Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Cahaya yang Tak Terduga
Hening melingkupi apartemen setelah makhluk itu menghilang. Ayla berdiri di tempatnya, masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Kael menurunkan pedangnya perlahan, sementara Arlen menyimpan busurnya sambil tetap waspada. Meski bayangan itu lenyap, perasaan tidak nyaman terus menghantui mereka.
“Kita tidak bisa terus seperti ini,” ucap Arlen akhirnya, memecah keheningan. “Makhluk itu tahu keberadaan kita, dan ini hanya soal waktu sampai ia kembali—atau membawa sesuatu yang lebih berbahaya.”
Ayla menatap Arlen dengan ekspresi serius. “Kau tahu apa itu?” tanyanya.
Arlen menggeleng. “Aku tidak yakin. Tapi itu bukan makhluk dari duniamu, Ayla. Entah bagaimana, ia bisa menyeberang ke sini.”
Kael mendengus, menyandarkan pedangnya ke dinding. “Dan aku yakin ini bukan kebetulan. Mungkin Noir belum selesai dengan kita. Mungkin ada celah di antara dunia kita yang dia manfaatkan.”
Ayla menggigit bibirnya. Ia mencoba memahami semua ini, tetapi rasanya semakin sulit untuk memisahkan dunia lamanya dari dunia yang kini ia tinggali. Ia mendekati jendela, memandangi kota yang seolah tidak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “kita harus mencari tahu mengapa aku bisa mengusirnya.”
Kael menatapnya dengan alis terangkat. “Kau bahkan tidak tahu apa yang kau lakukan tadi, kan?”
Ayla menggeleng. “Tidak. Aku hanya merasa... aku harus menghentikannya. Dan lalu, cahaya itu muncul begitu saja.”
“Cahaya itu...” Arlen memicingkan matanya, seolah mencoba mengingat sesuatu. “Itu bukan sihir biasa. Terasa berbeda—mungkin ada hubungannya denganmu tinggal di dunia ini terlalu lama.”
“Apa maksudmu?” Ayla bertanya.
Arlen berjalan ke arahnya, berdiri di samping jendela. “Dunia ini mungkin bukan tempat asalmu, tapi tubuhmu sudah beradaptasi. Kau tinggal di sini, makan makanannya, menghirup udaranya. Dunia ini memengaruhi energimu—dan bisa jadi itu menciptakan kekuatan yang tidak pernah ada sebelumnya.”
Kael tertawa kecil. “Jadi kau bilang Ayla sekarang memiliki ‘sihir dunia modern’? Kedengarannya gila.”
“Tapi itu masuk akal,” balas Arlen dengan nada tegas. “Kita sudah kehilangan sebagian besar kekuatan kita di sini. Namun, Ayla... dia justru memperoleh sesuatu.”
Ayla mendengarkan penjelasan itu dengan hati yang campur aduk. Bagian dari dirinya ingin menyangkal, tetapi ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
“Kalau memang begitu,” katanya perlahan, “bagaimana aku bisa mengendalikan kekuatan ini?”
Arlen terdiam sejenak, lalu menjawab, “Kita harus mencari jawabannya. Tapi pertama-tama, kita harus memastikan tempat ini aman. Kita tidak bisa bertahan di apartemen kecil ini selamanya.”
Kael mengangguk, meskipun ekspresinya menunjukkan kekhawatiran. “Jadi, ke mana kita akan pergi? Dunia ini tidak memiliki hutan untuk bersembunyi atau kastil yang bisa kita serang. Kita tidak punya sekutu.”
Ayla menghela napas panjang, memikirkan jawaban yang mungkin. “Ada seseorang yang bisa membantu kita,” katanya akhirnya.
Arlen dan Kael memandangnya penuh harap.
“Profesor Erlangga,” lanjut Ayla. “Dia adalah mentor dari universitas tempatku dulu kuliah. Dia ahli dalam segala hal tentang fenomena aneh dan sejarah kuno. Jika ada yang tahu sesuatu tentang kekuatan atau makhluk ini, dia orangnya.”
Kael tampak skeptis. “Apa dia bisa dipercaya?”
“Ya,” jawab Ayla dengan tegas. “Dia adalah salah satu orang paling jujur yang pernah aku kenal. Tapi...”
“Tapi apa?” tanya Arlen.
Ayla menghela napas lagi. “Dia tidak akan mudah diyakinkan. Dan kita harus berhati-hati. Jika dia terlalu banyak tahu tentang kalian berdua atau makhluk tadi, itu bisa menimbulkan masalah lain.”
“Masalah seperti apa?” Kael menyipitkan matanya.
“Pemerintah,” jawab Ayla singkat. “Jika mereka tahu tentang kalian atau makhluk itu, mereka pasti akan bertindak—dan aku tidak yakin itu untuk kebaikan kita.”
Arlen dan Kael saling pandang. Akhirnya, Arlen berbicara, “Kalau begitu, kita harus mendekati Profesor ini dengan hati-hati. Tapi jika dia bisa memberi kita jawaban, itu risiko yang harus kita ambil.”
Ayla mengangguk. Ia tahu langkah berikutnya tidak akan mudah, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Dunia mereka semakin terhubung, dan jika ia tidak bertindak sekarang, mungkin semua yang ia kenal akan terancam.
“Baik,” katanya dengan tekad yang bulat. “Kita akan pergi menemuinya besok.”
Kael tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Akhirnya, sedikit petualangan di dunia ini. Aku hampir bosan menonton acara TV dan membaca buku anehmu.”
Ayla tertawa kecil, meski ketegangan masih menggantung di udara. Ia tahu bahwa perjalanan ini hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang bisa mengubah hidup mereka selamanya.
Malam itu, Ayla duduk di meja kecil di dapur, menatap peta digital di tablet miliknya. Tangannya menggambar rute menuju universitas tempat Profesor Erlangga bekerja, sementara pikirannya melayang jauh ke berbagai kemungkinan. Apakah profesor itu masih mengingatnya? Apakah dia akan mempercayai ceritanya yang tampak seperti dongeng?
Arlen berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dengan penuh perhatian. “Kau terlihat tegang,” katanya akhirnya.
Ayla mengangkat bahunya tanpa menoleh. “Bagaimana aku tidak tegang? Aku membawa kalian ke dunia ini, dan aku tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Sekarang, aku hanya berharap seseorang yang aku kenal bisa membantu.”
Arlen berjalan mendekat, duduk di kursi di seberangnya. “Bukan salahmu, Ayla. Apa yang terjadi jauh melampaui kendali kita semua. Tapi satu hal yang aku pelajari di dunia kami—kadang-kadang, jawaban hanya datang saat kita bergerak maju.”
Ayla mendesah, lalu tersenyum kecil. “Kau terdengar seperti ayahku.”
“Apakah itu buruk?” tanya Arlen dengan alis terangkat.
“Tidak,” jawab Ayla dengan tawa pelan. “Hanya... mengingatkan.”
Kael, yang sejak tadi berbaring di sofa dengan ekspresi bosan, akhirnya ikut bergabung ke dapur. “Baiklah,” katanya, menjatuhkan diri di kursi lain. “Kalau kita akan bertemu orang penting ini, kita perlu rencana. Aku bukan ahli dalam menghadapi manusia di duniamu, tapi aku tahu satu hal: kita tidak boleh menunjukkan bahwa kita lemah.”
Ayla menatapnya skeptis. “Profesor Erlangga bukan ancaman, Kael. Dia seorang akademisi, bukan pejuang.”
“Tidak semua ancaman datang dalam bentuk senjata,” balas Kael tajam. “Kata-kata bisa lebih berbahaya daripada pedang. Jika dia mengkhianati kita, informasi tentang kita bisa menyebar lebih cepat daripada yang bisa kita hentikan.”
Arlen mengangguk pelan. “Kael benar. Kita harus berhati-hati, meskipun kau mempercayainya. Setidaknya, sampai kita tahu apa yang dia tahu.”
Ayla memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Ia tahu mereka berdua hanya mencoba melindunginya, tetapi beban tanggung jawab ini terasa semakin berat. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan berbicara dengannya dulu. Kalian tetap berada di dekatku, tapi biarkan aku yang memimpin pembicaraan.”
Kael mengangkat bahu. “Selama aku bisa melindungimu jika sesuatu terjadi, aku tidak keberatan.”
Arlen memandangnya dengan mata lembut, lalu berkata, “Kita akan bersamamu, Ayla. Apapun yang terjadi.”
Malam itu, mereka tidur dengan perasaan yang bercampur aduk. Ayla memandangi langit-langit apartemennya sambil merenungkan perjalanan yang akan datang. Ia tahu bahwa langkah ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Entah mereka akan menemukan jawaban, atau mereka akan membuka pintu menuju bahaya yang lebih besar dari sebelumnya.
Namun, satu hal yang ia yakini—ia tidak lagi berjalan sendirian.