Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Between Lies and Kindness
Di dalam sebuah toko perhiasan mewah di pusat kota Seoul, Ny. Hana, berdiri dengan percaya diri di dekat salah satu etalase, sementara putranya, Jae Hyun, dan calon menantunya, Riin, tampak sibuk memperhatikan cincin-cincin yang ditunjukkan oleh seorang pramuniaga yang tersenyum ramah.
Riin mencoba menjaga wajahnya tetap tenang meski dalam hatinya terjadi pergulatan. Pandangannya sempat tertuju pada sebuah cincin dengan berlian berbentuk oval yang memancarkan kilauan memukau di bawah lampu. Desainnya sederhana namun elegan, persis seperti yang ia idamkan. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya, menyembunyikan ketertarikannya. 'Harganya terlalu mahal.' pikirnya. Rasanya berlebihan jika cincin semewah itu dipilih untuk pernikahan kontrak, sebuah hubungan yang ia tahu hanya kesepakatan sementara.
"Sayang, apa belum ada yang cocok dengan seleramu?" tanya Ny. Hana dengan nada lembut. Wanita itu menyentuh lengan Riin dengan gerakan penuh kasih, mencoba menarik perhatian calon menantunya yang terlihat sedikit canggung.
Riin menoleh dan tersenyum kecil, berusaha menjaga kesopanannya. "Mm... aku terlalu bingung karena semuanya indah," jawabnya dengan suara pelan. Kata-katanya terdengar wajar, tetapi di dalam hatinya, ia merasa gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, seakan takut kebenaran isi hatinya akan terlihat.
Jae Hyun, yang sejak tadi berdiri di samping Riin, memperhatikan tingkah gadis itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Ia tersenyum tipis, ekspresinya tenang tetapi penuh arti. Ia tahu Riin sedang menahan diri, mencoba terlihat sopan di hadapan ibunya. Tanpa banyak bicara, ia mengulurkan tangannya dan mengambil cincin yang tadi sempat menarik perhatian Riin. Dengan gerakan yang percaya diri, ia memegang tangan gadis itu dan memasangkan cincin tersebut di jari manisnya.
"Aku rasa ini cocok untukmu," ujar Jae Hyun, suaranya rendah tetapi terdengar mantap. Mata mereka bertemu sejenak, dan Riin tertegun. Sentuhan cincinnya terasa dingin di kulit, namun tatapan Jae Hyun yang hangat membuatnya kehilangan kata-kata.
'Ini hanya kebetulan atau dia bisa membaca pikiranku?' pikir Riin dalam diam. Matanya terpaku pada Jae Hyun, mencoba memahami maksud di balik tindakan pria itu. Ada sesuatu dalam cara Jae Hyun memandangnya yang membuat Riin merasa terpojok, seakan pria itu benar-benar bisa melihat isi hatinya.
"Bagaimana? Kau menyukainya, sayang?" tanya Ny. Hana lagi, suaranya penuh harap. Ia tampak antusias, seolah benar-benar ingin memastikan bahwa calon menantunya merasa puas.
Riin menundukkan kepala sejenak, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Mm... ini... karena Jae Hyun yang memilihnya, jadi aku juga menyukainya," jawabnya pelan. Suaranya terdengar tulus, tetapi ada sedikit keraguan di balik kata-katanya. Ia melirik ke arah Jae Hyun, tetapi pria itu hanya tersenyum ringan tanpa mengatakan apa-apa.
Di sekitar mereka, beberapa pengunjung toko memperhatikan dengan senyum simpul. Bagi orang lain, momen itu tampak begitu romantis, seolah-olah Jae Hyun dan Riin adalah pasangan sempurna yang saling mencintai.
Ny. Hana tersenyum puas. "Baiklah, karena kalian sudah memilih cincin pernikahan, sekarang aku ingin memberikan Riin hadiah," katanya tiba-tiba. Ia melangkah menuju etalase lain dan mengambil sebuah gelang emas putih dengan hiasan berlian kecil di sekelilingnya. Gerakannya mantap, menunjukkan ketulusan dari setiap tindakannya. Tanpa ragu, Ny. Hana memakaikan gelang itu di pergelangan tangan Riin.
"Eommonim, aku rasa Anda tidak perlu melakukan hal ini," ujar Riin cepat, suaranya terdengar gugup. Wajahnya memerah, mencerminkan perasaan tidak nyaman yang terus menggelayuti hatinya. Ia merasa kebaikan ini terlalu berlebihan untuk sesuatu yang ia tahu hanyalah sebuah sandiwara.
"Sudahlah, terima saja," jawab Ny. Hana sambil menggenggam tangan Riin dengan hangat. Senyumnya lembut, penuh kasih sayang. "Ini sebagai bentuk penerimaanku atas dirimu sebagai menantu," lanjutnya. Sorot matanya memancarkan kejujuran yang sulit diabaikan. "Mendampingi dan hidup bersama putraku nantinya bukanlah hal yang mudah. Gelang ini tak ada artinya jika dibandingkan dengan waktu yang akan kau habiskan untuk mengurus Jae Hyun yang menyebalkan itu," tambahnya dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Riin terdiam. Kata-kata itu begitu tulus, begitu penuh makna. Matanya mulai berkaca-kaca, dan ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan emosi yang meluap. Ada rasa haru, kebahagiaan, dan juga rasa bersalah yang bercampur menjadi satu. Ia tak pernah menyangka akan diterima dengan begitu hangat oleh Ny. Hana, seorang wanita yang ia hormati tetapi juga takut ia kecewakan.
"Terima kasih karena sudah menerimaku dengan baik, Eommonim," ucap Riin akhirnya, suaranya bergetar. Air mata hampir saja mengalir, tetapi ia menahannya dengan sekuat tenaga. Ny. Hana, yang melihat wajah Riin penuh emosi, menarik gadis itu ke dalam pelukan hangat. Pelukan itu terasa begitu nyata, bukan sekadar formalitas. Itu adalah pelukan seorang ibu yang ingin memberikan rasa aman dan cinta pada menantunya.
Di sudut lain, Jae Hyun hanya bisa memperhatikan adegan itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia mengusap tengkuknya, mencoba meredakan kegelisahan yang diam-diam mengendap di dadanya. Ada rasa bersalah yang menghantui pikirannya. Semua ini, mulai dari cincin hingga penerimaan ibunya, dibangun di atas sebuah kebohongan yang ia ciptakan. Namun, melihat senyum bahagia di wajah ibunya, ia merasa lega. Setidaknya, untuk saat ini, ia telah memberikan kebahagiaan kecil kepada wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Namun, di balik ketenangan itu, Jae Hyun tahu ada konsekuensi yang harus ia hadapi nanti. Kebohongan ini mungkin akan menjadi bom waktu, tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk menikmati momen itu. Ia memandang Riin dan ibunya yang masih berpelukan, sebuah gambaran yang terasa hangat tetapi juga menyesakkan.
***
Tujuan selanjutnya adalah sebuah pusat perbelanjaan mewah yang berdiri megah di jantung kota Seoul. Gedung lima lantai ini penuh dengan toko-toko berkelas yang menjual barang-barang bermerek ternama.
Jae Hyun dan Riin berjalan berdampingan di tengah keramaian, meski langkah mereka tidak sepenuhnya seirama. Pikiran masing-masing tampak berkelana jauh dari apa yang terlihat di depan mereka. Ny. Hana, yang sebelumnya menemani mereka memilih perhiasan, telah memutuskan untuk pulang lebih dulu. Sebelum pergi, ia tersenyum hangat dan berkata, "Aku rasa kalian berdua perlu waktu untuk saling mengenal lebih baik. Pilih saja perabotan yang kalian suka. Aku percaya pada selera kalian."
Kini, hanya Jae Hyun dan Riin yang tersisa. Hening sejenak menyelimuti di antara mereka, hingga Riin akhirnya bertanya dengan nada ragu, "Ibumu sudah pulang, apa kita masih harus melanjutkan berbelanja?"
Jae Hyun menoleh, wajahnya tetap tenang. "Tentu saja," jawabnya tanpa ragu. "Setidaknya kita perlu membeli beberapa perabotan penting." Ia mengarahkan langkahnya ke sebuah area tempat ranjang-ranjang berbagai desain dipajang rapi. Matanya menelusuri setiap model yang ditawarkan, mulai dari ranjang minimalis dengan bingkai logam hingga ranjang berukir klasik yang terbuat dari kayu mahal.
Ia berhenti di depan sebuah ranjang berlapis kain beludru biru tua. Tangannya menyentuh permukaan lembutnya sebelum menoleh ke arah Riin. "Kau suka ranjang seperti apa?" tanyanya tiba-tiba, dengan nada santai.
Riin terdiam, wajahnya memerah seperti tomat matang. "Apa? Ke...kenapa tiba-tiba membahas soal ranjang?" tanyanya gugup. Nada suaranya terdengar bergetar, dan ia segera mengalihkan pandangannya, pura-pura tertarik pada sebuah meja kecil di dekatnya.
Jae Hyun menyipitkan mata sambil tersenyum tipis, lalu menyentil dahi Riin dengan pelan. "Ck, apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan nada mencibir. "Tenang saja. Kita tetap tinggal di kamar yang berbeda sesuai kesepakatan. Jadi, pilihlah ranjang yang kau suka."
Riin memutar bola matanya dengan ekspresi kesal, mencoba menutupi rasa malunya. "Wajahmu itu terlihat mesum, jadi wajar saja kalau aku berpikiran macam-macam," balasnya dengan nada yang terdengar seperti gerutuan.
Jae Hyun tertawa kecil, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Bahkan jika aku mesum sekalipun, aku tidak tertarik menyentuh tubuh anak kecil sepertimu," ejeknya dengan nada santai namun penuh provokasi.
"Berhenti menyebutku anak kecil!" omel Riin, suaranya meninggi sedikit, cukup untuk menarik perhatian beberapa pengunjung di sekitar mereka. Ia menunduk malu, lalu pura-pura sibuk memeriksa katalog ranjang untuk mengalihkan perhatian dari situasi yang memalukan itu.
Sebelum perdebatan mereka berlanjut lebih jauh, ponsel Riin tiba-tiba berdering. Ia mengangkatnya dengan cepat, nama "Ah Ri" muncul di layar. "Halo?" sapanya, mencoba terdengar ramah meskipun pikirannya masih terpecah oleh percakapan barusan.
"Riin~a, bisakah malam ini kau tidak pulang ke rumah?" suara Ah Ri terdengar antusias, bahkan sedikit memohon.
"Kenapa?" Riin mengernyit, merasa ada yang janggal dari permintaan itu.
"Kau ingat kan tentang pria yang sudah lama kusuka? Aku berhasil mendapatkan cintanya!" ucap Ah Ri dengan nada ceria yang hampir berteriak. "Malam ini dia ingin menginap di sini, jadi bisakah kau tinggal di hotel? Hanya malam ini saja, aku mohon."
Riin terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan yang tiba-tiba itu. Ia menghela napas berat, merasa kesal tetapi tak kuasa menolak. "Hei, kenapa bukan kalian saja yang pergi ke hotel?" tanyanya dengan nada tajam, meskipun ia sudah bisa menebak alasan di balik permintaan temannya.
"Aku khawatir nanti bertemu dengan rekan kerja kita di kantor. Aku tidak ingin menjadi bahan gosip. Ayolah, aku mohon..." suara Ah Ri terdengar memelas, membuat Riin semakin sulit untuk berkata tidak.
"Baiklah, tapi hanya malam ini saja," jawabnya akhirnya, meskipun suaranya penuh rasa terpaksa.
"Terima kasih! Kau benar-benar teman yang pengertian!" seru Ah Ri penuh semangat sebelum memutuskan sambungan telepon tanpa memberi Riin kesempatan untuk berbicara lebih lanjut.
Riin menatap layar ponselnya dengan kesal. "Ck, aku belum selesai bicara," gumamnya dengan nada frustrasi.
"Ada apa?" tanya Jae Hyun, yang sejak tadi memperhatikan percakapan itu dengan ekspresi datar namun penuh rasa ingin tahu.
"Ah Ri melarangku pulang karena kekasihnya akan menginap," jawab Riin sambil menghela napas berat. Ia lalu membuka aplikasi pemesanan hotel, tetapi wajahnya berubah masam ketika melihat harga-harga yang tertera di layar. "Hei, apa kau tahu hotel dengan tarif yang terjangkau?"
Jae Hyun menatapnya dengan alis terangkat, seperti menahan tawa. "Jika kau mau yang terjangkau, tak ada pilihan lain selain motel," jawabnya dengan nada serius namun sedikit bercanda.
Riin mendelik tajam ke arahnya. "Apa kau tidak bisa serius sedikit? Tinggal di motel itu terlalu menakutkan."
"Aku serius, Nona. Memangnya ada pilihan lain?" Jae Hyun mengangkat bahu dengan santai, menikmati ekspresi frustrasi gadis di hadapannya.
Riin menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Ck, motel terlalu berisiko, dan hotel terlalu mahal bagiku," keluhnya, suaranya terdengar hampir putus asa.
Jae Hyun memperhatikan Riin dengan tatapan yang sedikit melunak. Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya berkata dengan nada santai namun tulus, "Apa kau mau meminjam uangku untuk membayar hotel?"
Riin menatapnya dengan sorot mata tajam. "Tidak. Aku sudah memiliki banyak hutang padamu, bahkan aku harus menggadaikan kehidupan berhargaku untuk membayarnya. Aku tak ingin menambah hutang lebih banyak dan terjebak semakin lama bersamamu," ocehnya dengan suara frustasi.
Jae Hyun hanya tersenyum kecil, mengangkat bahu. "Aku hanya menawarkan solusi, tak perlu marah," ujarnya sambil berpikir lebih jauh. Meski ia sering menggoda Riin, ia tahu ini bukan situasi yang mudah baginya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas kecil dan berkata, "Kalau begitu, apa kau mau menginap di apartemenku?"
***