. Sekarang, kita fokus saja pada dirimu dan kemungkinan adanya janin di dalam rahimmu. Bahkan sekalipun tak ada, aku tetap akan menjalankan tanggung jawabku.”

Riin menatapnya, merasa hatinya mulai tenang meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai pertanyaan dan ketakutan. Hujan terus mengguyur, menciptakan suasana yang seolah membungkus mereka dalam dunia kecil mereka sendiri. Dunia di mana hanya ada mereka berdua dan masalah yang harus mereka hadapi bersama.

***

Usai sepakat untuk melakukan pemeriksaan, Jae Hyun dan Riin membuat reservasi dengan dokter kandungan di Rumah Sakit. Sayangnya, mereka harus bersabar menunggu satu hari lagi untuk pemeriksaan tersebut. Dalam ketidakpastian itu, pagi harinya tetap dimulai dengan rutinitas biasa, seperti tak ada yang berubah.

Jae Hyun keluar dari kamarnya dengan setelan rapi, jas gelapnya terpasang sempurna, dasi yang ia pakai lurus tanpa cela. Langkahnya mantap hingga ia berhenti di ambang pintu dapur, menyaksikan Riin yang tengah sibuk dengan mesin pembuat kopi. Aromanya yang khas memenuhi ruangan kecil itu. Namun, ia memecah keheningan.

“Apa tidak sebaiknya kau berhenti meminum kopi dulu?” tanyanya, suaranya datar tapi ada sedikit nada khawatir yang terselip.

Riin menoleh dengan dahi berkerut. Biasanya pagi mereka diisi dengan keheningan dan gerakan efisien masing-masing. Ia bahkan sedikit terkejut mendengar suara Jae Hyun yang memecah kebiasaan. “Kenapa tiba-tiba melarangku minum kopi?” tanyanya, cangkir kopi yang baru diangkat dari mesin ia letakkan kembali ke meja dapur. Matanya menyipit, penuh selidik. “Apa itu aturan baru di rumah ini?”

“Bukan...” jawab Jae Hyun, nadanya lebih lembut dari biasanya, seperti meninggalkan sisi dingin yang selalu melekat padanya. “Aku dengar ibu hamil tak boleh mengonsumsi terlalu banyak kafein. Kalau aku perhatikan, kau minum kopi setiap hari di rumah dan kantor.” ada kekhawatiran yang ia coba sembunyikan di balik sikapnya yang selalu terkendali.

Riin menatapnya, berusaha mencerna kata-kata itu. Rasanya aneh, pria yang biasanya bersikap kaku tiba-tiba menunjukkan perhatian sekecil ini. “Darimana kau tahu soal itu?”

“Semalam aku mencari informasi di internet,” jawabnya sambil mengusap tengkuk, sedikit canggung. “Meskipun kita belum tahu pasti apakah kau hamil atau tidak, aku rasa tidak ada salahnya lebih berhati-hati.”

Perkataan itu berhasil menghangatkan hati Riin, meskipun ia mencoba menyembunyikan perasaannya. Senyum kecil muncul di bibirnya, tapi ia buru-buru menghapusnya. Dalam pikirannya, perhatian Jae Hyun ini bukanlah bentuk kasih sayang, melainkan tanggung jawab. Jika hasil pemeriksaan berkata lain, ia yakin Jae Hyun akan kembali menjadi pria dingin yang jauh darinya.

“Aku berangkat lebih dulu,” Jae Hyun akhirnya berkata, mengalihkan pandangan. “Sepulang kerja, aku tunggu di tempat parkir seperti kemarin, dan kita bisa berangkat bersama ke Rumah Sakit.”

Riin cepat menggeleng. “Tidak mau. Kita langsung bertemu di Rumah Sakit saja. Aku terlalu takut jika ada pegawai lain yang melihat.” Nada suaranya tegas, tapi ada sedikit rasa malu yang ia coba sembunyikan.

Jae Hyun mengangguk pelan, menerima keputusannya. “Baiklah.” tanpa berkata lebih banyak, ia beranjak pergi. Tapi langkahnya terhenti di pintu masuk saat ia hendak memakai sepatu.

“Riin-a!” panggilnya, cukup keras hingga Riin datang menghampirinya dengan bingung.

“Kenapa? Apa ada yang tertinggal?”

Jae Hyun menunjuk sepasang sepatu kerja Riin yang memiliki hak cukup tinggi. “Nanti sebaiknya kau jangan pakai sepatu ini.”

Riin menatapnya sejenak, mencoba membaca maksudnya, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Kita bahkan belum memastikan apakah bayi itu ada atau tidak, tapi kau sudah sangat cerewet dengan berbagai larangan. Jika dia benar-benar ada, apa kau akan membuat seribu peraturan untukku?” cibirnya.

“Mungkin saja, jika itu demi kebaikan kalian,” balas Jae Hyun tanpa ragu. Kata ‘kalian’ membuat jantung Riin berdesir aneh. Ada sesuatu dalam nada suara Jae Hyun yang seolah meyakinkan Riin bahwa kemungkinan itu nyata.

“Sudah sana cepat pergi ke kantor. Jangan sampai aku terlambat karena meladeni ocehanmu pagi ini,” ucapnya, mencoba mengalihkan pembicaraan. Tapi senyuman kecil tetap terukir di wajahnya.

Setelah Jae Hyun pergi, keheningan kembali melingkupi rumah itu. Riin berdiri di dapur, memandang cangkir kopi yang tak jadi diminumnya, lalu meraba perutnya. “Jika aku memang hamil... sepertinya bayi ini harus siap memiliki seorang ayah yang sangat posesif,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Ada harapan yang perlahan muncul dalam hatinya, meskipun ia tahu semua ini masih dalam ketidakpastian.

***

Siang itu di kantor, atmosfernya terasa sibuk namun tetap terorganisir. Ruangan yang dipenuhi meja kerja rapi dengan lampu putih terang yang menyinari tiap sudut, mendengungkan suara ketikan keyboard dan dering telepon sesekali. Pegawai hilir-mudik menyiapkan materi untuk rapat penting yang akan segera dimulai. Di tengah kesibukan itu, Jae Hyun berdiri sejenak di depan meja kerja Riin yang kosong. Wajahnya mengerut, tanda ia memikirkan sesuatu.

“Kemana dia?” gumamnya pelan sambil memerhatikan dokumen di meja Riin. Ia kemudian melangkah ke ruang rapat, berharap menemukannya di sana.

Namun, saat ia memasuki ruangan yang sudah dipenuhi pegawai, tidak ada tanda-tanda keberadaan Riin. Beberapa orang menoleh sekilas saat Jae Hyun masuk, tetapi segera kembali fokus ke layar proyektor yang menampilkan presentasi pembuka. Wajah Jae Hyun tampak tidak puas.

Ia mendekati Ah Ri, sekretarisnya yang duduk di sisi ruangan, dan berbisik dengan suara rendah agar tak menarik perhatian yang lain.

“Ah Ri-ya, kemana Riin? Bukankah dia juga harusnya ikut rapat hari ini?”

Ah Ri mendongak dengan ekspresi bingung. “Mungkin dia masih di ruang buku. Bukankah tadi dia bilang ada beberapa buku yang perlu di-review untuk pembahasan hari ini?” jawabnya dengan nada setenang mungkin.

Tanpa membuang waktu, Jae Hyun mengangguk singkat dan berbalik menuju pintu. Pegawai lain saling bertukar pandang, bingung melihat bos mereka pergi begitu saja tepat sebelum rapat dimulai.

“Sekretaris Shin, apa ada masalah?” tanya Seon Ho dengan nada hati-hati.

Ah Ri tersenyum tipis, berusaha meredakan kekhawatiran mereka. “Tidak, hanya ada hal kecil yang terlupa. Rapat akan tetap berjalan sesuai rencana.”

***

Langkah Jae Hyun terdengar bergema di lorong panjang menuju ruang buku. Aroma khas kertas bercampur dengan kayu menguar begitu ia membuka pintu ruangan yang tenang. Rak-rak tinggi dipenuhi buku berjejer rapi, seolah menjadi tembok pengetahuan yang menunggu untuk dijelajahi. Pandangannya sibuk menyapu setiap sudut, mencari sosok yang dikenalnya begitu baik.

Akhirnya, ia menemukannya. Riin berdiri di depan rak paling tinggi, tangannya berusaha meraih sebuah buku yang terletak di rak atas. Mata Jae Hyun sedikit menyipit, menangkap ekspresi frustrasi di wajah istrinya. Ia mendekat dengan langkah mantap, namun tanpa suara. Saat jaraknya hanya beberapa meter, ia mengulurkan tangan, mengambil buku yang menjadi sasaran Riin sebelum gadis itu menyadari kehadirannya.

Riin tersentak, menoleh cepat ke arahnya. “Harusnya kau meminta bantuan jika menghadapi kesulitan seperti ini,” kata Jae Hyun dengan nada yang bercampur teguran dan perhatian.

Riin menghela napas pendek, lalu mengambil alih buku itu dari tangan suaminya. Namun, alih-alih mengucapkan terima kasih, ia malah mencoba mengalihkan perhatian. “Semua orang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Mereka akan marah jika aku mengganggu.” Suaranya terdengar datar, tapi Jae Hyun menangkap nada ragu di baliknya.

Ia melirik arlojinya sejenak. “Apa masih ada lagi? Rapat harus segera dimulai,” tanyanya sambil memastikan waktu yang tersisa.

Riin mengangguk kecil dan menunjuk ke arah rak lain. “Ada dua buku lagi, di sebelah sana.”

Tanpa bicara lebih lanjut, mereka berjalan bersama menuju rak yang dimaksud. Riin berjalan lebih dulu, sedangkan Jae Hyun mengikuti di belakangnya. Rungan itu kembali sunyi, hanya suara langkah mereka yang terdengar. Ketika Jae Hyun mengambil dua buku terakhir yang ditunjukkan Riin, ia melirik gadis itu. Ada sesuatu di wajahnya_kelelahan bercampur dengan kecemasan halus.

“Aku dengar kau sudah mendaftarkan karyamu,” ucapnya tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana. “Penilaian akan dimulai awal bulan depan. Jadi, berdoa saja agar karyamu terpilih.”

Riin tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Ah Ri bilang penulis yang mendaftar tahun ini sangat banyak. Penilaian pun sangat ketat. Aku ingin menang, tapi aku juga tak ingin terlalu berharap.”

Jae Hyun menatapnya sejenak, lalu menyentil kening Riin dengan pelan. “Jangan meremehkan kemampuanmu seperti itu,” katanya dengan nada tegas namun lembut.

Riin hanya mengusap keningnya, pura-pura kesal. Tapi sebelum ia sempat membalas, Jae Hyun sudah mengambil alih semua buku dari tangannya. Pandangannya kemudian tertuju pada sepatu Riin, dan ia tersenyum kecil saat melihat gadis itu memakai sepatu dengan hak yang lebih rendah dari biasanya.

“Tapi setidaknya kau cukup patuh padaku,” ejeknya, menahan tawa.

***

1
Rita Syahrudin
Lumayan
ami
ok top
Coffeeandwine: Terima kasih utk apresiasinya
total 1 replies
Kyurincho
Recommended
Coffeeandwine
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!