Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyelamatkan Ibu Mertua
Ini gak ada yang komen apa ya? Komen apa aja, biar otor semangat. Hehe
Atau kasih gift aja. Makasih udah setia mampir. Boleh KRITIK dan SARAN nya.
________________
Obrolan orang-orang proyek dan aparat desa selesai, mereka rencana akan dijamu di rumah Pak RW.
"Kampung di sini memang padat penduduknya ya, Pak?" tanya Michael basa-basi.
"Iya benar, Mas Michael. Mereka produktif dan konsumtif juga. Jadi, kalau minimarket itu berdiri di sekitar sini, IsnyaAllah cocok."
Zayden hanya manggut-manggut, dia tidak tahu bahwa ini adalah kampungnya Elara. Lagi pula, tidak semua orang di kampung itu ikut ke pernikahan Elara. Apalagi jarak rumah Bu Nita dan tempat Pak RW sekarang cukup jauh. Meski gosip cepat beredar, tapi tetap saja tidak selalu jelas beritanya.
"Mari, kita ke rumah saya dulu. Tidak ada yang istimewa, hanya jamuan kecil, " ucap Pak RW, mengajak rekan semua.
Di halaman rumah Pak RW, suasana sudah memanas. Beberapa orang berbicara dengan nada tinggi, memarahi Bu Nira karena masalah jamuan. Sementara Bu Nira hanya bisa menunduk, sesekali mencoba menjelaskan, namun suaranya tenggelam oleh keributan.
“Sudah tahu tamu penting mau datang, kok malah ceroboh! Gimana ini, Bik Nira?” kata salah seorang warga dengan nada keras.
“Saya yakin tadi nasi sudah saya tekan tombol cook, Pak. Dan untuk masakan, takaran garamnya juga sudah pas. Saya nggak tahu kenapa ini bisa terjadi,” jawab Bu Nira, suaranya bergetar.
“Jangan asal nyalahin alat, Bik! Kalau nggak becus masak, bilang aja dari awal,” sahut warga lain dengan ketus.
Beberapa tetangga mencoba membela Bu Nira, mengatakan bahwa mungkin ada yang tidak sengaja mematikan tombol atau terjadi kesalahan teknis. Namun, suara mereka kalah oleh teriakan yang menyudutkan.
Di sudut halaman, Zayden berdiri bersama Mikhael. Mereka baru saja mendapat laporan dari Pak RT tentang keributan yang terjadi di dapur. Pak RT mencoba menenangkan Zayden, mengatakan bahwa ini hanya masalah kecil, tapi Zayden merasa ada yang tidak beres.
“Kenapa masalah sekecil ini jadi ribut? Bukannya ini urusan yang bisa diselesaikan baik-baik?” gumam Zayden.
Zayden memang tidak suka gayanya orang kampung, kalau menyelesaikan masalah selalu ribut didahulukan. Tinggi-tinggi ego. Daripada duduk bareng atau saling memaklumi jika masalahnya tidak fatal.
"Boleh saya lihat? hal apa yang diributkan?" Zayden bertanya dengan tegas.
Pak RT tersenyum canggung. “Namanya juga orang kampung, Pak. Kadang suka ribut soal hal kecil. Lagipula, dapur kan kotor. Nggak enak kalau Bapak masuk ke sana.”
Zayden mengernyit. “Kotor bukan masalah. Saya mau lihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi.”
Mikhael, yang berdiri di sebelahnya, mencoba menahan Tuan Zayden. “Mungkin lebih baik kita nggak usah ikut campur. Kita fokus saja ke urusan utama.”
Namun, Zayden menggeleng tegas. “Kalau masalah kecil seperti ini bisa bikin seseorang menderita, apalagi kalau itu nggak adil, saya nggak bisa diam saja.”
Dia melangkah menuju dapur meski beberapa orang mencoba menghalanginya. Ketika Zayden sampai di sana, dia terkejut melihat sosok yang tengah dimarahi oleh warga. Itu adalah Bu Nira, ibu mertuanya sedang berdiri dengan wajah memerah menahan malu dan sedih.
Zayden terdiam sejenak, lalu menatap warga dengan tatapan dingin. “Apa-apaan ini? Kenapa kalian memperlakukan seseorang seperti ini hanya karena masalah makanan?” tanyanya, suaranya penuh wibawa.
Keributan mendadak hening. Semua orang menoleh ke arah Zayden, merasa canggung karena tamu penting mereka ternyata menyaksikan kejadian ini.
“Saya nggak tahu siapa yang salah atau benar di sini,” lanjut Zayden. “Tapi apakah masuk akal untuk mempermalukan seseorang seperti ini hanya karena nasi belum matang atau masakan terlalu asin? Kalau saya yang jadi tamu, saya nggak pernah minta jamuan yang sempurna. Apa gunanya ribut soal ini?”
Warga terdiam. Beberapa mulai merasa bersalah, sementara yang lain tetap bersikukuh menyalahkan Bu Nira.
Zayden mendekati Bu Nira, menatapnya dengan lembut. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya pelan.
Bu Nira hanya mengangguk, air matanya hampir jatuh. “Saya nggak apa-apa, Nak Zayden.”
Zayden menghela napas panjang. “Kalau begitu, kita akhiri saja masalah ini. Saya tidak perlu jamuan apa pun. Yang saya butuhkan adalah kerja sama dan kedamaian, bukan keributan seperti ini.”
Pak RT segera menengahi, meminta maaf atas keributan tersebut. Zayden memutuskan untuk membawa Bu Nira keluar dari situasi itu, mengajaknya duduk di tempat yang lebih tenang.
Dalam hati, Zayden merasa geram.
“Bagaimana bisa seseorang yang sudah bekerja keras diperlakukan seperti ini, apalagi oleh orang-orang yang seharusnya menghargainya?” pikirnya. Dia merasa semakin bertanggung jawab untuk melindungi keluarga Elara, terutama ibu mertuanya yang terlihat begitu tulus dan sederhana.
"Mari Bu, saya ingin tahu di mana rumah Ibu," pinta Zayden.
Zayden pergi bersama Bu Nira. Urusan dilanjutkan oleh Michael.
"Kenapa kalian tidak ada yang bilang bahwa ini adalah kampung tempat tinggal istri bos saya?" Michael meminta penjelasan pada warga.
Tidak ada yang dapat memberikan alasan. Mereka hanya diam. Ada beberapa yang mencoba memberikan alasan, tapi hanya omong kosong.
"Baik kalau begitu, aku cukup tahu bagaimana karakteristik orang-orang di sini. Dan ini memengaruhi bagaimana nanti beberapa fasilitas umum berdiri. Semoga kalian jadi sosok yang pandai bersyukur."
Michael pergi menyusul bosnya, setelah mengatakan itu.
###
Zayden hampir sampai di rumah mertuanya. Namun, tiba-tiba ada yang memotong langkahnya. Dia adalah Pak Samin, pemilik rumah kontrakan Bu Nira.
"Maaf, Nak. Anda menantunya Bik Nira bukan?" tanya Pak Samin, sopan.
Sikap Pak Samin sangat berbanding terbalik, saat dia menghadapi Bu Nira sendirian.
"Ada apa?" respons Zayden, tak ingin basa basi.
"Mertua Anda belum membayar tunggakan kontrakan, kemarin saya ..."
"Michael, urus masalah di sini," ucap Zayden pada panggilan telepon.
Rupanya saat Pak Samin bicara, Zayden menghubungi Michael, dan saat tersambung langsung memerintahkan tugas. Dia tak ingin basa-basi dengan urusan kecil.
"Nak, Nak Zayden. Jadi bagaimana urusan saya." Pak Samin berteriak menyusul Zayden, karena Zayden tidak merespons keluhannya.
"Jangan ganggu Bos saya," tegur seseorang, yang membuat Pak Samin berhenti dan menoleh pada sumber suara
"Kamu siapa?" tanya Pak Samin.
"Urusan Bu Nira, selesaikan denganku." Michael mengatakan itu sambil berjalan.
Tanpa perlu komando lagi, Pak Samin mengikuti Michael. Leni tepatnya, Pak Samin paham, bahwa Michael ingin ke tempat aman yang lebih leluasa atau jika dekat ke rumahnya Pak Samin saja.
Pak Samin merasa sukacita, urusan dengan orang kaya memang selalu mudah. Batinnya.
"Memangnya harus dengan persyaratan seperti ini ya?" tanya Pak Samin. Saat Michale meminta perjanjian di atas putih.
Bersambung...