Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dihyan dan Vivian
Dihyan melucuti seluruh pakaiannya. Cermin separuh tubuh di dalam kamar mandi memantulkan dirinya. Seorang laki-laki muda yang belum genap mencapai usia dua puluh tahun. Wajahnya tampan dengan dagu tegas, hidung mancung, dahi tinggi dan mata yang dalam. Rambutnya yang acak-acakan berwarna kecoklatan, sedangkan kulitnya putih, mendekati kuning kepucatan.
Dihyan tidak mampu melihat ini. Yang ia pantau hanya sosok seorang pecundang yang memprihatinkan.
Pemikiran yang sangat berlebihan. Apalagi bila sampai Centhini tahu selama ini Dihyan berpikir seperti itu.
Ketika tadi ia melepaskan celananya, keris Semar Mesem tersangkut di saku. Dihyan merogoh kantong celananya untuk mengambilnya, menghindari benda itu kembali jatuh ke lantai kamar mandi seperti sewaktu ia berada di Monterado.
Sampai sekarang pun Dihyan masih bingung mengapa benda itu masih terus ia bawa, ia kantongi bahkan. Mungkin karena misteri dan ketidaktahuan masih menyergapnya, menguncinya, sehingga ia tidak bisa lari dari pertanyaan demi pertanyaan. Membawa keris Semar Mesem kemana-mana menjadi seperti kebiasaan saja.
Dihyan merogoh lebih dalam sakunya.
Ia melonjak dan mengaduh kecil.
Jarinya terluka.
Setitik darah mengalir dari jari tengahnya.
Dihyan menekan jarinya itu untuk mengeluarkan darah, kemudian mencucinya.
Kembali perlahan ia masukkan tangannya ke dalam saku, tentu dengan lebih hati-hati kali ini.
Keris Semar Mesem yang awalnya ia pikir tidak setajam itu kini terlihat lebih menyerupai sebuah senjata sungguhan dibanding jimat atau benda pusaka. Keris mini itu semakin terlihat mengilat. Aksara Cina bersinar terang di permukaannya, seperti disinari cahaya, atau digosok berkali-kali sampai kinclong. Ada setitik darang di ujung jambul atau kuncung sang Semar.
Dihyan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Darah di jari tengahnya sudah tidak mengucur, dan rasa perih tusukannya pun tak seberapa – juga telah tidak terasa. Namun, keris itu kini terlihat ternoda oleh setitik darahnya. Maka, secara nalurian Dihyan membersihkannya di bawah air keran wastafel kamar mandi. Dihyan mengelus lapisan keris Semar dengan jarinya untuk menghilangkan noda darahnya tersebut.
“Pak kung, pak po. Ciung ki nyit, kin pu ja, … loi kak nyi se fa sui.”
Suara itu lagi. Muncul tipis-tipis melalui serat udara.
“Berisik!” gumam Dihyan. Ia makin yakin pikirannya terganggu.
“Pak kung, pak po. Ciung ki nyit, kin pu ja, … loi kak nyi se fa sui.”
“Apaan, sih? Mantra? Ya sudah, kalau memang keris Semar Mesem ini bisa membuat aku lebih disukai cewek, ayo, berikan aku bukti. Jangan bisik-bisik seperti itu. Memangnya tidak bisa ngomong baik-baik?”
“Kau mau siapa memangnya, Dihyan? Siapa yang ingin kau jadikan contohnya?”
Lagi-lagi suara perempuan itu. Sosok perempuan tanpa busana berkulit gelap dan berpucuk dada merah, yang mengaku bernama Wardhani – yang mungkin sekali diciptakan oleh ia sendiri, pikir Dihyan.
“Siapa? Mengapa tidak Vivian Chandra? Cewek itu tinggal di Singkawang. Dia bekerja di dekat sini, di minimarket. Kalau mau, aku bisa pergi kesana, mengunjunginya. Aku masih ingat dimana letak tempat kerjanya. Cewek itu contoh sempurna untuk digunakan. Cantik, menggemaskan,ehm … dadanya besar. Aku jamin isinya juga lebih menggairahkan,” ujar Dihyan.
Suara laki-laki itu bergetar, penuh dengan kekesalan, penuh dengan emosi yang tidak bisa ia definisikan. Ia sudah terlanjur menantang sang hasrat, sang nafsu, sang syahwat betina tersebut.
Dihyan terus membasahi keris Semar Mesem dan menyeka lapisannya dengan jarinya.
“Dewa malam, dewa mimpi. Mulai hari ini dan malam ini, Vivian Chandra akan memandikan kamu dengan bunga-bunga. Pak kung, pak po. Ciung ki nyit, kin pu ja, Vivian Chandra loi kak nyi se fa sui. Dewa malam, dewa mimpi. Mulai hari ini dan malam ini, Vivian Chandra akan memandikanku dengan bunga-bunga. Pak kung, pak po. Ciung ki nyit, kin pu ja, Vivian Chanda loi kak ngai se fa sui.”
Mulut Dihyan berkomat-kamit. Tanpa sadar ia menirukan ching syin, alias mantra dalam bahasa Hakka itu dengan fasih. Bahkan ia juga memodifikasi mantra itu sesuai dengan keinginannya.
Yang terlintas di dalam pikiran Dihyan adalah bahwa ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. kata-kata mantra tersebut tak ubahnya hanyalah racauan tak bermakna. Tidak hanya mengikuti permainan pikirannya, dengan liar dan nekat, Dihyan tidak tanggung-tanggung mengeksekusi pikirannya tersebut.
Bayangan sosok Vivian Chandra yang masih menempel di otaknya diputar lagi dengan jelas.
Dihyan menantang pikirannya itu dengan sekalian saja memasukkan pikiran cabul, dimana anehnya, ia masih sangat-sangat ingat bagaimana rupa wajah dan bentuk tubuh si penjaga mini market itu dengan jernih.
Dihyan meletakkan keris Semar Mesem di atas wastafel. Kemudian, salah satu tangannya turun merayap ke alat kejantanannya.
Di seberang sana, Vivian sedang berbaring di dalam kamarnya setelah makan malam, di sebuah rumah yang digunakan sebagai ruko pula. Ia mendapatkan shift malam hari ini.
Ini adalah tahun kedua setelah ia lulus sekolah menengah atas. Ia tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan memutuskan untuk langsung bekerja saja. Gadis itu sejatinya memang tidak memiliki minat sama sekali untuk belajar dan duduk kembali di bangku pendidikan lanjutan, tetapi ia memiliki keinginan yang besar, mungkin sama seperti kebanyakan temannya, yaitu berkeliling dunia. Ia sudah menjadi saksi beberapa temannya, bahkan teman akrabnya, melancong ke luar negeri. Singapura, Malaysia, Australia, Hong Kong, Taiwan, atau Thailand dan Vietnam yang sedang naik daun. Saking penginnya ia ke luar negeri, mungkin ia tidak keberatan bila dikawini laki-laki Taiwan dan Beijing seperti dua orang sepupu perempuan jauhnya.
Ia lelah sebenarnya dengan kehidupannya yang begini-begini saja. Meskipun, jelas merupakan salahnya karena ia tidak menunjukkan barang sedikit usaha untuk menggapai mimpinya tersebut.
Vivian membuka kedua matanya. Ia tersentak. Jendela kamar dari kayu di lantai dua ruko orang tuanya itu belum tertutup. Mentari sudah tenggelam lama.
“Sial, sial! Jangan sampai aku terlambat lagi. Gaji nggak seberapa, masih pakai dipotong segala,” rutuknya. Ini repotnya kalau memiliki jam kerja dengan 3 shift seperti ini. Mau tidak mau, ia harus siap bekerja siang malam, tergantung shift, atau bergantian dengan temannya.
Ia melihat jam tangannya, masih tersisa kurang lebih 30 menit sebelum jam kerjanya dimulai. Seperti seekor kucing dilepas dari kandangnya, Vivian berlari ke dalam kamar mandi. Ia mandi secepat kilat. Secepat kilat pula ia mengenakan seragam kerja dan menyapukan make up tipis di wajahnya sebelum berlari turun. Ibu dan neneknya yang berteriak karena terkejut dengan gerakan Vivian di tengah malam tersebut tidak ia acuhkan. Kedua anggota keluarganya itu memang masih bekerja sampai menjelang tengah malam untuk mempersiapkan barang dagangan: warung makan, di esok harinya.
Vivian harus sampai di tempat sebelum pukul 23.00 alias 11 malam.
Motor matic-nya ia pacu secepat mungkin melewati jalan-jalan kecil nan bersilang-silang di tengah pusat kota Singkawang – penuh dengan ruko, toko, persimpangan, berkotak-kotak sedemikian rupa.
Pukul 11 malam kurang 2 menit ia sudah sampai di mini market yang beroperasi 24 jam tersebut. Vivian menarik nafas lega. Ia tidak terlambat kali ini.
Ia perlu menghela nafas sebentar. Ia dan beberapa rekan pegawai, termasuk pramuniaga, merchandiser dan asisten kepala toko akan bekerja sampai pukul 07.00 esok pagi hari.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next