NovelToon NovelToon
Terpaksa Menikahi Pembantu

Terpaksa Menikahi Pembantu

Status: tamat
Genre:Tamat / Single Mom / Janda / Pengantin Pengganti / Pengganti / Dijodohkan Orang Tua / Pembantu
Popularitas:1.3M
Nilai: 4.8
Nama Author: D'wie

Madava dipaksa menikah dengan seorang pembantu yang notabene janda anak satu karena mempelai wanitanya kabur membawa mahar yang ia berikan untuknya. Awalnya Madava menolak, tapi sang ibu berkeras memaksa. Madava akhirnya terpaksa menikahi pembantunya sendiri sebagai mempelai pengganti.

Lalu bagaimanakah pernikahan keduanya? Akankah berjalan lancar sebagaimana mestinya atau harus berakhir karena tak adanya cinta diantara mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perhatian kecil dan cerai

"Sial!"

Cekrek ...

"Papa."

"Eh ... Rafi?"

Madava sempat bingung saat melihat keberadaan Rafi yang berbaring di kasurnya. Tapi setelah ingatannya kembali, ia pun tersenyum lebar dan segera menghampiri Rafi. Dikecupnya kening Rafi membuat bocah laki-laki itu tersenyum begitu lebarnya. Hatinya menghangat. Ia merasa bahagia karena akhirnya bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayang seorang ayah.

"Papa mandi dulu ya. Hummm ... Bau. Setelah itu, kita main, mau?"

"Mau, Pa. Rafi mau," seru Rafi bersemangat.

Madava mengacak rambut bocah laki-laki itu gemas. Madava sendiri heran, rasa sayang itu bisa tumbuh secepat ini pada Rafi. Padahal mereka tidak memiliki ikatan apapun. Tapi mengingat Ayu yang bisa menyayangi Rafi sedalam itu membuat Madava berpikir, sepertinya Rafi memiliki aura positif yang membuat semua orang bisa dengan cepat menyayanginya.

Madava pun segera masuk ke kamar mandi. Dari ambang pintu yang belum tertutup, Ayu memperhatikan semua itu. Sikap Madava yang begitu baik pada Rafi dan senyum bahagia Rafi yang tanpa sadar menarik sudut bibirnya ke atas. Senyum itu melengkung indah.

Ayu yang merasa bahagia pun berinisiatif untuk memperlakukan Madava dengan lebih baik. Ia membantu menyiapkan pakaian ganti untuk suaminya itu.

"Nanti kalo Papa selesai mandi, bilang Papa ya, ini bajunya," pesan Ayu pada Rafi.

"Baik, Mama."

"Ya, udah, Mama ke dapur dulu ya! Mau buat puding, Rafi mau?"

"Mau Mama. Sama susu coklat, boleh?"

"Tentu boleh."

"Terima kasih, Mama," ucap Rafi dengan senyum merekah.

Sejak kecil Ayu memang sudah mengajarkan anaknya tiga kata ajaib, yaitu maaf, tolong, dan terima kasih. Tiga kata ajaib yang sangat penting diajarkan pada si Kecil dalam kehidupannya sehari-hari sejak dini. Hal ini karena tiga ungkapan tersebut berpengaruh kuat terhadap keterampilan sosio-emosional anak di kemudian hari. Tak hanya itu, kata-kata ajaib ini juga ikut berperan untuk membentuk kepribadian dan karakter yang positif pada anak. 

"Sama-sama, Sayang," balas Ayu sambil mengusap pipi tirus Rafi.

Setelah Ayu keluar, Madava pun keluar kamar dengan handuk yang melingkari pinggangnya.

"Wah, Papa punya otot!"

Madava yang mendengar kalimat itu, melirik tubuhnya sendiri. Lalu ia terkekeh.

"Rafi mau punya otot kayak Papa?"

"Mau, Pa."

"Rafi bisa kok. Tapi Rafi harus sehat dulu ya. Kita berobat ke dokter dulu sampai benar-benar sehat. Nanti setelah sehat, kita olahraga bareng. Ajak Mama juga."

"Wah, beneran, Pa?"

"Bener dong."

Madava tersenyum. Ia pun hendak berlalu menuju lemari pakaiannya. Ia belum menyadari ada pakaian yang sudah disiapkan di atas ranjang, dekat Rafi.

"Papa, ini baju Papa udah disiapin Mama."

Madava pun sontak menoleh. Dahinya mengernyit. Kemudian ia tersenyum sendiri. Merasa senang mendapatkan perhatian kecil itu.

"Wah, Mamanya sekarang kemana?"

"Mau buat puding, Pa."

"Rafi suka puding?"

"Suka."

"Wah, Papa juga. Apalagi kalo buat puding buah. Hemmm, enak!"

"Rafi juga suka Papa. Rafi suka buah. Tapi dulu Mama nggak bisa beliin Rafi buah, tapi setelah tinggal sama Papa, Rafi bisa makan buah yang banyak dan enak. Makasih Papa udah mau jadi Papa Rafi."

Madava tersenyum lirih. Entah sebesar apa penderitaan Ayu di kala itu. Ayu memang sudah menceritakan masa lalunya, tapi Ayu hanya menceritakan bagian pentingnya saja. Membayangkannya saja, Madava bisa melihat kalau masa lalu Ayu begitu berat. Tiba-tiba Madava penasaran dengan orang-orang di masa lalu Ayu. Madava harap, mereka yang sudah menyakiti Ayu menuai akibatnya.

...***...

Di sebuah rumah yang ada di kota lain.

"Mama," teriak Tika masuk ke dalam rumah.

"Ada apa sih, Tik? Pulang-pulang teriak-teriak, kau pikir ini hutan?" omel Mila.

"Mama, beri aku uang, Ma. Aku mau ngekos di kota sebelah."

"Apa? Untuk apa? Jangan aneh-aneh!"

"Ma, Rafa dipindah tugaskan ke kota sebelah. Kalau kami berjauhan, bisa-bisa aku jadi semakin sulit untuk mendapatkannya. Bagaimana ini, Ma? Pokoknya Mama harus bantu aku minta duit ke Papa biar aku bisa tinggal di sana. Atau kita jual saja rumah ini. Lagipula bosan tinggal di sini-sini mulu. Di kota sebelah lebih keren lho, Ma. Ayolah, Ma, Mama setuju 'kan?"

Mila tampak menimbang. "Kau benar. Mama juga sudah bosan tinggal di sini. Tetangga di sini pada miskin. Pembangunan di sini juga gitu-gitu aja, nggak ada kemajuan."

"Nah, itu Mama tau. Jadi Mama mau 'kan jual rumah ini dan pindah ke kota sebelah?"

"Baiklah, tapi Mama bilang dulu ke Papa." Bari saja mengatakan itu, Wardoyo pun muncul dengan wajah lelahnya.

Belum sempat Wardoyo mendudukkan bokongnya. Jangankan mendapatkan segelas air, bahkan sepatunya saja masih melekat di kakinya, tanpa basa-basi Mila langsung menyatakan keinginannya.

"Ma, Mama tentu tidak lupa 'kan, ini rumah Ayu, bukan rumah kita. Bahkan tidak seharusnya kita tinggal di sini. Lagipula, kalau mama mau pindah ke sebelah, lalu pekerjaan Papa gimana?" Wardoyo masih berusaha bersabar menanggapi kata-kata Mila. Ia pun melepaskan sepatu dan meletakkannya di rak.

"Jangan pernah sebut-sebut nama anak sialan itu lagi, Pa! Lagipula aku juga berhak atas rumah ini. Rumah ini peninggalan kakakku jadi sudah sepantasnya aku yang memiliki rumah ini, bukan anak sialan itu. Dan masalah pekerjaan, Papa 'kan bisa mencari pekerjaan lagi di sana." Mila berucap tanpa memikirkan perasaan suaminya sama sekali.

"Hak apa? Ingat, kau itu hanya sodara. Sementara Ayu itu anak kandungnya. Kalaupun kau berhak, sudah cukup dengan kau mengambil semua uang dan perhiasan mendiang ibunya Ayu. Sudah lebih 5 tahun Ayu menghilang, tidakkah kau sedikit saja memikirkan keadaannya. Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya. Padahal Ayu itu anak kakakmu sendiri, tapi kenapa kau bisa sekejam itu padanya?" sentak Wardoyo yang tidak habis pikir dengan sikap dan kelakuan sang istri.

"Berhenti menyebut-nyebut nama anak sialan itu, Pa! Yang sedang kita bahas sekarang itu, aku sama Tika mau pindah ke kota sebelah. Kalau papa tetap mau di sini sih, silahkan. Tapi berikan kami uang untuk mencari tempat tinggal di sana. Kami bosan tinggal di tempat ini."

"Uang, uang, uang, apa tidak ada yang lain di otakmu itu, hah? Dan kenapa pula kalian ingin tinggal di kota yang tidak ada yang kalian kenali sama sekali?"

"Di sana ada Rafa kok, Pa. Tika mau tinggal di sana supaya bisa dekat dengan Rafa."

"Rafa lagi, Rafa lagi, apa di otakmu itu hanya ada laki-laki itu? Bukankah sudah jelas kalau dia tidak menyukaimu sama sekali?"

"Aku tidak peduli dengan itu. Yang penting aku bisa dekat dengan Rafa. Aku yakin, lama kelamaan dia pasti akan menyukaiku. Lagipula, apa Papa tau, Rafa sudah diangkat menjadi kepala cabang anak perusahaan tempat dia bekerja. Kalau aku bisa menikah dengan Rafa, hidupku pasti akan terjamin."

"Kalau kau mau hidupmu terjamin, kerja Tika. Bukannya mengharapkannya dari laki-laki yang jelas-jelas tidak menyukaimu."

"Kenapa Papa malah ngomeli Tika? Yang Tika katakan benar kok. Sudah, pokoknya Mama mau Papa beri kami uang untuk mencari rumah di sana. Mama nggak mau tau," sentak Mila.

Wardoyo menggeram marah. Seandainya Mila laki-laki, sudah ia tampar mulut lancangnya itu.

"Kau ... " Wardoyo menunjuk dengan murka pada sang istri. "Bertahun-tahun aku mencoba bersabar dan bertahan, aku pikir suatu hari kau pasti akan berubah. Tapi nyatanya semua usahaku itu sia-sia. Terserah, terserah kalau kau mau tinggal di kota sebelah. Terserah. Aku tidak peduli. Karena mulai hari ini, kau bukan istriku lagi. Aku menceraikanmu. Aku menceraikanmu Sarmila binti Sarkoni. Mulai hari ini, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku akan segera mengurus surat perceraian kita," ucap Wardoyo lantang membuat Mila dan Tika membelalakkan mata mereka.

...***...

...Happy reading 🥰🥰🥰...

1
Siti Nurbaidah
Luar biasa
guntur 1609
mantap Rafa. kata2 mu tu sprti seorang casanova
Siti Nurbaidah
Luar biasa
guntur 1609
rasain kau tika. itulah hasil yg kau tanam selama ni. tinggal mila sja yg blm
guntur 1609
dasar orang gila. muka tembok
guntur 1609
mampus kau dava. kalau kau percaya sm gisela ular. padahal ayu sedang hamil sekarang. kau akan menyesal jika aoercaya gisel
Emil Husin juhri
Kecewa
Emil Husin juhri
Buruk
guntur 1609
telat
guntur 1609
sama ja semuanya... satu jurusan. daar dava. mentang2 sdh kena
guntur 1609
ayu sdh terotak. gak jadi tersalurkan. makanya uring2 an
guntur 1609
pasti ragi cocok darah sm sum2 belakangnya sm dava
guntur 1609
kau pun salah yu. seharusnya kau juga peka dengan kejadian ini
guntur 1609
hahah laporan kau dava
guntur 1609
jangan bilang laki2 yg sm via tu asrul
guntur 1609
jangan blngbdava pernah melecehkan mamanya rafi tapi gak sadar.
guntur 1609
hmngkn ayu ramah sm mu di waktu pagi. agar kau semangat bekerjanya
guntur 1609
pa rafi bukan anak kandungnya ayu ya
guntur 1609
hahahha kena kau kan dava
guntur 1609
hahahhah krna mental madava
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!