Riska tak pernah menyangka hidupnya yang sederhana akan terbalik begitu saja setelah pertemuannya dengan Aldo Pratama, CEO muda yang tampan dan penuh ambisi. Sebuah malam yang tak terduga mengubah takdirnya—ia hamil di luar nikah dari pria yang hampir tak dikenalnya. Dalam sekejap, Riska terjebak dalam lingkaran kehidupan Aldo yang penuh kemewahan, ketenaran, dan rahasia gelap.
Namun, Aldo bukanlah pria biasa. Di balik pesonanya, ada dendam yang membara terhadap keluarga dan masa lalu yang membuat hatinya dingin. Baginya, Riska adalah bagian dari rencana besar untuk membalas luka lama. Ia menawarkan pernikahan, tetapi bukan untuk cinta—melainkan untuk balas dendam. Riska terpaksa menerima, demi masa depan anaknya.
Dalam perjalanan mereka, Riska mulai menyadari bahwa hidup bersama Aldo adalah perang tanpa akhir antara cinta dan kebencian. Ia harus menghadapi manipulasi, kesalahpahaman, dan keputusan-keputusan sulit yang menguji kekuatannya sebagai seorang ibu dan wanita. Namun, di bal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Titik Balik yang Mematikan
Kamar rumah sakit yang sunyi itu terasa lebih mencekam bagi Adrian. Suasana di sekitarnya semakin menekan, seakan udara menjadi lebih berat setiap detik yang berlalu. Detak jam yang terus berdetak seperti sebuah pengingat bahwa waktu tidak pernah berhenti, bahkan saat semuanya terhenti.
Riska masih dalam kondisi kritis. Setiap kali Adrian mendekat ke ruang perawatan, ia merasa sesuatu yang tak beres menghangatkan kulitnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar ancaman Andre—sesuatu yang mengarah pada kehancuran yang lebih dalam.
Ia menatap tangan kosongnya, merasakan sebuah kekosongan yang lebih dalam. Sebelumnya, ia merasa bahwa balas dendam adalah satu-satunya tujuan hidupnya, namun seiring waktu berjalan, ia mulai meragukan apakah itu benar-benar yang ia inginkan.
Namun, satu hal pasti: Andre harus membayar.
---
Tiba-tiba ponselnya berdering, memecah keheningan yang mencekam. Adrian menatap layar dengan cepat, membaca nama yang tertera. Clara.
Dengan cepat, ia mengangkatnya. "Ada apa?" suaranya terdengar tenang, meskipun dalam hati, amarah sudah mulai berkobar.
"Dengar, Adrian," suara Clara terdengar tegang. "Ada hal yang perlu kamu ketahui, dan aku rasa kamu harus berhati-hati."
Adrian mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Clara menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Andre... dia tidak hanya ingin menghancurkanmu. Dia punya rencana yang lebih besar—terkait dengan perusahaanmu. Aku hanya ingin kamu tahu, sebelum terlambat."
"Berarti ada sesuatu yang kau sembunyikan selama ini?" Tanya Adrian, nada suaranya mengandung rasa kecewa dan curiga.
"Tidak!" jawab Clara cepat, hampir terbata. "Aku hanya tidak ingin terlibat lebih dalam. Tapi ini sudah di luar kendali. Dia mengincar lebih dari sekadar balas dendam."
"Dan apa yang harus aku lakukan?"
"Stop dia sebelum dia berhenti. Segera!" suara Clara terdengar putus asa, sebelum akhirnya telepon itu mati.
---
Adrian menggigit bibirnya, menatap layar ponselnya yang kini kosong. Kata-kata Clara berputar-putar dalam benaknya. Andre... rencananya jauh lebih licik dari yang ia bayangkan. Ternyata balas dendam bukan hanya soal menghancurkan Adrian secara pribadi, tetapi ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi—sesuatu yang bisa membuat Adrian kehilangan lebih dari sekadar dirinya.
Ia tahu, waktu semakin sempit. Andre pasti sudah memiliki langkah selanjutnya.
---
Aldo muncul dari balik pintu rumah sakit, wajahnya lelah dan penuh luka. Ia menyapa Adrian yang masih terdiam di ruang tunggu.
“Kau baik-baik saja?” tanya Aldo, meskipun ia tahu jawabannya. Adrian tampak jauh lebih hancur daripada sebelumnya.
“Aku tidak tahu, Aldo,” jawab Adrian pelan. “Semakin aku mencoba memahami rencananya, semakin aku merasa semakin jauh dari tujuan. Aku tidak tahu harus mulai dari mana lagi.”
“Dengar, kita akan melewati ini bersama. Tapi kita harus cepat bertindak. Jangan biarkan dia memegang kendali lebih lama.”
Adrian menatap Aldo dengan mata tajam. “Apa yang kau usulkan?”
“Lupakan tentang balas dendam sesaat. Kita harus menghentikan Andre dari dalam. Aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu dengan perusahaanmu—satu langkah besar yang bisa menghancurkan segala yang sudah kau bangun.”
Adrian merasakan ketegangan merayapi tubuhnya. "Lalu bagaimana kita bisa menghentikannya?"
---
Bersama Aldo, Adrian segera menuju kantor pusat perusahaan, dengan satu tujuan di kepala mereka: mencari tahu langkah Andre berikutnya dan menggagalkannya. Adrian tidak bisa lagi hanya duduk dan menunggu, membiarkan musuhnya bekerja di balik layar. Ia harus bertindak lebih cepat, lebih cerdas.
Namun, saat mereka memasuki gedung perusahaan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pintu utama terbuka dengan suara berderit, dan mereka langsung disambut oleh suara keras mesin pencetak dokumen. Semua komputer di ruang administrasi terlihat aktif, tetapi satu hal yang mengganjal: komputer itu mengakses sistem yang sangat dilindungi—keuangan perusahaan.
---
“Aldo, ini tidak beres,” ujar Adrian dengan suara serak. “Ini... ini harusnya hanya diakses oleh aku dan beberapa orang terdekat.”
Aldo langsung memeriksa layar komputer. “Ini bukan kebetulan, Adrian. Andre sudah mengakses data ini. Kita harus segera menutup sistemnya, atau seluruh aset perusahaanmu akan terancam.”
“Tidak bisa,” jawab Adrian, mendekat ke layar komputer yang sedang menampilkan transaksi besar-besaran. “Dia sudah mempersiapkan semuanya. Ini adalah langkah terakhirnya. Dia ingin menghancurkan semua yang aku miliki dengan cara yang lebih sistematis.”
“Apa yang bisa kita lakukan sekarang?” Aldo bertanya, wajahnya semakin cemas.
Adrian menatap layar dengan cemas, seakan mencoba menemukan cara untuk membalikkan keadaan. "Kita harus memutuskan akses ini. Tapi itu akan memakan waktu."
---
Mereka berdua bekerja dengan cepat, memutuskan akses dari sistem yang sudah dibobol. Namun, tak lama kemudian, layar komputer tiba-tiba berubah menjadi hitam. Sebuah pesan muncul: “Anda terlambat.”
Darah Adrian seperti membeku. "Dia sudah tahu kita akan datang."
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Adrian memeriksa layar, dan tubuhnya seketika terasa kaku. Pesan singkat yang tertera di ponselnya datang dari Andre: “Terlalu mudah untuk menghancurkanmu. Tapi kita akan lihat siapa yang lebih sabar.”
---
Sebelum Adrian bisa merespon, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu. Adrian dan Aldo berbalik, hanya untuk melihat sosok yang sudah mereka duga.
Andre berdiri di ambang pintu, senyum sinis menghiasi wajahnya. “Kalian benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah, ya?” katanya dengan nada yang penuh kemenangan.
“Jangan pikir kau menang,” kata Adrian, berusaha menunjukkan ketenangan meski di dalam hatinya ia merasakan amarah yang tak terbendung.
Andre melangkah maju, menatap Adrian dengan penuh tantangan. “Aku tidak hanya menang, Adrian. Aku sudah mengendalikan permainan ini dari awal. Dan sekarang, giliranmu yang akan jatuh.”
Adrian merasakan perasaan yang luar biasa berat di dadanya, namun dalam hatinya, ia tahu satu hal yang tak bisa Andre duga: Ia tidak akan pernah menyerah begitu saja.