Dewi Amalina telah menunggu lamaran kekasihnya hampir selama 4 tahun, namun saat keluarga Arman, sang kekasih, datang melamar, calon mertuanya malah memilih adik kandungnya, Dita Amalia, untuk dijadikan menantu.
Dita, ternyata diam-diam telah lama menyukai calon kakak iparnya, sehingga dengan senang hati menerima pinangan tanpa memperdulikan perasaan Dewi, kakak yang telah bekerja keras mengusahakan kehidupan yang layak untuknya.
Seorang pemuda yang telah dianggap saudara oleh kedua kakak beradik itu, merasa prihatin akan nasib Dewi, berniat untuk menikahi Kakak yang telah dikhianati oleh kekasih serta adiknya itu.
Apakah Dewi akan menerima Maulana, atau yang akrab dipanggil Alan menjadi suaminya?
***
Kisah hanyalah khayalan othor semata tidak ada kena mengena dengan kisah nyata. Selamat mengikuti,..like dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐, yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadar T'mora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Korban patah kaki
Alan melampiaskan kekesalannya pada Dewi sambil memikirkan cara bagaimana membalas kelancangan Arman. Berani sekali dia menyentuh istriku, geram hatinya.
Dewi kewalahan dengan keganasan cumbuan Alan, seolah sedang menghukum dirinya atas suatu kesalahan. Dewi tambah khawatir memikirkan kemungkinan bahwa Alan telah melihat apa yang dilakukan Arman padanya, apakah pria ini mengerti posisinya ataukan telah salah paham.
"Alan...,akh.." desah Dewi sangat ketakutan, dia menahan Alan sekuat tenaga. Tubuhnya bergetar bukan hanya karena terbakar gairah, tapi lebih kepada khawatir akan akibat yang akan terjadi apabila rahasia virginitasnya terkuak, manakala Alan memaksa dirinya untuk memberikan haknya malam ini.
Tak terasa airmatanya mengalir, menyesali kebodohan masa lalunya. Sekarang Dewi bahkan lebih menyesal telah menerima lamaran Alan, seharusnya dia membawa sampai mati aib ini dan hidup menyendiri. Bukankah ada bank sperma dengan identitas si pendonor yang tidak diketahui jika dia ingin punya keturunan. Percuma juga dibuahi secara langsung, buktinya dia dan Arman telah melakukannya bertahun-tahun tidak ada terjadi kehamilan. "Akh!"
Keluhan dewi terdengar oleh Alan. "Jangan khawatir," suara beratnya pas di daun telinga Dewi. Dengan geram dia menggigit lehernya dengan beberapa gigitan sehingga menimbulkan banyak tanda-tanda merah di kulitnya yang bening. "Aku akan menjaga batasan sampai kamu mempersilahkan nya sendiri."
Akhirnya Dewi bisa sedikit lega untuk membiarkan bibir serta jemari Alan merayap di setiap inchi tubuhnya. Pria itu memang menepati janjinya meninggalkan segitiga penutup area terlarang sampai dia kelelahan menjaga kehormatannya yang tidak lagi terhormat itu, Alan belum mau berhenti mengabsen tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
.
.
Pukul 03.00wib pagi, asisten rumah tangga yang bertugas membuat sarapan menjerit melihat tubuh Arman tergeletak di ruang makan. "Aakkkkh!"
Temannya yang sedang di kamar mandi sedang mencuci yang harus dicuci di tubuhnya, buru-buru keluar. "Ada apa kamu teriak pagi buta, Erna?" Dia khawatir telah terjadi sesuatu pada temannya itu.
"I...tu tu...tuan Arman! Dia belum mati, kan?" Juru masak bernama Erna itu terbata ketakutan, wajahnya pucat menunjuk ke tubuh yang tergeletak di lantai.
Temannya menutup mulutnya terkejut, matanya terbuka lebar, "Apa yang kamu lakukan padanya?" takutnya Erna latah memukul Arman dengan teflon keramik yang ada di tangannya.
"Aku tidak sebodoh itu sampai berani memukul majikan!" bentak Erna marah kok malah dirinya dijadikan tersangka.
Mereka adalah dua asisten dari Konoha bagian Timur, Dewi merekrut mereka karena pintar memasak papeda serta rasa ongol-ongol gula merahnya lumayan berkelas. Saking sukanya, Dewi bahkan membeli kedua resep masakan itu dan telah menjualnya di restoran Thamrin dengan omzet yang selalu bertambah. Mereka juga ahli masakan rumahan dari berbagai daerah, ngalahin chef restoran profesional. Ketika diberi pilihan apakah mau bekerja di hotel atau di rumah, mereka lebih memilih di rumah karena lebih santai katanya, ditambah mereka tidak pernah sekolah tata boga jadi gak punya kepercayaan diri.
"Lalu, bagaimana dia bisa mati di situ?" tanya Joice ekspresi menuduh melihat pada apa yang ada di tangan Erna.
"Mana aku tau! Aku buka lampu tiba-tiba ada mayat tergeletak, ya aku menjerit lah. Apa aku harus nyanyi, gitu?" jawab Erna ketus.
Joice menatapnya sangsi, soalnya penyakit latah anak ini cukup parah. Telah banyak menjatuhkan korban dari kalangan satpam yang suka muncul tiba-tiba di dapur, termasuklah Joice yang pernah benjol dipukul pake centong. "Lalu sekarang bagaimana?" tanyanya memilih percaya pada Erna kali ini.
"Kamu bangunkan Darti sana, cepat!" perintah Erna dengan menghentakkan kakinya atas keleletan Joice berpikir.
"Otewe." Joice langsung berlari ke kamar Sudarti di belakang.
Tidak lama mereka berdua telah sampai ke ruang makan. Darti masih terkejut ketika kamarnya digedor kencang setelah itu dia masih harus berlari, Kepala rumah tangga itu sesaat terperangah di tempat dia berdiri dengan nafas ngos-ngosan. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya jadi dia juga shock.
Dan sebagai kepala rumah tangga tidak seharusnya dia panik. Darti menarik nafas panjang, dengan ketenangan seorang kepala rumah tangga dia memeriksa tubuh Arman apakah masih bernafas atau sudah end. Posisinya benar-benar mencurigakan, orang hidup akan kesakitan jika berbaring diposisi seperti ini, dalam hatinya pesimis. "Tuan, tuan Arman! Kenapa tidur disini?" Darti membangunkan Arman dengan menggoyang pundaknya.
"Tuan, tuan Arman!" panggil Darti lagi.
"Akh." terdengar suara Arman mengerang.
Erna dan Joice bernafas lega, "Untunglah! Aku pikir telah terjadi pembunuhan," celetuk Joice.
"Jaga mulutmu, Joice!" Darti segera memarahinya.
"Maaf, kakak. Habisnya, posisi Tuan seperti kaki patah naik ke atas kepala." Joice gak takut pada Sudarti karena itu dia sedikit berani berargumen. Tapi jangan ada Yuni, dia akan seperti tikus yang berdiri paling jauh agar tidak terlihat si kucing betina lapar.
"Aku akan menghubungi satpam sebagai penanggung jawab keamanan," ujar Darti. "Sepertinya Tuan sangat menderita. Siapa yang melakukan ini padanya?" Dia menghubungi sekuriti sambil ngedumel.
.
Kepala satpam kediaman Thamrin yang kebetulan bertugas malam, akhirnya sampai dengan seorang bawahannya. Melihat Arman yang terbaring agak aneh itu dia memandang Darti, "Sudah dihubungi Dokter?" dia bertanya sambil berjongkok memeriksa Arman.
"Ya, ambulance akan segera datang," jawab Darti.
"Apakah Nona kedua telah diberitahu?" tanya Kepala Satpam lagi.
"Belum?" jawab Darti ekspresi memohon agar bapak satpam saja yang memberitahu nya.
Hm, Kepala satpam menarik nafas panjang. "Siapa yang pertama menemukannya?" tanyanya lagi.
Erna ketakutan dijadikan tersangka dia diam saja tapi Joice, mulutnya tidak bisa menahan lidahnya. "Itu dia," jawabnya sembari menunjukkan ke Erna.
Erna melotot padanya, "Kalau kamu tidak bersalah kenapa takut. Ada cctv, bisa dibuka untuk bisa melihat pelaku sebenarnya," jawab Joice cemberut.
Satpam mengerut kening, mereka memang telah menjadi korban kelatahan Erna tapi mematahkan kaki separah ini tidak pernah terjadi, hanya kepala sering benjol.
Semua asisten rumah tangga pun telah terjaga mendengar keributan, termasuk Eva. Melihat posisi Arman, dia bergidik ngeri kepikiran Dita. Tapi gak mungkin dia mencelakai suaminya sendiri, di rumah sendiri pula lagi.
Haih, kepala satpam berpikir bahwa dia sebagai laki-laki tidak pantas naik, "Bu Darti, silahkan anda ke lantai 3. Sangat tidak sopan jika saya yang pergi," ujarnya.
Darti juga segan jika berurusan dengan Dita, "Ada apa dengan Tuan Arman?" tiba-tiba Yuni bertanya kaget, hilang ngantuknya seketika.
Darti bernafas lega, "Nah, kebetulan kamu ada. Pergi beritahu Nona kedua cepat!" titah Darti memerintah Yuni.
"Tentu saja aku pergi, Darti! Tapi ada apa dengan Tuan saya harus mengatakan dengan jelas ke Nona kedua, kan!" ketus Yuni.
"Semua orang juga tidak tau, Yuni! Kamu bilang saja Tuan tergeletak di lantai gak bisa bangun." Darti juga meninggikan suaranya.