NovelToon NovelToon
Nura 1996

Nura 1996

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Spiritual / Ibu Pengganti / Anak Yatim Piatu / Mengubah Takdir / Keluarga
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Titik.tiga

menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 14

Tentu, berikut adalah tulisanmu yang sudah dirapihkan:

---

Beberapa jam berlalu dengan cepat. Penggalangan dana berjalan dengan lancar, banyak mahasiswa yang berkontribusi, semua antusias dengan kemampuannya, mulai dari uang hingga barang-barang yang bisa dikirimkan ke Sulawesi. Setiap kali aku melihat kotak donasi yang semakin penuh, hatiku semakin tenang, dan bebanku semakin ringan. Setidaknya, aku tahu bahwa bantuan ini akan sampai kepada mereka yang membutuhkan.

Sinar sore pun mewarnai langit di kala itu, aku dan teman-teman beristirahat sejenak. Maya duduk di sebelahku, membuka botol air minum kemudian berkata,

"Hari ini sukses besar, Ra! Lihat, banyak banget yang kita kumpulin. Aku yakin, dengan ini kita bisa bantu meringankan beban mereka di sana."

Aku pun tersenyum, menatap ke arah kotak donasi yang dipenuhi uang dengan berbagai macam pecahan.

"Iya, May. Aku senang bisa ikut terlibat. Seenggaknya, aku nggak ngerasa khawatir lagi."

Tak berselang lama, ponselku bergetar. Kulihat, sebuah pesan masuk dari ayahku.

"Sayang, Ayah sama Ibu udah sampai di lokasi pengungsian. Di sini cukup kacau, Ayah dan tim baru aja beres mendirikan beberapa tenda dan dapur darurat. Cukup banyak korban luka-luka. Sementara cuma itu dulu yang bisa Ayah sampaikan. Kamu jaga diri baik-baik, yah."

Membaca pesan dari ayahku, entah kenapa semangatku seakan kembali penuh, rasa lelah pun seakan hilang begitu saja. Meski terpisah oleh jarak, kami disatukan oleh satu tujuan yang sama: membantu semaksimal mungkin.

Aku pun membalas pesan tersebut dengan cepat.

"Syukurlah. Oh iya, Yah, di sini aku lagi penggalangan dana bareng teman-teman kampus. Nanti kalau sudah terkumpul semua, Nurra kabarin lagi buat pendistribusiannya. Ayah jaga diri baik-baik ya di sana, tetap utamakan keselamatan. Nurra sayang Ayah."

Setelah mengirim pesan tersebut, aku merasa semakin tenang dan lega. Ku melihat ke arah langit, terlihat jingga di ufuk barat.

Aku sadar, apa yang aku lakukan ini bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan Ayah dan Ibuku. Tapi, aku harap, apa yang aku lakukan sekarang ini bisa menjadi langkah awalku untuk meneruskan jejak kedua orangtuaku.

Hari itu mungkin salah satu hari yang panjang dan penuh rasa kekhawatiran. Di sini, aku pun belajar bahwa di setiap bencana yang terjadi pasti selalu ada cara untuk berbuat baik. Tak peduli seberapa jauh jaraknya, cinta dan kebaikan akan selalu menemukan jalannya sendiri untuk tetap tersampaikan kepada mereka yang membutuhkan.

Keesokan harinya, aku terbangun dengan rasa penuh semangat dan percaya diri. Aku pun segera bersiap untuk kembali ke kampus melanjutkan penggalangan dana dan kegiatan lainnya. Namun, di saat aku hendak berjalan ke arah kamar mandi, ponselku berdering. Kulihat ada sebuah pesan masuk dari *Pak Mardi*, itulah nama yang terlihat dari notifikasi di ponselku, salah satu koordinator Ayahku yang memimpin kepergian Ayah dan Ibuku ke Sulawesi.

Sedikit perasaan aneh dan waswas saat mendapatkan pesan darinya. Dengan perasaan itu, aku pun memberanikan diri membuka pesannya.

Pesan itu berbunyi,

"Selamat pagi, Nurra. Maaf, Bapak mesti menyampaikan ini. Saat evakuasi semalam, ibumu tertimpa reruntuhan bangunan saat melakukan evakuasi. Cuaca buruk membuat kami kesulitan untuk mencari keberadaannya. Sampai sekarang, kami masih belum bisa menemukan ibumu. Kami semua masih berusaha untuk mencari keberadaannya, mohon doanya. Bila ada perkembangan, Bapak akan langsung mengabari mu. Semoga ibumu bisa segera ditemukan."

Dunia ku terasa berhenti. Ponsel yang ku genggam nyaris jatuh.

"Ibu... nggak mungkin... Enggak, enggak... mana mungkin Ibu bisa tertimpa reruntuhan... ini nggak mungkin... Ibuuu..."

Pikiranku langsung dipenuhi rasa kekhawatiran yang tak terkendali. Dadaku terasa begitu sesak, dan nafasku seakan tertahan. Ku coba menenangkan diriku, tapi air mata ini tak bisa dibohongi. Ku coba menahannya, tapi semakin ku tahan, air mata ini semakin menumpuk dan menggenang di mataku.

Perasaanku hancur, takut, dan tak berdaya. Kedua kakiku seketika tak mampu menopang berat tubuhku, yang membuatku ambruk.

"Ibu...

Ya Allah, Ibu baik-baik saja, kan? Ibu pasti selamat, kan? Ibu nggak akan mati, kan? Ibuuu..."

---

Semoga hasil ini sesuai dengan yang kamu harapkan! Jika ada yang ingin ditambahkan atau diubah, beri tahu saja.

Berikut adalah versi yang lebih rapi dari tulisanmu:

---

Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tanganku terus gemetar, ingin rasanya aku menelepon ayahku, tetapi entah kenapa, tanganku tak sanggup bergerak. Ku paksa diriku untuk menelepon ayahku, namun tak ada respon. Kucoba menelponnya kembali, tetapi hasilnya tetap sama—tak ada jawaban.

Ingin rasanya aku menjerit, tapi suaraku seakan tertahan di kerongkongan. Seolah ada dinding besar yang menjulang tinggi, memisahkanku dari ibuku yang jauh di sana.

Aku duduk di lantai kamarku, mataku tertuju ke luar jendela, membayangkan ibuku yang tersenyum penuh energi. Senyuman itu malah membuatku semakin sakit dan takut akan kehilangan sosoknya.

Tak lama kemudian, suara ketukan pelan di pintu kamarku membuatku tersentak. Ternyata, itu Maya. Aku tak sadar bila sedari tadi Maya menungguku.

"Maya: 'Ra, udah siap? Mau jalan se...?'"

Maya terhenti begitu melihat wajahku yang pucat dan dipenuhi air mata yang mengalir membasahi kedua pipiku.

"Maya: 'Astagfirullah Ra, kamu kenapa?'"

Aku tak bisa menjawab; aku hanya bisa memberikan ponselku padanya dan memperlihatkan pesan yang kuterima dari Pak Mardi. Mata Maya seketika terbelalak membaca pesannya.

"Maya: 'Yaa Allah, Ra, ibumu...'"

Maya langsung memelukku erat, berusaha memberi dukungan meski tahu bahwa kata-kata tak akan cukup.

"Maya: 'Aku nggak tahu mesti berbuat apa. Ini pasti berat banget buatmu. Kita cuma bisa berdoa, Ra...'"

Aku hanya bisa menangis di pelukannya, tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Aku menjadi versi terlemahku saat itu. Dunia yang terasa tenang kemarin kini berantakan. Pikiranku yang terus memikirkan ibuku yang masih tertimbun reruntuhan membuatku semakin tak berdaya. Ketidakpastian tentang nasib ibuku membuatku tak lagi semangat untuk melanjutkan hidup.

Kucoba menguatkan diriku. Dengan suara serak, aku berkata kepada Maya, "May, aku harus ke sana. Aku harus cari ibuku. Ayahku pasti butuh aku juga. Aku nggak mau cuma diam doang. Aku nggak mungkin sanggup menerima kenyataan pahit tentang ibuku."

Ucapku sembari meremas kedua lengannya Maya.

Maya menatapku lalu mengangguk perlahan. "Aku mengerti perasaan kamu. Aku akan berusaha bantu kamu sebisa mungkin. Kamu tenang ya. Kita cari cara supaya kamu bisa pergi ke sana secepatnya."

Dengan bantuan Maya, aku mulai mencari tiket dengan jadwal penerbangan tercepat. Ada sedikit rasa ragu dalam hati, tetapi hasratku untuk menemui ayah dan ibuku membuatku tidak memiliki pilihan lain selain berangkat menyusulnya.

Waktu berjalan begitu lambat. Di setiap detiknya, aku hanya bisa pasrah dan terus berdoa agar ibuku segera ditemukan dalam keadaan selamat. Kadang, ketidakpastian yang menyelimutiku membuatku semakin khawatir.

Sambil mempersiapkan segala sesuatunya, pikiranku tak lepas dari bayangan ibuku yang selalu menjadi sosok paling kuat dan penuh kasih. "Yaa Allah, tolong selamatkan ibuku. Aku mohon..." gumamku dalam hati, berharap ada keajaiban di tengah tragedi ini.

Setelah beberapa jam yang terasa seperti seabad, akhirnya aku berhasil mendapatkan tiket penerbangan ke Sulawesi. Dengan penuh kecemasan, aku bergegas mempersiapkan diriku pergi ke bandara sesuai dengan tiket pesananku.

Dengan keyakinan, aku memberanikan diri untuk pergi. Doa dan rasa penuh harap menemani setiap langkahku dari rumah hingga tiba di bandara. Saat di pesawat pun, aku tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan ibuku.

Pikiranku kembali diselimuti rasa takut bila ibuku tak bisa ditemukan. Ku coba tenangkan diriku, walau kenyataannya sangat sulit.

Singkat cerita, tibalah aku di Sulawesi. Berbekal informasi dari teman-teman kampus, aku segera pergi ke lokasi bencana. Di sana, aku langsung mencari Pak Mardi atau orang-orang yang mengenal Pak Mardi atau ayahku.

Terlihat dari kejauhan, sekelompok orang berkumpul mengenakan rompi yang selalu kulihat di ruang rahasia ibuku. Tanpa berpikir panjang, aku segera mendekati mereka.

Baru beberapa langkah aku berjalan, salah seorang dari mereka berteriak memanggil namaku. "Nurraaa!!!" Suara lantang disertai lambaian tangan. Aku segera mendekati mereka. Ternyata itu Pak Mardi dan regu penyelamat lainnya.

Dengan penuh kepanikan, Pak Mardi melontarkan banyak sekali pertanyaan, tetapi aku tak meresponsnya. Kulihat di sekeliling mereka, tidak ada ayahku. Aku langsung bertanya dan meminta untuk dipertemukan dengan ayahku. Dengan penuh kebingungan, Pak Mardi membawaku ke lokasi ayahku.

Sesampainya di lokasi ayahku, aku melihat ayahku bersama rekannya sedang membereskan puing-puing reruntuhan.

"Ayahhh!!!" teriakku memanggilnya.

Ayahku menengok ke arahku. Tanpa memperdulikan sekitar, aku pun berlari ke arah ayahku dan langsung memeluknya.

"Ayah: 'Sayang, kenapa kamu ke sini? Siapa yang nyuruh kamu ke sini? Kuliahmu gimana?'" tanya ayahku sembari mengelus rambutku.

Aku tak menjawabnya, hanya tangis yang keluar mewakili perasaanku.

"Ayah: 'Loh, kok nangis? Kenapa, sayang?'" tanya ayahku lagi.

"Ibu, gimana kondisi ibu, Yah?" tanyaku menatapnya.

"Ayah: 'Ibu? Emangnya ada apa dengan ibu? Ibu baik-baik saja kok. Sekarang lagi di camp dapur darurat menyiapkan makanan...'" ucap ayahku dengan tenang.

Mendengar ucapan ayahku, sontak aku marah. "Bohong! Ayah bohong! Ibu tertimbun reruntuhan, kan? Pak Mardi sudah ngasih tahu semuanya! Ayah kenapa nggak jagain ibu? Ayah jahat! Ayah jahat! Nura kan sudah bilang buat jagain ibu! Kenapa ayah biarin ibu? Jahaaat! Ibuuuuuuuu..."

Aku tak dapat mengendalikan diriku. Tangisku semakin menjadi, kedua tanganku terus memukul dada ayahku.

Ayahku hanya diam. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

Beberapa saat kemudian, ayahku berkata, “Maafkan ayah. Ayah tidak bisa menepati janji ayah padamu. Ayah gagal…” ucapnya dengan penuh penyesalan.

Suasana pun berubah menjadi hening, semua tertunduk menyesali kegagalan dalam menjaga rekan-rekannya. Terlebih lagi Pak Mardi, yang begitu terpukul karena merasa gagal sebagai pemimpin.

Karena energiku yang terlalu banyak dikeluarkan, aku pun pingsan. Ketika sadar, aku melihat sekelilingku; tak ada regu ayahku. Yang kulihat hanyalah para korban. Dengan susah payah, aku berusaha keluar dari camp meskipun tubuhku masih lemas.

Kulihat hari mulai gelap. Dengan penerangan dari senter yang kutemukan, aku berusaha kembali menemui ayahku.

Dari kejauhan, aku melihat ayahku bersama regu penyelamat lainnya sedang berusaha memindahkan puing-puing reruntuhan. Aku mencoba berjalan perlahan, berharap bisa lebih dekat dengan ayahku.

Namun, langkahku terhenti oleh tangan Pak Mardi. Ia menatapku dan berkata, “Cukup sampai di sini saja. Bapak takut ayahmu tidak bisa fokus dan berpikir jernih. Bapak mohon, percayakan semuanya padaku. Bapak juga terpukul dengan kejadian ini,” ucapnya sambil menundukkan kepala.

Aku menghentikan langkahku. Meski berat, mungkin apa yang ia katakan ada benarnya.

Waktu terus berlalu, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan ibuku. Rintik hujan perlahan mulai turun. Beberapa orang dari tim ayahku mulai meninggalkan lokasi. Saat ayahku melihat ke arahku, salah seorang teman ayahku mendengar sesuatu.

“Baaaar, kemari!!!” teriak salah seorang temannya dari sisi lain. Ayahku segera menghampirinya.

“Ada suara bayi,” ucapnya. Ayahku mencoba memastikan suara tersebut dan mencari sumbernya. Dengan hati-hati, ayah dan temannya mulai mengangkat puing-puing reruntuhan yang menutupi area tersebut. Ayahku melakukannya dengan penuh ketelitian. Suara tangisan itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Ayahku pun berteriak, “Ketemu!!!”

Teman ayahku kemudian mendekat dan berteriak kepada rekan-rekannya yang lain, “Wooooooyyyy, semua orang, tolong bantu!”

Mendengar teriakan temannya, rekan-rekan yang lain berlari ke arah ayahku. Semua mata tertuju pada mereka. Dengan penuh kecemasan, aku terus memperhatikan setiap pergerakan mereka.

Setelah menanti beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mereka berhasil mengeluarkan seorang bayi yang diperkirakan berusia satu tahun. Wajahnya dipenuhi debu.

Seketika semua bersorak melihat aksi penyelamatan itu, kecuali aku. Aku masih terdiam, berharap yang diselamatkan adalah ibuku.

Beberapa detik kemudian, teman ayahku kembali berteriak, matanya tertuju pada tumpukan reruntuhan tak jauh dari lokasi bayi tersebut ditemukan.

“Ada lagi!!!!!” teriaknya.

“Baaaar, mak aul, ketemu…” ucapnya lagi memanggil ayahku. Seketika ayahku pun kembali. Suasana pun kembali tegang. Ayahku mulai menyingkirkan puing-puing di sekelilingnya, meskipun sedikit kesulitan saat mengangkat puing-puing yang tersangkut di antara bebatuan. Temannya mencoba menenangkan. Setelah perjuangan yang cukup menegangkan, akhirnya ayahku berhasil menarik ibuku keluar dari reruntuhan. Seluruh tubuhnya dipenuhi tanah dan debu yang sudah basah.

Mendengar ibuku berhasil diselamatkan, aku langsung berlari ke arah ayahku. Namun, sekali lagi, aku dihalangi oleh tim yang lain dengan alasan keselamatan.

Kulihat, ayahku menggendong ibuku dan meletakkannya di tandu dengan hati-hati. Ia memasangkan oksigen dan membawa ibuku menuju camp perawatan darurat.

Hujan pun turun dengan lebat, membasahi kami semua. Seakan alam turut terharu dengan proses penyelamatan malam itu.

Keesokan paginya, aku mendapat kabar bahwa kondisi ibuku semakin membaik. Mendengar kabar itu, aku berlari menemui ibuku.

Aku menangis sejadi-jadinya saat melihat ibuku berdiri dengan perban mengelilingi kepalanya. “Ibu…!!!!” teriakku memanggil namanya, lalu berlari menghampirinya dan langsung memeluknya.

“Sayang, kok kamu di sini? Gimana ceritanya…” ucap ibuku dengan ramah.

“Gak penting, Bu. Nurra khawatir! Ibu nekad. Iiiih, kesel! Bikin Nurra jantungan aja! Aaaaaaahhh…” rengekku sambil menangis dalam pelukannya.

Ibuku kemudian mengajakku keluar meninggalkan camp. Di luar, semua orang sudah menunggu ibuku, termasuk ayahku.

Ibuku berjalan menemui Pak Mardi dan berkata, “Maafkan atas kecerobohan saya, Pak.”

“Lupakan saja, semua pasti akan mengambil keputusan yang sama jika dihadapkan pada posisi seperti itu,” ucap Pak Mardi sambil menepuk pundak ibuku.

Ibuku kemudian berjalan menemui ayahku. Sambil tersenyum, ibuku berkata, “Hehee, lagi-lagi aku ceroboh. Banyak juga ya nyawaku…” ucap ibuku sambil menggaruk kepalanya.

Ayahku kemudian menggelap bagian kepala yang terlilit perban dan berkata, “Dasar tolol! Gara-gara ulahmu, lihat, anakmu jadi bolos kuliah…” Kemudian ayahku memeluk ibuku.

Momen haru pun tak bisa dihindarkan lagi.

Hari itu, di tengah bencana yang memporak-porandakan banyak kehidupan, aku menyaksikan sebuah keajaiban. Tangisan seorang bayi di malam itu ternyata menjadi penyelamat, bukan hanya untuk sang bayi, tetapi juga untuk ibuku yang berusaha melindunginya hingga mempertaruhkan nyawanya.

1
Eriez Pit Harnanik
trus rani sama aji nya kmn thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!