Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA SUDAH MENIKAH
Marsha menoleh pada Sarah dengan kaget, ia menunjukkan wajah 'Kok bisa ada Reno?' Kagetnya Marsha justru membuat Sarah juga kaget dan aneh, kenapa sahabatnya terlihat panik, biasanya ia juga akan melompat kegirangan hingga mengabaikan dirinya.
"Kenapa? Lo lagi berantem?"
Pertanyaan Sarah membuat Marsha tersadar, bahwa sahabatnya ini kan tidak tahu menahu soal pernikahannya. Haruskah sekarang ia dan Reno juga berpura-pura tidak ada apa-apa diantara mereka? Berpura-pura semua baik-baik saja? Marsha merasa masalahnya semakin rumit dan berat menghimpit dirinya.
Marsha menggeleng, "Kaget aja," lirihnya,
"Bi, minta tolong suruh langsung ke atas saja." seru Sarah semangat,
Tidak berantem kan jadi nggak ada masalah langsung membawanya ke kamar seperti biasanya kalau mereka bertiga sedang berkumpul atau kadang berempat dengan Maya.
Marsha hanya bisa pasrah, resiko menyembunyikan pernikahannya, resiko berahasia dari sahabatnya sendiri. Sekarang berpura-pura lah semua baik-baik saja.
"Baik Non," Dini-- ART senior dirumah Marsha yang tidak Dini lagi a.k.a sudah berusia lanjut mengangguk mengerti.
"Bi, kalau ada apa-apa yang perlu ke atas, Bibi minta tolong Neni aja, jangan Bibi." tegas Marsha,
Marsha tidak tega wanita yang sudah renta itu harus bolak balik, naik turun, padahal sudah di ingatkan Dini bertugas di bawah saja, yang lain yang di atas termasuk Neni yang disebutkan Marsha adalah ART yang paling muda usianya. Dini kembali mengangguk, ia pun menutup pintu kamar Marsha dengan sopan.
Marsha berjalan membuka pintu balkon, ternyata hari sudah gelap. Ia menghela napasnya berat, ah hampir saja dia mengabaikan pesan dari Alan. Ia pun membuka ponselnya yang sedari tadi selalu ia pegang setelah menerima telepon dari Alan. Marsha membuka room chat dari Alan.
Alan: [Kamu udah pulang?]
Alan: [Marsha, apa kamu sudah sampai dirumah Mama?]
Alan: [Bisa nggak jangan diabaikan!? Kalau kamu kenapa-kenapa saya juga yang repot, nggak buat orang repot bisa kan!?]
Marsha mendengkus membaca chat dari Alan, ada rasa bersalah telah mengabaikannya, ada rasa kesal dan marah mengingat fotonya bersama wanita yang menemuinya dua hari lalu.
Percaya? Marsha sebenarnya masih ragu jika ia tidak menanyakannya langsung, sakit hati tentu iya tapi dia juga bingung kenapa tidak benar-benar marah atau mengamuk seperti istri lainnya yang pernah dia lihat beritanya berseliweran di sosial media. Bukti yang dia lihat juga cukup jelas.
Marsha kembali menghela napas berat, ia melangkah dan duduk di balkon, pandangannya lurus ke depan, kosong.
Pernah dia mendengar jika pasangan berkhianat dan kamu tidak marah, berarti kamu tidak ada rasa, kamu tidak cinta. Ya iyalah dia kan memang tidak ada rasa, harusnya cuek aja nggak sih. Tapi ternyata dia sakit hati dan tidak terima, atau sakit hati hanya karena terbukti bahwa dia hanya sebagai alat untuk bisnis orangtuanya dan suaminya.
'Sebenarnya gue marah, sebenarnya gue sakit hati, kesal...' batinnya berbicara, ia pun kembali ragu.
'Tapi kenapa gue diam aja ya seolah-olah nggak ada apa-apa? Nggak juga sih, gue kepikiran, gue aja yang nggak mau ngomong.' Marsha terus bermonolog pada dirinya sendiri.
'Lo rindu dengan dia nggak sih Sha?' tanyanya pada diri sendiri, 'Iya, gue rindu ngomel-ngomel sama dia, gue rindu wanginya yang menguasai isi kamar, gue-- EH!?'
'Nggak! gue nggak rindu dia, dia brengsek Sha.'
Marsha mengusap wajahnya dengan kesal, "Ya Tuhan..." lirih frustrasi.
"Jangan melamun!" seru Sarah dari dalam kamar, Marsha hanya diam melirik Sarah yang beranjak dari atas kasur, dia tidak terlalu menghiraukan kemana Sarah beranjak.
Marsha mengurungkan niatnya membalas pesan dari Alan, perasaannya masih kacau, bahkan dia sendiri tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi keadaannya sekarang.
Ia kembali membuka halaman email-nya, Marsha belum membuka email dari seseorang yang ia curigai adalah wanita tempo hari yang menemuinya di mini market.
Dengan berat hati Marsha membuka email-nya, banyak file yang dia kirimkan, jantungnya berdebar ada rasa takut untuk membuka file itu. Marsha khawatir ia tidak siap, bagaimana kalau ternyata hatinya memang sakit. Ia harus meyakinkan perasaannya dengan melihat foto-foto itu kan, agar ia juga tahu jika ia bisa menetapkan hatinya agar jangan sampai terjerumus. Ia pun bisa mengambil keputusan untuk selanjutnya seperti apa.
Klik. Marsha membuka file itu, banyak foto mesra Alan dan wanita itu. Foto pertama yang Marsha lihat mungkin foto saat liburan, terlihat tangannya yang menggandeng mesra tangan Alan. Disana Alan dan wanita itu tampak tersenyum bahagia. Marsha kembali menggeser lagi, foto prewedding mereka dengan berbagai sudut background yang indah dan cantik, wajah bahagia tersirat jelas disana. Dada Marsha mulai terasa sesak, namun jarinya tetap menggeser ingin melihat yang lain.
Deg! Mata Marsha seketika berkaca melihat foto wanita itu mencium pipi Alan dengan sangat mesra, Alan tanpa kaget namun tidak menolak.
Ternyata sakit, ya hati Marsha sakit melihatnya. 'Kenapa sedih, itu kan masa lalu mereka,' batin Marsha menenangkan, ia kembali menggeser dan terlihat foto pernikahan Alan dan wanita itu. 'Bodoh! Lo bodoh Marsha itu bukan masa lalu mereka.' Marsha menggigit bibirnya kuat, dadanya naik turun terasa sesak.
"Lah sudah menikah?" suara Sarah dibelakang Marsha membuat ia mematung. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran Sarah yang sudah dibelakangnya. "Boleh lihat?"
Sarah meminta izin tapi tangannya lebih cepat mengambil ponsel Marsha tanpa menunggu jawaban dari pemilik ponsel. Ia melihat foto pernikahan Alan dengan seorang wanita, dengan gesit ia memperbesar gambar itu saking ingin tahunya.
Reno yang sudah dibelakang Sarah menunduk ikut melihat, matanya membulat tidak percaya dengan apa yang ia lihat, seketika ia mengalihkan pandangannya pada Marsha yang masih menunduk membelakanginya.
"Guru disekolah," ujar Sarah santai bermaksud memberi tahu Reno. "Wah banyak banget fotonya, dapat dari mana sih Sha? Info besar ni buat penggemar Pak Alan."
Sarah terus berkata tanpa beban, ia bahkan berjalan ke sudut balkon dan duduk untuk terus melihat dengan teliti dan memang ingin tahu juga.
"Gue lihat-lihat dulu ya," Izin Sarah sambil terkekeh. Ia merasa senang menjadi murid terupdate mengalahkan Tiwi. Ia berniat akan memamerkannya pada Tiwi besok.
"Oke," jawab Marsha dengan suara bergetar,
Marsha pun langsung berbalik hendak masuk ke kamar untuk menghapus air matanya agar Sarah tidak curiga, namun tanpa ia tahu Reno yang sudah berdiri dibelakangnya justru tidak sengaja ia tabrak. Marsha mendongak kaget, Reno dengan jelas melihat air mata dan raut sedih pada wajahnya.
Sarah melirik sekilas adegan itu, ia pun langsung membuang muka. 'Pacaran dimulai.' batinnya tertawa, ia pun kembali fokus melihat-lihat bahan ghibah untuk besok.
Marsha memilih berjalan masuk ke kamarnya, melewati Reno begitu saja.
"Sha," panggil Reno, ia menyusul Marsha yang sudah masuk. Dengan cepat ia memegang tangannya Marsha, menariknya dalam pelukannya.
Marsha terdiam, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan Reno hingga akhirnya ia pun menangis menumpahkan semua rasa sakit dan sedihnya dalam pelukan Reno.
Reno menghela napasnya berat, ia hanya diam sambil terus mengelus rambut Marsha lembut. Perasaannya juga sakit melihat wanita yang ia cintai menangis, jauh di lubuk hatinya ia menaruh dendam pada Alan. Ia berniat akan mendatangi dan memberi pelajaran pada pria itu. 'Dasar brengsek!' batinnya menahan emosi.
**