Setelah terbangun dari mimpi buruk di mana ia dibunuh oleh pria yang diam-diam ia kagumi, Ellison, Queen merasa dunianya berubah selamanya.
Sejak hari itu, Queen memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Ellison. Dia berhenti mengejar cintanya, bahkan saat Ellison dikelilingi oleh gadis-gadis lain. Setiap kali bertemu Queen akan menghindar- rasa takutnya pada Ellison yang dingin dan kejam masih segar dalam ingatan.
Namun, segalanya berubah saat ketika keluarganya memaksa mereka. Kini, Queen harus menghadapi ketakutannya, hidup dalam bayang-bayang pria yang pernah menghancurkannya dalam mimpinya.
Bisakah Queen menemukan keberanian untuk melawan takdirnya? Mampukah dia membatalkan pertunangan ini atau takdir memiliki rencana lain untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Ellison merasakan rahangnya mengencang, giginya beradu dengan suara pelan ketika mendengar nama yang membuatnya salah paham terhadap gadisnya.
"Suruh masuk," ucapnya dengan nada datar.
Hawa dingin merebak di antara sahabat-sahabatnya, menangkap ketegangan dalam suaranya. Gio meneguk ludah, terasa berat.
Gadis tersebut mengangguk, lalu perlahan melangkah keluar, diikuti oleh Sean yang berjalan di belakangnya.
"Gue bertugas dulu sebagai ketua keamanan," ujarnya seraya mereka mengangguk lemah.
Di pintu, Sean berpapasan dengan Rhea, matanya menyipit tajam padanya. "Lo udah bangunin singa ganas, hati-hati di dalam. Mudah-mudahan lo selamat," sindir Sean dengan nada mencibir, sebelum dia berlalu, meninggalkan Rhea yang bergemetar karena takut.
Memasuki ruangan, Rhea tak berani menatap mata elang Ellison yang tajam. Ia menunduk, ketakutan menyelimuti dirinya.
"Setelah apa yang terjadi, Lo masih berani temui gue?" tanya Ellison dengan suara datar, berusaha keras mengendalikan emosi yang bergolak.
Setiap kata yang meluncur dari bibir Ellison membuat Rhea semakin menggigil. "Maaf," bisiknya lembut, hampir tak terdengar.
Mata Gio menatap tajam ke arah Rhea, sinar matanya mencerminkan kemarahan yang mendalam. "Lo seharusnya bersyukur, karena boss belum sebarin rahasia lo. Kalau anak-anak tahu, lo nggak akan bisa hidup tenang," katanya dengan suara dingin yang menusuk.
Rhea merasa sudut bibirnya menegang, matanya memerah menahan amarah dan rasa tidak percaya.
"Gue gak tahu! Gue pikir dia yang jebak gue, karena cuma dia yang kenal gue di sana!" serunya, mencoba membela diri.
Ellison, yang berdiri di samping Gio, tampak tidak mampu menahan emosi. Wajahnya memerah, matanya sembab, dan nada suaranya meninggi.
"Masih berani bela diri? Kalau lo gak dekat lubang buaya, lo gak akan jatuh ke sana, sialan!" cecarnya, sarat kekecewaan.
Ellison mengambil napas dalam-dalam, lalu dengan suara yang tegas dan tidak terbantahkan, berkata, "Sebaiknya lo pergi keluar negeri, gue gak bisa nahan diri tuk bunuh lo,"
Ellison melanjutkan dengan tatapan yang semakin menusuk. "Gue bisa saja bunuh lo, gue gak peduli kalo lo itu adik dari sahabat gue," ucapnya dengan dingin.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Gio menambahkan, "Lo udah kelewatan batas dengan kita. Lo pikir dengan pacaran sama Lison lo istimewa bagi kita? Tidak! Lo hanya pacar pura-pura karena taruhan dari teman lo. Karena Lison hargai persahabatannya dengan kakak lo, dia terima kesepakatan gila lo itu."
Rhea terisak pelan, matanya berair sambil bergumam lembut, "Maaf."
Di depannya, Ellison menghela nafas dalam, dadanya naik turun menahan amarah yang meluap.
Dengan tegas, dia berkata, "Lima menit lo masih berkeliaran di sekolah ini, gue pastiin lo cacat." Ucapannya itu seakan menancapkan pedang dingin ke hati Rhea.
Kemudian dengan gerakan tegas, Ellison bangkit, melangkah keluar dengan langkah besar.
Rhea masih termenung. "Segitu bencinya lo sama gue, apa sih pentingnya gadis itu buat dia?" gumamnya dalam hati, penuh kebingungan.
Sementara itu, jika Gio berada di situ dan mendengar kata-kata Rhea, pasti ia akan menanggapi dengan nada sinis. Gio memang terkenal akan lidahnya yang pedas.
***
Saat jam istirahat, sementara kebanyakan murid berkumpul bersama teman-teman mereka, Ellison malah berada di depan kelas 2G.
Setelah menerima telepon dari Renata yang mengabarkan bahwa Queen demam semalam, Ellison langsung berinisiatif untuk mengecek keadaannya.
Dengan perlengkapan demam di tangannya, dia melangkah ke dalam kelas. Kesunyian menelan ruang kelas saat para siswa yang masih bertahan di dalam terdiam, terkejut melihat Ellison yang biasanya tidak pernah muncul di jam istirahat di kelas mereka.
Mata Ellison langsung tertuju pada satu sosok; Queen yang terlelap, menelungkup dengan kedua tangan menyilang di bawah kepalanya.
Ellison hanya bisa menatap, perasaan khawatir bercampur dengan kelegaan mendominasi pikirannya. Dia berdiri di depan pintu kelas.
"Keluar!"suara seraknya mendadak menggema di ruangan hening.
Siswa-siswi yang semula bingung, kini menyadari perintah itu ditujukan kepada mereka. Mereka bergegas keluar, menerobos pintu kelas yang sempit.
Nathan yang awalnya tercekat di kerumunan, menerobos ke depan, mendekati Ellison. "Kayaknya dia demam deh, nafasnya enggak beraturan," ucapnya, suara paniknya nyaris bisik.
"Lo beli makanan buat dia, biar gue yang urus."
Nathan mengangguk cepat, lalu melangkah gontai meninggalkan kelas.
Ellison mengambil alih, mendekati Queen yang masih duduk lemas. Ia duduk perlahan di samping gadis itu, tangannya mengangkat rambut yang menutupi wajah gadis itu.
Dengan lembut, ia membelai kening Queen yang terasa panas.
"Kalau masih sakit kenapa sekolah, hm?" gumam Ellison. Dia menyisir rambut gadis itu ke belakang telinga.
Ellison terus memperhatikan wajah pujaan hatinya yang tertidur itu, penuh kekhawatiran dan kasih.
Saat melihat luka cakaran di wajah Queen, rasa penyesalan kembali menghujam hati pemuda itu.
Dia bertanya sambil lembut mengelus pipi Queen,"Sakit banget ya?" Hatinya begitu teriris menyaksikan gadisnya terluka.
Dengan hati-hati, Ellison meraih KOOLFEVER ° dari kantong yang dia bawa dan menempelkannya di dahi Queen dengan perlahan, berusaha tidak mengganggu tidur gadis itu.
Mata Ellison tak bergeming dari wajah gadis itu, seakan tak ingin melepaskan setiap kontur wajahnya dari pandangan.
"Tunggu sebentar lagi, jangan sakit," bisiknya lembut.
Sebelum meninggalkan kelas, Ellison mencium kening Queen, lirih menyemangati, "Cepat sembuh, Uin."
Belum sempat keluar dia melihat mata Queen perlahan terbuka, mungkin bibir hangatnya membuat gadisnya terusik dari tidurnya.
Seketika Queen membola mata mengerjap lucu saat mendapati Ellison di sampingnya. Dengan gerakan cepat, gadis itu beranjak dari sana sebelum Ellison berbuat sesuatu kepadanya.
Namun, Ellison mencekal tangan Queen hingga terjatuh di pangkuannya. Queen terkejut berusaha bangkit, namun lagi-lagi tenaganya tidak sebanding dengan Ellison.
"Kak, jangan kayak gini. Ini sekolah loh," cicit Queen pucat menelusuri ke kelasnya yang ternyata kosong. Dia menghela nafas lega. Semua itu tidak luput dari penglihatan Ellison yang tersenyum tipis.
"ayo bersandar! "
Queen mengedipkan matanya beberapa kali mencerna perkataan Ellison,"hah!? "
Ellison berdecak mendorong belakang kepala Queen bersandar ke ceruk lehernya, dia dapat merasakan deru nafas Queen yang begitu panas.
"Begini sebentar!" bisiknya.
Tubuh Queen menegang meremas kuat belakang baju Ellison, dia duduk kaku di pangkuan Ellison, hal yang tidak pernah dia lakukan.
"Rileks!" bisik Ellison lagi sambil mengusap lembut punggung dan belakang kepala Queen.
"aku berat kak," cicit Queen.
"Siapa bilang, lo punya tubuh seperti kapas," elak Ellison.
Queen tidak mengelak, tubuhnya emang sangat ringan. Dia mulai menikmati pelukan hangat Ellison sambil memejamkan matanya.
"kak, makasih! "
seru cerita nya🙏
GK jd mewek UIN🤭
ko ada aja yg GK suka