Tentang seorang menantu yang tidak di perlakukan baik oleh keluarga suaminya.
Setiap hari nya harus menahan diri dan memendam sakit hati.
Lalu di tengah kesuksesan yang baru di reguknya, rumah tangganya di terpa badai pengkhianatan.
Akankah dirinya mampu bertahan dengan rumah tangganya?
Cerita ini belatar kehidupan di daerah Sumatera, khusunya suku Melayu. Untuk bahasa, Lebih ke Indonesia supaya pembaca lebih memahami.
Jika tidak suka silakan di skip, dan mohon tidak memberi penilaian buruk.🙏
Silakan memberi kritik dan saran yang membangun🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juniar Yasir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelas
Sementara di kampung, sepulang dari nyadap karet, Sarimah langsung mandi. Setelah berganti pakaian, dirinya menuju ke dapur dan membuka kulkas. Menarik nafas kasar, dirinya melihat isi kulkas hanya tempe dan tahu. Sarimah memutuskan pergi ke rumah sang anak dengan membawa piring kecil, mungkin saja Yati sudah masak, sehingga dirinya bisa meminta sedikit makanan.
“Yati!!!, bukak pintunya. Ini Mak!’’ panggil Sarimah agak mengeraskan suaranya.
“Ada apa sih Mak, siang-siang itu di rumah bukannya jalan’’ Yati menggosok mata nya. Karena iya sedang tidur siang.
“Mak baru balik nyadap, belum sempat masak. Tadi di kulkas cuma ada tempe tahu, bolehkah....’’
Belum selesai Sarimah berbicara sudah di potong oleh Yati.
“Jika Mak kesini hendak meminta lauk, tidak ada Mak. Aku juga tidak masak. Tadi hanya makan mie same telor ceplok. Bukannya tempe tahu bisa di bikin nugget? Kemarin aku sempat makan buatannya Sari.’’ ucap Yati.
“Mak mana bisa buat makanan seperti itu Yati, Yuklah kerumah Mak!. Tolong masakkan, penat betul rasanya badan Mak ni.’' Sarimah mengeluh karena dirinya begitu kekalahan, malah harus memasak pula.
“Mana bisa aku buat nugget Mak, lagipula buat tu susah. Harus ada tepung dan sayurnya. Mak buat mie saja lah, sebentar lagi pasti ada kak Hindun lewat bawa lomik. Nanti bisa lah Mak beli untuk lauk malam ni, aku tutup dulu ye Mak pintunya, atau jika Mak hendak masuk, masuklah.’’ Yati berkata dengan santai nya.
“Tak usahlah, Mak nak balik saja.’’ Sarimah pulang dengan piring kosongnya.
Sementara dari jauh, Rahmah menatap sinis kedua ibu anak itu. Ada rasa iba terhadap Sarimah. Dulu ketika masih ada Sari, makanan nya terjaga, walaupun sedikit, tetapi tidak pernah putus lauk dan sayur. Dirumah Sarimah tinggal makan, tidak ada acara masak. Jika masak pun hanya sekali saja. Kini semenjak Sari berpindah ke kota, Sarimah mulai kesulitan.
.
.
Sampai di rumah, Sarimah langsung merebus mie instan yang di belinya ketika pulang dari rumah Yati. Dirinya menumbuk cabai kering untuk di bikin sambal, pelengkap makannya nanti.
Tiba-tiba Iya teringat akan menantu yang kerap kali di hinanya itu.
Teringat perlakuannya selama ini kepada sang menantu. Padahal selama ini di rumah dirinya begitu santai, paling hanya membantu sekedarnya saja. Makan tinggal makan, semua pekerjaan rumah di kerjakan Sari tanpa mengeluh dan mereka tidak pernah putus lauk dan sayur. Padahal kebutuhan dan biaya begitu besar, tetapi Sari mampu menutupi nya. Sarimah mulai berfikir, gaji Ramdan yang serabutan itu tidak seberapa, ikan dan ayam sering kali ada di meja makan. Ikan hasil tangkapan Ramdan hanya sesekali jika iya melaut. Dari mana Sari mendapat uang selama ini pikirnya.
Tak ingin pusing kerena hal itu, Sarimah mulai makan dalam kesunyian. Terbayang candaan kedua cucu nya. Jika dulu dirinya terganggu karena kebisingan cucunya, kini iya merasa sepi dan hampa. Belum lagi malam-malam iya juga sendiri. Yati hanya 3 kali dalam seminggu nginap di rumahnya.
.
“Assalamu'alaikum!’’
Saat asik makan, tiba-tiba dari luar rumah terdengar seseorang mengucap salam.
“Wa'alaikum salam, kejap!’’
Sarimah mencuci dan mengelap tangan nya, berjalan menuju pintu dan membuka nya.
“Rahmah? Ada apa siang-siang kesini?’’ Sarimah heran, karena biasanya tetangga nya ini ke rumahnya hanya ingin menemui Sari saja.
“Ini ada sedikit lauk dan sayur Mak cik, baru saja ada yang mengantar berkat, ini dari nikahan saudaranya bang madi, tapi tadi pagi saya sudah memasak, sayang pula bila mubazir.’’ ucap Rahmah. Tidak tega juga dirinya pada orang tua ini.
“Makasihlah jika macam tu, ini banyak betul. Bisa lah untuk besok. Makan pun sendiri, jadi bisa di masukkan sebagian ke kulkas.’’ Tutur Sarimah senang bukan main.
“Iya Mak, Mak malam sama siapa tidur nya?’’ tanya nya.
“Sendiri saja, kadang juga Yati kesini.’' jawab Sarimah.
“Jika Mak cik tak keberatan, boleh tidak adik ku tinggal di rumah Mak? adikku juga sendirian dirumah nya. Mak tau sendiri kan Rahmi itu pemalu orangnya, jadi tak mau pula dirinya tinggal dengan ku karena malu dengan bang madi.’’ cerita Rahmah panjang lebar.
Adik nya sudah selesai kuliah, dulunya ngekos di kecamatan. Sedangkan orang tua mereka sudah lama meninggal dunia. Saat pulang kampung dia takut juga sendirian dirumah jika malam. Apalagi rumahnya ini agak berjauhan jarak dari tetangga, tidak seperti sekitar RT nya Rahmah ini, rumahnya dan tetangga ibarat lima langkah saja.
“Jika memang dia mau tinggal dirumah ku, aku sungguh tak masalah. Malah aku senang betul rasanya, karena ada kawan becakap jika dirumah. Soal masak tak usah risau, bantu-bantulah aku sekedarnya saja. Nanti ku keluarkan semua blender dan perkakas lainnya, supaya adik kau tu tidak susah jika mau membantuku masak.’’ balasnya.
Sarimah begitu antusias mendengar adik nya Rahmah mau tinggal dengan nya. Dirinya sudah tidak sabar menunggu kedatangan Rahmi, karena dia akan punya teman di rumah.
“Alhamdulillah bila Mak cik setuju, lega juga rasanya kegundahan hati ku ni, sebabnya dia lah satu-satunya keluarga yang ku punya. Aku sangat risau bila dia tinggal sendiri di rumah sana. Oh iya Mak cik, nanti duit makan adik ku nanti saja ku beri, soalnya sekarang aku tak bawa duitnya’' ujar Rahmah sungkan.
“Sudah lah tidak usah kau risaukan masalah duit. Sudah di temani saja aku sangat terima kasih padamu Rahmah, tak salah bila Sari berteman dengan kau, karena kalian memang baik.’’ puji tulus Sarimah.
Dirinya mulai menyadari kesalahannya, tapi apalah gunanya jika sang menantu dan anak sudah pindah rumah.
“Bagus juga mereka pindah, jika tidak aku tidak akan menyadari kesalahan diri sendiri. Ada juga hikmah nya, jadi biar sajalah mereka berbahagia di rumah baru mereka. Semoga Ramdan bisa membahagiakan keluarga kecilnya.’’ batin Sarimah berdo'a tulus untuk anak, menantu dan cucunya.
“Mak cik, Mak cik!,’’ panggil Rahmah membuyarkan lamunan Sarimah.
“Eh maaf, jadi teringat Selfi dan Atika.’' alasan Sarimah, tidak bohong juga, karena memang benar dirinya kangen dua cucunya.
“Susullah mereka ke kota Mak, pasti mereka juga rindukan mak.’’ hibur Rahmah.
Kasihan juga dirinya melihat orang tua ini, dirinya melihat Sarimah perlahan berubah dan mulai menyesali sikap nya terhadap sang menantu selama ini.
“Nanti mungkin agak petang si Rahmi datangnya, kalau gitu aku balik dulu ya mak, sudah petang ini, mencari pula nanti bujang ku itu.“ Rahmah pamit pulang, Sarimah mengangguk saja.
.
.
Sepulang nya Rahmah, Sarimah langsung masuk ke rumah dan mulai menyapu rumahnya, karena tadi belum sempat menyapu. Dirinya juga merapikan kamar tamu yang lama tidak di huni, kini kamar itu akan di sediakan untuk Rahmi saja.
.
.
.
Sari akan mencuci pakaiannya, anak² dan suaminya. Seperti biasa, setiap kali mencuci iya akan memeriksa saku sang suami terlebih dahulu. Dirinya menemukan Kwitansi di saku sang suami.
“Kwitansi pembelian cicin?, untuk siapa?’“
Batin Sari.
Di lihat dari tanggal nya, sepertinya barang ini di beli dua hari lalu, sedangkan dua hari yang lalu bertepatan Ramdan demam dan dirinya juga melihat motor suami di parkiran penginapan berlian.
Kini Sari kembali curiga, apa yang di lakukan Ramdan diluaran sana. Jika di kampung dan kota ini bisa iya melihat leluasa, tapi jika di luaran sana tidak akan bisa sering mengawasi nya.
.
.
.
“Dahlia?!, tinggalkan dia. Dimana akal sehat kau ni’’
“Aku tidak peduli’’