Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Ada Yang Bersimpati
Pagi sekali Pak Wahyu sudah siap di unit Vincent. Dia menyeduh kopi sembari menunggu bosnya bangun.
"Tumben pagi banget, Pak?" Vincent begitu mendengar pintunya terbuka segera keluar kamar.
"Brie bilang katanya mau cari kupu buat dibawa ke sekolah." Pak Wahyu menjawab Vincent, "sama ini, Mas."
Pak Wahyu menunjukkan ponsel ke depan Vincent. "Saya ingin telpon Mas Vincent semalam, tapi takut ganggu Mas Vincent."
Mata Vincent menelusuri waktu terkirimnya pesan tersebut.
"Saya benernya nggak khawatir Mas, karena ini yang kirim Bu Lana, tapi kemarin Arfa udah bebas jadi saya ragu sendiri." Pak Wahyu menjelaskan isi hatinya.
"Dan saya ingin blokir nomer Bu Lana, Mas! Saya risih di WA terus sama dia."
Vincent menyerahkan kembali ponsel ke tangan Wahyu. "Blokir aja, Pak! Kenapa juga harus disimpan, kan dia bukan siapa-siapa lagi bagi Bapak."
Wahyu mengangguk tanda mengerti. "Baik, Mas ... kalau udah dikasih izin sama Mas Vincent, saya nggak ragu lagi. Jujur saja, saya sungkan main blok meski bukan majikan saya lagi, Mas."
"Tapi beruntung juga Bapak belum ngeblok Lana, kita jadi tahu pergerakan di luar yang kita sangka sudah aman." Vincent meraih celemek dan mulai mengeluarkan bahan masakan dari kulkas.
Pak Wahyu berdiri, berniat ikut membantu pekerjaan Vincent. Semasa masih ada Oma, Vincent kerap masak bersama Oma. Ketika menikah pun, Vincent juga sering memasak untuk Lana dan Oma. Tetapi begitu Oma meninggal, Vincent meninggalkan dapur. Saat itu Lana yang mengatur dapur dan Vincent tidak pernah makan di rumah lagi.
Pak Wahyu bisa melihat bahwa Vincent disini demi orang yang dia cintai.
"Dia wa Pak Wahyu setiap hari ya?" Vincent ingin tahu.
"Iya, Mas. Saya nggak balas, sih ... nggak tau harus balas apa, Mas." Pak Wahyu sungkan menjawab. "Saya bantu siapkan, Mas."
Pak Wahyu memang sepengertian itu terhadap apapun yang Vincent kerjakan. Lagipula, ini sarapan simpel kesukaan Vincent. Vincent itu hanya tidak bisa berekspresi bebas, karena terlalu dikekang semasa muda. Wajahnya dingin, kata-katanya to the poin, tapi kalau udah terbiasa siapapun pasti bisa menilai Vincent itu pria super baik yang pernah ada.
"Dia tahu nomor baru Pak Wahyu dari siapa?" Vincent menyerahkan sosis dan beberapa telur ke Pak Wahyu.
"Kemarin kan Mas Vincent telpon Brie pake hape saya, bisa jadi dari sana, Mas." Pak Wahyu menduga seperti itu sebab sore ia menelpon, malamnya WA itu datang. "Tapi Mas, Bu Lana kok masih punya muka sama Mas Vincent setelah semuanya?"
"Saya nggak tau, Pak! Saya nggak punya gen kaya gitu." Vincent tertawa ringan, disambut Pak Wahyu yang juga tertawa.
Jangankan Pak Wahyu, Vincent sendiri heran, kok. Vincent sebenarnya orang yang minder ketika sudah ditolak, pasti dia akan mundur. Seperti saat tahu kalau Lana selingkuh, meski dia cinta pada Lana, tetap saja dia memilih melepas Lana. Kemudian dia bersikap superior agar tidak ada lagi wanita yang mendekatinya tanpa kualifikasi.
Namun, Egi datang saat Vincent justru merasa sangat bersalah. Dia memiliki aneka perasaan dan kesan pada anak itu, jadi Vincent memilih jalan pintas dengan menikahinya. Selain untuk dimanfaatkan, Egi juga harus dibentuk hidupnya.
Asal jangan sampai Egi punya uang sendiri setelah pintar. Semalam adalah perlawanan nyata anak itu. Belum lagi bagaimana dia meremukkan tulang Lana kemarin. Vincent sepertinya harus lebih waspada dan mempertahankan sikap superiornya.
...
"Bosan banget sih, seharian di disini." Egi meluruskan punggung. Ia sudah diperingati oleh Vincent maupun perawat. Sampai El benar-benar baik, seluruh aturan ketat masih akan berlaku bahkan untuk Egi.
Hari ini, El akan didampingi psikolog di rumah sakit. Dia sudah boleh duduk, perlahan dia mulai bisa mengetikkan kata sederhana di tab yang khusus dibelikan oleh Vincent. Secara umum atas fasilitas mewah dari Vincent, El mendapatkan prioritas.
Egi bersyukur akan hal itu. Di rumah, bahkan Egi mendapatkan laporan yang detail dan jelas dari Vincent, sehingga apapun yang Egi ragukan bisa mendapatkan jawaban.
El hari ini begitu tenang dan tidak terlalu membutuhkan Egi, jadi itu sebabnya Egi bosan.
"Virginia?!"
Egi sontak menghentikan gerakan merenggangkan badannya, lalu menatap pria yang berdiri di depannya.
"Siapa, ya?!" Egi tidak mengenali pria itu.
Dari atas ke bawah pria itu mengawasi. "Kamu yang adiknya kecelakaan dan viral itu, kan?"
"Yang viral berita kecelakaannya aja, adik saya tidak saya ekspose." Egi hati-hati dalam menjawab. "Anda tahu dari mana nama saya?"
Pria itu mengusap tengkuknya, terlihat bingung dan canggung. "Nggak nyangka aja ketemu disini! Nama kamu terpampang jelas di berita saat melaporkan kasus itu."
"Saya nggak pernah minta dipublis nama saya!" Kecurigaan Egi semakin dalam.
Pria itu gugup, "Serius saya nggak berniat jahat, soalnya di komentar berita itu ada yang ngaku dia keluarga korban, namanya Virginia, lalu dia menyertakan nomer rekening, banyak yang kasih donasi!"
Egi terkejut. "Saya nggak melakukan itu meski saya kekurangan. Saya nggak terlalu paham bermain sosmed juga!"
Pria itu merasa Egi ini tidak seperti orang yang kekurangan dan ponsel di bangku menunjukkan bahwa Egi tidak mungkin tidak bisa bersosial media. Sejenak ia menyimpulkan, bahwa Egi berbohong.
"Hei?!"
Pria itu kaget, tetapi segera menormalkan ekspresinya.
"Saya tidak suka cara anda memandang saya!" Egi merasa risih dipandangi sebegitunya. "Tolong segera pergi jika urusan anda sudah selesai!"
Pria itu mundur dan berlalu begitu saja usai diusir oleh Egi.
"Ada-ada saja!" Egi menggelengkan kepala lalu duduk kembali. "Padahal aku udah hapus postingan dan hapus akun biar nggak ada pihak yang dirugikan ataupun ada pihak yang memanfaatkan keadaan, tapi kenapa orang-orang mudah percaya ya?"
Egi membuka ponsel dan melihat sosmed yang sudah lama ia tinggalkan. Ia mencari berita yang isinya kecelakaan El. Berharap dia menemukan akun tersebut dan menegurnya.
Namun belum sempat mencari lebih jauh, seseorang datang lagi padanya.
"Hai!"
Egi mendongak, matanya menyipit melihat siapa yang datang. Ia berdiri dengan tergesa-gesa sampai semua barang di pangkuannya jatuh, termasuk ponsel.
"Ma-mau apa kamu kesini?!" Egi mundur.
Arfa tersenyum ringan, seraya menunjukkan buket bunga dan sekeranjang buah. "Ini nggak akan bisa gantiin apapun yang hilang dari adik kamu, tapi aku sungguh-sungguh ingin minta maaf, Virginia."
Arfa meletakkan buket bunga dari Daisy Florist yang terkenal itu dan buah-buahan sekeranjang itu ke bangku yang sama dengan yang diduduki Egi. Lantas ia berlutut dan menundukkan kepalanya.
"Virgi, aku izinkan adikmu ambil apa saja dari badanku untuk gantiin bagian tubuh adik kamu yang rusak. Aku sungguh tidak sengaja hari itu. Seseorang hampir membunuhku dan aku mencoba mempertahankan hidupku sampai lupa aku sedang mengemudi."
Egi tidak bereaksi berlebihan, juga tidak berniat membuat Arfa bangun. "Tapi tidak ada bukti kalau kamu di mobil sama seseorang hari itu."
Arfa menengadah menatap Egi yang bersedekap di depannya. "Virgi, jarak kecelakaan dengan waktu kamu lapor cukup jauh. Mobil itu bahkan sudah diperbaiki, pasti video itu dimusnahkan lebih dulu!"
"Tapi kamu juga kabur!" Egi sinis menyudut Arfa.
"Virgi, aku sudah bilang ke Ayahku kalau aku hari itu menabrak orang, tapi kata ayah lebih baik aku kabur! Aku saat itu mengalami gegar otak ringan akibat benturan. Jadi aku dibawa kabur saat aku masih diinfus dan belum sepenuhnya sehat. Aku jujur saja merasa bersalah, Virgi!"
Arfa melangkah dengan lututnya lebih dekat ke Egi yang secara spontan menjauh. Ia mendongak, sebelum bersujud di kaki Egi.
"Kamu bahkan boleh bunuh aku, Virgi! Aku bahkan tidak ingin kamu mencabut laporan itu agar aku bisa menebus kesalahanku pada adikmu! Tapi ayahku—"
"Berhenti bicara omong kosong!" Ucapan Arfa terpotong oleh bentakan Vincent.
Arfa tetap di posisinya, tanpa bergerak sedikitpun.
Vincent dengan cepat menarik Egi ke belakangnya. "Tidak usah kesini kalau hanya mau setor muka doang! Nggak ada yang simpati sama kamu, Arfa!"
Ga mungkin di buat cuma selembar
Di kira Vincent ga punya power .
Emosi ga terpancing, jawabnya tepat
ada uang ga bener mungkin yang di makan keluarga sehingga anak JD berkelakuan ga bener.
Ayo lah tegas. kasih pelajaran biar kali ini benar benar belajar dengan benar.