Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Noir Dikalahkan
Langkah mereka bergema di koridor gelap yang seakan tak berujung. Dinding-dinding di sekeliling berkilau samar dengan semburat hijau yang menyala sesekali, seperti jejak kristal dari ruangan sebelumnya. Ayla memimpin di depan, diikuti Kael dan Arlen yang terus berjaga-jaga, seolah setiap sudut dapat menyembunyikan jebakan lain dari Noir.
“Ke mana sebenarnya koridor ini menuju?” tanya Kael, suaranya rendah namun penuh kewaspadaan.
“Jika aku harus menebak,” jawab Arlen, “ini hanya permainan Noir lainnya. Dia tidak akan membiarkan kita berjalan begitu saja tanpa alasan.”
Ayla menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuat kedua pria itu hampir menabraknya. “Kalian dengar itu?”
Hening.
Kemudian, terdengar bisikan samar, hampir seperti nyanyian. Suaranya merayap di udara, menggetarkan bulu kuduk mereka. Ayla meraih kristal hijaunya, mencoba merasakan sesuatu dari energi yang terpancar.
“Ini semacam mantra,” katanya pelan. “Aku tidak tahu apa tujuannya, tapi rasanya—”
Tiba-tiba, lantai di bawah mereka bergetar, dan nyanyian berubah menjadi jeritan melengking. Cahaya hijau menyembur dari dinding, membentuk siluet-siluet yang bergerak seperti bayangan hidup. Sosok-sosok itu mengelilingi mereka, melayang dengan gerakan yang meliuk-liuk, mata mereka bersinar seperti bara api.
Kael menghunus pedangnya. “Apa lagi ini?”
“Bayangan jiwa,” jawab Arlen sambil menarik busur peraknya. “Mereka adalah pecahan ingatan dari yang pernah terperangkap di sini. Tapi Noir mengendalikan mereka.”
Salah satu bayangan melompat ke arah Ayla, namun kristalnya bersinar lebih terang, memancarkan cahaya yang memaksa bayangan itu mundur dengan jeritan. Ayla menggenggam kristalnya erat, matanya menatap sosok-sosok itu dengan campuran ketakutan dan keberanian.
“Kita harus keluar dari sini sebelum mereka menjadi lebih kuat,” kata Arlen.
Kael mengangguk. “Ayla, kristalmu bisa melindungi kita. Gunakan itu.”
Ayla memusatkan pikirannya, membiarkan cahaya dari kristal menyelimuti mereka. Bayangan-bayangan itu semakin gelisah, bergerak mundur dengan enggan. Namun, nyanyian yang tadinya menghilang kini kembali terdengar, lebih kuat dan lebih memekakkan telinga.
“Aku rasa... ini bukan hanya mantra biasa,” gumam Ayla. “Ini semacam pemanggilan.”
Arlen mengangkat busurnya, matanya menyipit ke kegelapan di ujung koridor. “Kalau begitu, kita harus bergerak. Cepat!”
Dengan Ayla di tengah, mereka bertiga berlari menyusuri koridor. Bayangan-bayangan itu terus mengejar, meskipun perlahan melemah karena sinar dari kristal Ayla. Namun, semakin jauh mereka melangkah, suara nyanyian berubah menjadi tawa.
Tawa Noir.
Dan sebelum mereka sempat memahami apa yang terjadi, koridor itu terbuka ke sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan patung-patung raksasa berbentuk naga. Di tengah ruangan, sebuah altar berdiri, dikelilingi oleh cahaya hijau yang berputar seperti pusaran angin.
“Noir tahu kita akan sampai di sini,” kata Kael, suaranya penuh kemarahan.
Ayla melangkah maju, matanya menatap altar itu dengan intens. “Ini jebakan,” katanya pelan, “tapi ini juga sebuah kesempatan. Noir ingin kita membuat pilihan lain, dan kali ini aku tidak akan bermain sesuai aturannya.”
Arlen mendekatinya, merendahkan suaranya. “Hati-hati, Ayla. Tempat ini penuh dengan sihir yang tidak kita pahami.”
Namun sebelum Ayla bisa menjawab, bayangan-bayangan tadi menyatu di belakang mereka, membentuk sosok besar dengan mata bersinar merah. Suaranya menggelegar, penuh kebencian.
“Kalian telah melangkah terlalu jauh.”
Kael mengangkat pedangnya, Arlen menarik busurnya, dan Ayla menggenggam kristalnya lebih erat.
“Kalau begitu,” kata Ayla dengan suara yang tenang namun tegas, “kita akan melangkah lebih jauh lagi.”
Sosok bayangan besar itu melangkah maju, setiap gerakannya mengguncang lantai dan membuat udara terasa berat. Mata merahnya menatap tajam ke arah Ayla, seolah menantangnya untuk bergerak.
“Ayla, apa yang kau rencanakan?” tanya Kael, posisinya sudah siap menyerang kapan saja.
“Percayalah padaku,” jawab Ayla tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok itu. “Aku butuh waktu. Lindungi aku.”
Kael dan Arlen saling berpandangan, dan meskipun tanpa kata-kata, mereka sepakat. Kael maju terlebih dahulu, pedangnya bersinar biru saat ia menyerang bayangan itu. Arlen berdiri lebih ke belakang, menembakkan anak panah peraknya yang berpendar seperti kilat.
Namun, serangan mereka hanya memecah tubuh bayangan itu sejenak sebelum kembali menyatu. Tawa Noir terdengar lagi, memenuhi ruangan.
“Kael, Arlen!” Ayla berseru. “Hentikan! Itu hanya umpan.”
Bayangan itu bergerak lebih cepat, tangannya yang besar menghantam lantai, menciptakan gelombang energi yang melemparkan Kael dan Arlen ke belakang. Ayla berdiri di tengah, kedua tangannya memegang kristal erat-erat. Cahaya hijau dari kristal mulai berubah, perlahan menjadi putih cemerlang.
“Aku tahu kau mengawasi, Noir!” Ayla berteriak, suaranya menggema. “Ini permainanmu, tapi aku tidak akan tunduk padamu!”
Ruangan tiba-tiba menjadi lebih dingin, dan suara Noir terdengar lebih dekat. “Beraninya kau menantangku, Ayla. Kau hanya bidak dalam permainan ini.”
Ayla menutup matanya, memusatkan energinya ke dalam kristal. Cahaya putih yang dipancarkan semakin terang, menembus bayangan besar itu. Sosok itu melolong, menggeliat dalam kesakitan, dan perlahan mulai memudar.
Kael dan Arlen bangkit, menatap dengan takjub saat Ayla tetap berdiri di tengah, bersinar seperti mercusuar di kegelapan.
“Noir,” Ayla berkata dengan suara tegas, “kau tidak bisa memenjarakan kami di sini. Kami akan keluar, dan aku akan menghancurkan semua yang kau rencanakan.”
Tawa Noir berhenti. Untuk pertama kalinya, ada keheningan yang mengerikan, seperti angin yang tertahan.
“Beraninya kau berpikir kau bisa melawanku?” Noir menjawab, suaranya lebih dalam dan penuh amarah. “Jika kau tidak tunduk, maka aku akan menghancurkan segalanya yang kau cintai.”
Ayla membuka matanya, cahaya dari kristal mulai merambat ke sekeliling ruangan, membuat patung-patung naga tampak hidup. Salah satu patung bergerak, mata batu zamrudnya menyala. Naga itu mendekat, kepalanya menunduk rendah ke arah Ayla.
“Ini kekuatanmu, bukan miliknya,” bisik naga itu, suaranya dalam dan menggelegar. “Gunakan aku untuk melawan kehendaknya.”
Kael dan Arlen mendekat, masih siaga meskipun terlihat kebingungan. “Apa yang sedang terjadi, Ayla?” tanya Kael.
“Ini adalah pilihan lain,” jawab Ayla sambil menatap naga itu. “Bukan jebakan, tapi sebuah peluang.”
Naga zamrud mengangkat tubuhnya, sayap batu yang besar terbuka, memancarkan angin yang kuat ke seluruh ruangan. Bayangan Noir mulai melemah, seperti kabut yang diterpa cahaya matahari.
“Keputusan ada di tanganmu, Ayla,” suara naga itu menggema lagi. “Apakah kau akan menerimaku sebagai sekutumu atau terus mencoba melawan sendiri?”
Ayla menatap naga itu, lalu melirik Kael dan Arlen. Ada keraguan di matanya, tapi juga keteguhan. Dengan langkah mantap, ia mendekati naga itu dan meletakkan kristalnya di depan kepala naga.
“Aku menerima tawaranmu,” katanya tegas.
Saat itu, kristal dan naga bersatu, menyebarkan kilauan zamrud ke seluruh ruangan. Kael dan Arlen menutup mata karena cahaya yang begitu menyilaukan. Ketika mereka membuka mata lagi, ruangan itu telah berubah. Tidak ada lagi bayangan, tidak ada altar, hanya padang luas yang terbentang di depan mereka.
“Di mana kita?” tanya Arlen, suaranya dipenuhi rasa heran.
Ayla berdiri di tengah mereka, kristalnya kini menyatu dengan tanda berbentuk naga kecil di tangannya. Ia tersenyum tipis. “Aku tidak tahu,” katanya, “tapi ini bukan permainan Noir lagi. Ini adalah langkah pertama menuju kebebasan.”
Namun, di kejauhan, tawa Noir masih terdengar, samar, seperti janji akan lebih banyak bahaya yang menanti.
Cahaya menyilaukan yang muncul dari kristal di jantung ruang bawah tanah Noir perlahan meredup. Ayla membuka matanya, napasnya tersengal-sengal, seolah seluruh energinya terkuras dalam pertempuran yang baru saja usai.
Di hadapannya, bayangan Noir yang selama ini tampak tak terkalahkan mulai memudar menjadi butiran cahaya, beterbangan ke udara seperti debu yang diterpa angin. Tapi bahkan saat sosoknya menghilang, tawa Noir yang dingin masih terngiang di telinga mereka, meninggalkan ancaman samar yang sulit diabaikan.
“Aku mungkin sudah jatuh…” suara Noir terdengar jauh, hampir seperti bisikan. “Tapi setiap kemenangan membawa harga, Ayla. Apa kau siap membayarnya?”
Lalu segalanya sunyi. Hanya desau angin yang berhembus lembut, membawa aroma kristal yang hangus.
Ayla jatuh berlutut. “Sudah berakhir… benar-benar sudah berakhir?” gumamnya, tapi ia merasa tidak ada rasa lega yang biasanya mengikuti kemenangan.
Kael berjalan mendekat, tubuhnya berlumuran luka namun tetap tegap. Dia memegang bahu Ayla dengan lembut. “Dia kalah, Ayla. Itu yang penting sekarang.”
Namun di belakangnya, Arlen bersandar pada dinding, mengatur napas. Matanya yang perak menatap Ayla dengan tajam, seolah mencari sesuatu dalam ekspresinya. “Kau mendengarnya, bukan? Apa yang dia maksud dengan ‘harga’ itu?”
Ayla menggeleng. Pertanyaan itu membingungkan dirinya juga, tapi ia tak punya jawaban. Yang ia tahu, Noir telah menghilang, dan dunia mereka bebas dari ancaman. Namun, ada sesuatu yang tidak terasa benar—seolah kemenangan mereka hanyalah awal dari masalah baru.
Beberapa saat kemudian, sebuah gemuruh lembut terdengar. Kristal-kristal di sekitar mereka mulai retak, dan dinding ruang bawah tanah itu perlahan runtuh.
“Kita harus keluar dari sini!” seru Kael.
Dengan sisa tenaga mereka, ketiganya berlari keluar dari reruntuhan, menuju langit malam yang dipenuhi bintang. Namun, begitu mereka tiba di permukaan, Ayla merasa ada sesuatu yang berbeda. Udara terasa asing, lebih berat. Ia memandang ke arah horizon dan menyadari bahwa langit yang ia kenal telah berubah.
“Apa ini…?” bisiknya.
Di tangannya, medali yang selama ini menjadi kunci perjalanannya bersinar lembut. Lalu, tanpa peringatan, sebuah lingkaran sihir muncul di bawah mereka.
“Ayla, apa yang kau lakukan?!” teriak Kael, berusaha menjangkau tangannya.
“Aku tidak tahu! Ini bukan aku!” jawab Ayla panik.
Sebelum salah satu dari mereka sempat bereaksi lebih jauh, cahaya menyilaukan kembali menyelimuti mereka, dan dalam sekejap, semuanya berubah.
Saat Ayla membuka matanya lagi, ia tidak lagi berada di tanah kristal dunia Kael dan Arlen. Sebaliknya, ia berdiri di tengah kota besar, dengan gedung-gedung menjulang tinggi di sekelilingnya.
“Tidak mungkin…” Ayla memegang dadanya yang berdebar kencang. “Aku kembali ke duniaku.”
Di belakangnya, Kael dan Arlen berdiri, keduanya tampak kebingungan. Kael menatap lalu lintas jalan yang sibuk dengan ekspresi heran. “Apa tempat ini?” tanyanya.
Arlen mengamati manusia yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Ia mendekat ke Ayla dengan tatapan penuh selidik. “Jadi ini duniamu?” katanya pelan, namun jelas terdengar nada keraguan.
Ayla menarik napas dalam, menyadari apa yang telah terjadi. Mereka telah kembali ke dunianya, membawa serta dua pangeran dari dunia lain. Dan meskipun Noir telah dikalahkan, ia tahu bahwa ini adalah awal dari serangkaian tantangan baru yang tak kalah rumit.