Kesalah pahaman dua sahabat lama membuat putri salah satu di antara mereka harus menanggung derita. Ratia, putri dari keluarga Atmojo yang trus di kejar dan harus di habisi oleh keluarga Baskoro.
Ratia kecil terpaksa di sembunyikan di sebuah negara, di mana hanya kakeknya saja yang tau. Bertahun-tahun di cari, keberadaan Ratia tercium. Namun dengan cepat kakeknya menikahkan Ratia pada keluarga yang kaya dan berkuasa. Ternyata hal itu membuat Ratia semakin menderita, Aksara memiliki banyak wanita di hidupnya. Perlakuan tidak menyenangkan trus Ratia dapatkan dari suaminya itu. Dengan kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Ratia dia berhasil meluluhkan hati sang suami, namun Ratia terlanjur membenci suaminya Aksara. Rasa benci Ratia pada sang suami dan keluarganya membuat dia ingin mengakhiri hidup. Namun dengan segala cara Aksara mencegah hal itu, dan membuat Ratia luluh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rickaarsakha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Pelarian
Sementara itu di sisi lain, Ratia yang merasa di permainkan memilih untuk menenangkan diri. Merasa kecewa atas sikap baik sang suami terhadapnya akhir-akhir ini, membuat hatinya perlahan terbuka. Namun setelah ia membuka hati, Aksara malah melakukan hal yang menyakitkan.
Kecewa yang berkecamuk, membuat Ratia nekat untuk pergi. Meski ia tau, para pengawal keluarga Suseno pasti akan menemukannya. Menenangkan diri untuk beberapa saat, selagi sang suami masih berada di luar negri.
Bertahun-tahun hidup dan besar di luar negri, membuat Ratia tidak mengenal siapa pun di kota ini. Yang terpikir olehnya hanya kakek dan nenek dari pihak ibu. Meski ia sudah belasan tahun tidak pernah lagi berkunjung ke sana, namun Ratia masih ingat alamat lengkap yang akan segera ia tuju.
Meski bingung dan bimbang, pada akhirnya Ratia berhasil mencari tumpangan untuk segera beranjak pergi. Selama perjalan Ratia terus memandang kaca, melihat segala yang ia lewati. Ada kepedihan yang kian menyusup ke hatinya, bagaimana orang-orang yang ia lewati bisa tertawa dan melakukan aktifitas dengan bebas. Sedangkan dia, selalu dalam kungkungan keluarga.
Perjalanan yang ia tempuh cukup lama, hingga membuatnya baru tiba malam hari. Ratia terus mencoba untuk mengingat, di mana posisi rumah sang kakek.
Di sebuah persimpangan ia mencoba melangkah, ada keraguan di sana. Dia sudah sangat asing di daerah ini, dan di tambah hari sudah gelap. Kecemasan pun terlihat jelas di wajahnya.
Di tengah Ratia yang kebingungan, seorang laki-laki paruh baya menghampirinya.
"Mau kemana Nak, ini sudah malam?" tanya laki-laki itu, raut wajah heran pun begitu ketara di wajahnya. Bagaimana mungkin, seorang gadis berkeliaran malam-malam seperti ini.
"Maaf Pak, saya mau ke rumah kakek Suharjo. Apa bapak tau gang yang mana, saya sedikit lupa." Ratia menjawab cepat, sejak tadi mencari tempat bertanya.
"Oh pak Harjo, di sana rumah warna putih yang paling ujung." ucap laki-laki itu seraya menunjuk gang yang harus di lewati. "Ayo sekalian Bapak antar saja ya, bahaya sendirian malam-malam begini."
Tanpa pikir panjang, Ratia menerima tawaran laki-laki itu. Tidak ada pilihan. "Oh ya, kamu sebenarnya siapanya pak Harjo?"
"Saya cucunya, Pak." Dahi laki-laki itu pun mengernyit, sebagai tetangga yang cukup lama, ia belum pernah melihat sosok Ratia berkunjung ke sini.
"Cucu? seingat saya cucu Pak Harjo yang perempuan sudah menikah dan saya pun kenal."
"Iya, itu anaknya Pak de Cipto Pak. Saya anaknya ibu Dewi." Mendengar nama Dewi di sebut, laki-laki itu semakin bingung. Bagaimana mungkin, suami Dewi sangat kaya, tapi kenapa anaknya di biarkan pergi sendiri malam-malam begini.
"Apa ada masalah Nak, sehingga kamu pergi ke sini sendirian?" Ratia hanya sedikit tersenyum lalu menunduk, menandakan apa yang di menjadi pertanyaan barusan tidak mampu untuk ia jawab. Orang kaya memang selalu ada masalah, begitu pikir laki-laki itu.
Cukup lama mereka berjalan, dan akhirnya tiba di sebuah rumah yang terlihat sepi.
"Ini rumah pak Harjo," ucapnya sembari berusaha membuka kunci pagar, yang memang bisa di buka dari luar.
"Pak, nanti sekiranya ada yang bertanya tentang saya, saya mintak tolong bapak jangan bilang-bilang ya kalau saya di sini," Ratia memasang wajah melas, kesedihan dan lelah begitu terlihat di wajahnya. Meski sebuah masker menutup wajahnya sejak tadi.
Laki-laki itu tidak menjawab, namun dia menatap Ratia beberapa saat dan hanya menganggukan kepala saja. Entah apa yang ada di pikirannya.
Tidak meninggalkan Ratia begitu saja, ia bahkan mengetukkan pintu.
"Pak Harjo," ia mulai memanggil dengan cukup keras. Karena mungkin memang sudah jam untuk tidur, sehingga belum ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu dari dalam sana.
"Apa tidak di coba di telpon dulu Nak, takutnya pak Harjo sudah tidur."
"Hmz saya gak bawa Hp pak, saya tunggu di luar saja siapa tau nanti Kakek bangun." Ucap Ratia terus memandang pintu. Mendengar ucapan Ratia, laki-laki itu menyimpulkan bahwa memang ada hal besar yang telah terjadi. Bagaimana mungkin, seseorang pergi cukup jauh tidak membawa Hp. Dia pun kembali menggedor pintu dan mencoba memanggil lebih keras.
Akhirnya, terdengar sautan dari dalam sana. Langkah kaki yang mendekat, membuat gurat keputus asaan di wajah Ratia memudar.
"Siapa?"
"Ada cucu Mu pak Harjo!" mendengar ucapan itu, langkah kaki dari dalam terdengar mempercepat langkah. Tak berapa lama pintu pun terbuka.
"Ratia?" teriak Harjo, dengan cepat ia menarik tangan sang cucu untuk segera masuk. Menutup pintu secepat mungkin. "Pak Amin ketemu cucu saya di mana?" tanyanya pada laki-laki yang mengantar Ratia.
"Saya ketemu di depan gang tadi Pak, sepertinya dia sedang ada masalah." Helaan nafas berat Harjo mulai terdengar.
"Ratia, apa kamu sendirian ke sini?" Ratia hanya menganguk.
"Pak Harjo sebaiknya saya langsung pulang saja." merasa memang ada yang tidak beres, laki-laki itu pamit pulang.
Setelah mengantar ke depan dan mengucapkan terima kasih, Kakek Harjo kembali masuk dan langsung membangunkan sang istri.
Dengan Histeris sang Nenek bangun dan terus memeluk cucunya.
"Sayang, cepat bersihkan diri lalu makan." mengerti jika Ratia cukup lelah, mereka pun tidak langsung bertanya ada hal apa yang terjadi.
"Nek jangan bilang sama ayah kalau aku di sini."
"Iya, nenek mengerti ayo kita makan."
Melihat sang cucu yang nampak lemah, hati Suharjo semakin perih. Benar dugaannya, pernikahan sang cucu hanya akan membuatnya semakin menderita.
"Hallo Cipto," pada akhirnya ia memutuskan memberi tahu Cipto, anak pertamanya.
"Ada apa Yah, kenapa menelpon malam-malam begini? Apa ayah dan ibu sehat?" nada kekhawatiran begitu terdengar jelas di sebrang sana, jika tidak dalam kondisi yang darurat tidak mungkin sang ayah menelpon di jam seperti ini, pikir Cipto.
"Ratia ada di sini, dan sendirian."
"Apa? apa yang terkadi Yah? Apa dia baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja, tidak ada yang terluka. Tapi, nampaknya ada suatu masalah yang terjadi. Ayah belum berani menanyakannya, dia masih nampak sangat lelah Cipto. Ayah yakin Hanggoro ataupun keluarga suaminya pasti akan mencari, jangan beri tahu jika Ratia ada di sini."
"Apa aku perlu ke sana Yah?" khawatir juga jika ia ke sana dan membuat Hanggoro curiga Ratia di sana.
"Tidak, ayah akan membawanya besok ke rumah mu, Ayah yakin mereka pasti akan mencari Ratia ke sini." tidak mungkin pikirnya jika, mereka akan melewatkan rumahnya untuk mencari Ratia.
"Ayah dan ibu tetap di rumah, Andre yang akan menjemputnya besok. Bukan tidak mungkin besok mereka akan ke sana." lebih baik putranya saja yang menjemput pikir Cipto, agar sang ayah tetap berada di rumah.
Setelah menelpon Cipto, Suharjo kembali menemui sang cucu. Melihat Ratia yang memaksa dirinya sendiri untuk makan. Terus menuangkan Air ke mulutnya, agar makanan yang ia masukkan terdorong.
"Kek, hari ini aku mau menginap di sini. Mungkin lusa aku akan pulang?"
"Tidak perlu buru-buru, tenangkan diri mu untuk beberapa hari." sang nenek yang sejak tadi menahan tangis berusaha menahan lajunya air mata, mencoba mengalihkannya dengan bicara.
"Besok pasti mereka akan ke sini, dan aku akan di paksa pulang."
"Tidak, besok Andre akan menjemput, menginap saja di rumah pak de Mu dulu untuk beberapa hari." Ratia tidak menolak, ingin rasanya pergi sejenak dari hadapan keluarganya ataupun keluarga sang suami.
Sementara di sebrang jalan, sebuah mobil hitam nampak mengamati rumah Suharjo sejak beberapa saat yang lalu.
double up