Dewasa🌶🌶🌶
"Apa? Pacaran sama Om? Nggak mau, ah! Aku sukanya sama anak Om, bukan bapaknya!"
—Violet Diyanara Shantika—
"Kalau kamu pacaran sama saya, kamu bakalan bisa dapetin anak saya juga, plus semua harta yang saya miliki,"
—William Alexander Grayson—
*
*
Niat hati kasih air jampi-jampi biar anaknya kepelet, eh malah bapaknya yang mepet!
Begitulah nasib Violet, mahasiswi yang jatuh cinta diam-diam pada Evander William Grayson, sang kakak tingkat ganteng nan populer. Setelah bertahun-tahun cintanya tak berbalas, Violet memutuskan mengambil jalan pintas, yaitu dengan membeli air jampi-jampi dari internet!
Sialnya, bukan Evan yang meminum air itu, melainkan malah bapaknya, William, si duda hot yang kaya raya!
Kini William tak hanya tergila-gila pada Violet, tapi juga ngotot menjadikannya pacar!
Violet pun dihadapkan dengan dua pilihan: Tetap berusaha mengejar cinta Evan, atau menyerah pada pesona sang duda hot?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Festival
Pulang dari apartemen William, Violet langsung bersiap-siap di kosannya. Semalaman, dia sudah memilih pakaian terbaik untuk hari ini. Pilihannya jatuh pada crop top bertali yang memperlihatkan bahunya, dipadukan dengan celana kargo yang nyaman. Tak lupa, ia menguncir rambutnya ke belakang dan menambahkan pita kecil sebagai hiasan, membuatnya terlihat semakin manis.
Begitu tiba di lokasi festival, Violet langsung menuju backstage. Undangan eksklusif dari Evan memungkinkannya masuk dengan leluasa, tanpa harus berdesakan dengan para penonton lain.
Di depan ruangan bertuliskan Sunday Reverie, Violet berhenti sejenak. Itu adalah nama band Evan dan teman-temannya. Sebuah grup indie yang baru terbentuk beberapa bulan lalu tetapi sudah mencuri perhatian banyak orang. Salah satu lagu mereka bahkan sempat viral di media sosial.
Dengan hati-hati, Violet membuka pintu ruangan. Seketika, hiruk-pikuk persiapan di dalam menyambutnya. Para anggota band sedang dirias oleh tim make-up, sementara kru lain sibuk mondar-mandir mengurus berbagai keperluan.
Kehadiran Violet langsung menarik perhatian. Wajahnya yang cantik membuat hampir semua orang di ruangan itu melirik ke arahnya.
"Halo," sapanya dengan ramah.
"Wah, Violet! Kamu datang?" Evan muncul dari sudut ruangan, menghampirinya dengan ekspresi senang.
Melihat penampilan lelaki itu dari dekat, Violet nyaris meleleh. Ya ampun, Kak Evan kelihatan makin ganteng!
"Eh iya, Kak. Ini buat Kakak," ujar Violet, buru-buru menyerahkan buket bunga yang sejak tadi ia bawa. "Selamat atas penampilan pertama band kakak di festival ini!"
Evan menerima buket itu dengan senyum lebar. "Ya ampun, nggak perlu repot-repot, Violet! Tapi makasih banyak, ya!"
"Sama-sama, Kak."
"Siapa dia, Bro?" Tiba-tiba, seorang pria lain muncul dari belakang Evan.
"Ah, dia Violet. Adik tingkat kita di kampus," jawab Evan santai.
"Jadi ini Violet?" Pria itu mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar. "Kenalin, gue Roy. Seangkatan sama Evan. Gue sering denger nama lo."
Violet menjabat tangan Roy dengan canggung. "Oh, iya, Kak? Dengar apa, ya?"
"Banyak cowok bilang lo primadona kampus," kata Roy sambil terkekeh. "Gue sih awalnya nggak percaya karena belum pernah lihat lo langsung, tapi sekarang... gue setuju. Lo memang cantik banget."
Pipi Violet merona. Dipuji seperti itu, apalagi di depan Evan, tentu membuatnya berbunga-bunga. "Terima kasih, Kak. Tapi rasanya itu berlebihan, deh."
"Nggak juga. Lo emang pantas dapat julukan itu. Ah, andai gue lebih rajin kuliah, pasti dari dulu udah sering ketemu lo!"
"Ye, lo mah berangkat kuliah cuma buat lihat cewek doang," seloroh Evan sambil menyenggol Roy. Mereka lalu tertawa bersama.
"Oh iya, Violet, kamu tunggu di sini aja sampai acara mulai," ujar Evan. "Kamu bisa duduk di sana," katanya sambil menunjuk sofa panjang di sudut ruangan.
"Emang nggak apa-apa, Kak?" tanya Violet ragu.
"Nggak apa-apa, santai aja," jawab Evan sambil menuntun Violet ke sofa. Jantung Violet langsung berdebar kencang saat jari Evan menyentuh tangannya.
Tapi sebelum ia sempat menikmati kebahagiaannya lebih lama, sebuah suara familiar dari luar tiba-tiba terdengar.
"Sayang!"
Deg.
Suara itu menghantam telinga Violet seperti petir di siang bolong. Itu adalah suara perempuan yang paling tidak ingin didengarnya, tak lain dan tak bukan adalah pacar Evan.
"Hai, sayang..."
Tanpa ragu, Evan langsung melepaskan genggamannya dari tangan Violet dan berbalik untuk menyambut kekasihnya. Dalam sekejap, mereka berdua sudah berpelukan erat, dan yang lebih parah, mereka saling mengecup bibir tepat di depan mata Violet.
Violet merasakan dadanya memanas, seakan ada bara api yang membakar dari dalam.
"Sorry telat ya, tadi aku masih ada kelas dulu," ucap pacar Evan dengan suara manja.
"It's okay, kamu belum telat kok, Sayang. Aku juga belum tampil," jawab Evan dengan suara lembut.
Mereka berdua lalu mulai mengobrol akrab, tertawa kecil, dan terus bermesraan seakan dunia hanya milik mereka berdua. Violet hanya bisa diam, berusaha menahan diri agar tidak terlihat iri atau pun cemburu. Tapi bagaimana mungkin? Pemandangan di depannya terasa seperti tamparan telak untuknya.
"Oh ya, perkenalkan," kata Evan tiba-tiba, menoleh ke arah Violet. "Ini Violet. Dia gadis yang aku ceritakan waktu itu. Yang nolongin Papa."
Violet menegang. Tatapan pacar Evan langsung tertuju padanya, menelusuri dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan ekspresi sulit ditebak.
Perlahan, perempuan itu melepas pelukannya dari Evan dan melangkah mendekati Violet.
"Hai, aku Nana. Salam kenal."
Tangannya terulur.
Violet menelan ludah, jari-jarinya yang menggenggam tali tas semakin erat. Seperti yang pernah ia katakan sebelumnya, sebenarnya Violet takut pada pacarnya Evan.
"H-hai, Kak," jawabnya sedikit gagap, lalu buru-buru menyambut uluran tangan Nana. "Aku Violet."
"Aku tahu," jawab Nana dengan senyum tipis. "Aku sudah sering dengar nama kamu."
Violet hanya bisa tersenyum canggung.
"Hampir semua cowok di kampus selalu membicarakan tentang kecantikan kamu," lanjut Nana.
"Ah, mereka terlalu berlebihan, Kak," sahut Violet, mencoba merendah.
Tapi yang terjadi selanjutnya membuatnya terdiam.
"Memang benar," kata Nana dengan nada yang sulit diartikan. "Mereka terlalu berlebihan."
Seketika, dahi Violet mengerut.
Loh… biasanya orang tidak akan berkata seperti itu, kan?
Tapi Nana tidak melanjutkan ucapannya. Perhatiannya kembali terfokus pada Evan, dan dalam sekejap, mereka kembali tenggelam dalam kemesraan, seolah Violet tak lagi ada di ruangan itu.
Violet hanya bisa diam, mencoba mengalihkan pandangannya, tapi sulit. Rasanya ingin sekali pergi, tapi kakinya terpaku di tempat.
"Guys!"
Suara seorang panitia acara tiba-tiba menggema di ruangan, membuat semua orang menoleh. "Tampil lima menit lagi, ya!"
Sekejap, ruangan menjadi lebih sibuk. Tim backstage langsung bergerak, membenahi penampilan keempat anggota Sunday Reverie sebelum mereka naik panggung.
Evan berbalik pada Nana dan mengecup bibirnya sekali lagi. "Aku siap-siap dulu, ya. Kamu ngobrol dulu sama Violet."
Setelah berkata begitu, ia pun pergi, meninggalkan mereka berdua.
Violet menelan ludah. Kini hanya ada dirinya dan Nana, duduk bersebelahan dalam suasana yang sangat… canggung.
Nana terlihat sibuk dengan ponselnya, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berbicara.
Violet mengatur napas. Ia mencoba tersenyum dan memberanikan diri untuk berbasa-basi. "Kak Nana satu angkatan sama Kak Evan, ya?"
Hening.
Nana tidak menjawab. Bahkan menoleh pun tidak.
Violet menggigit bibirnya, lalu mencoba lagi. "Eng… Kak Nana jurusan apa?"
Masih tidak ada jawaban.
Violet mulai merasa aneh. Suasana ruangan memang cukup ramai sih, tapi masa iya Nana tidak mendengar?
Akhirnya, ia memberanikan diri berbicara lebih keras. "Kak Nana!"
Tidak ada reaksi.
"Kakak—"
"Apa sih, berisik banget."
Nana akhirnya menoleh, tapi bukan dengan ekspresi ramah, melainkan dengan tatapan penuh ketidaksukaan.
"Annoying."
Setelah berkata seperti itu, ia langsung berdiri dan pergi meninggalkan Violet begitu saja.
Violet hanya bisa terpaku di tempat.
"Wah…"
Matanya membelalak tak percaya.
"Parah banget. Bener kan dugaanku, dia itu bukan orang baik buat Kak Evan!" gumamnya kesal.
"Huh, awas aja. Akan aku rebut Kak Evan dari kamu!" gerutunya pelan.
Violet menghela napas panjang dan menatap Evan yang sedang bersiap di kejauhan.
"Kenapa sih orang sebaik Kak Evan harus dapet cewek kayak dia? Padahal kan ada aku!"
Ia merutuk dalam hati, sibuk meratapi nasibnya sendiri.
Tapi kemudian, sesuatu menarik perhatiannya. Ada sebuah tas yang tergeletak di sampingnya.
Violet mengerutkan dahi. "Loh, ini tas siapa?"
Ia menoleh ke sekeliling, lalu menyadari sesuatu. "Jangan-jangan ini tasnya Kak Nana."
Sebenarnya, Violet malas berurusan lagi dengan Nana. Tapi kalau dibiarkan begitu saja, bisa-bisa nanti malah jadi masalah.
"Ya udah, aku kasih ke Kak Evan aja."
Dengan hati-hati, Violet meraih tas itu. Namun, saat ia mengangkatnya, resletingnya yang terbuka membuat isi tas tiba-tiba tumpah ke lantai.
"Haish, ada-ada aja sih!" tukasnya kesal.
Ia buru-buru meraih barang-barang yang berserakan dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Sampai akhirnya… tangannya menyentuh sesuatu.
Sebuah alat tes kehamilan.
Dengan dua garis merah yang jelas.
Violet terdiam. Matanya membelalak. "Ini kan…?"
"Siapa yang ngizinin lo pegang-pegang barang gue sembarangan?!"
Suara tajam itu mengejutkannya.
Sebelum Violet bisa bereaksi, Nana tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan dengan kasar merebut alat itu dari tangannya.
Tatapan Nana penuh kemarahan. "Jangan kurang ajar, lo!"
Sebelumnya, author mau ngucapin selamat menunaikan ibadah puasa bagi para pembaca yang muslim 🥰🙏
Terus.. untuk menjaga kekhusyukan para pembaca dalam beribadah, mulai besok bab selanjutnya akan update setelah buka puasa. Jadi tenang aja, meskipun ada adegan plus plusnya, ga akan bikin batal 🤭
Terimakasih atas perhatian nya...
Dukung terus karya ini dengan kasih like, komen, gift, subscribe, dan lain-lain.
Terimakasih! ❤