menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Ketika pintu ruang ICU terbuka, aku seperti memasuki dunia yang berbeda. Suara mesin-mesin medis yang berdering pelan, aroma antiseptik yang menusuk, dan cahaya lampu yang dingin membuat suasana semakin menyesakkan. Di tengah ruangan itu, aku melihat ayahku terbaring di atas ranjang dengan tubuh penuh perban dan selang-selang yang menempel di sekujur tubuhnya.
Sekujur tubuhku langsung gemetar hebat. Aku tidak siap untuk melihat ayahku dalam kondisi seperti ini. Wajah ayahku yang dulu selalu ceria dan kuat kini tampak begitu lemah dan tak berdaya, penuh luka lebam dan jahitan. Dadanya naik turun perlahan, terbantu oleh alat bantu pernapasan yang mengeluarkan suara mendesing pelan, menjadikan duniaku seolah runtuh. Rasa takut yang selama ini kupendam tiba-tiba pecah menjadi jeritan yang keluar tanpa bisa kutahan.
“Ayahhh!!!” teriakku histeris, suaraku memecah keheningan ruang ICU. Air mataku mengalir deras tanpa henti, jatuh satu per satu ke lantai.
“Ayah, bangun! Tolong bangun! Jangan tinggalkan aku…”
Jeritanku bergema di seluruh ruangan, menarik perhatian para dokter dan perawat yang segera berusaha menenangkanku. Namun, aku tidak bisa mengendalikan diriku. Tubuhku bergetar hebat, napasku tersengal, dan air mataku tak mau berhenti mengalir.
“Ayah... kenapa? Kenapa harus begini?”
Kondisi ayahku begitu mengenaskan, membuatku merasa seakan dunia berhenti. Dalam pikiranku, terlintas semua kenangan indah bersamanya. Saat tertawa, saat ayah mengajarkanku berjalan, bersepeda, dan memberikan nasihat bijak yang selalu kupegang erat. Kini, semua itu terasa jauh, seakan berada di ujung yang tak bisa lagi aku jangkau.
Tubuhku semakin melemas. Rasanya seperti beban dunia menghimpitku, mencegahku untuk berdiri tegak. Dadaku terasa sesak, dan pandanganku mulai mengabur. Kucoba memanggil nama ayahku lagi, tapi suaraku teredam oleh isak tangis yang tak bisa lagi ku kendalikan.
Sebelum aku menyadarinya, seluruh tubuhku terasa ringan, seperti kehilangan kendali. Perlahan, aku pun mulai jatuh pingsan, tubuhku limbung dan ambruk ke lantai tepat di dekat ranjang ayahku.
“Nurra!” Salah seorang perawat bergegas menangkapku sebelum aku benar-benar jatuh. Para perawat segera memindahkanku ke ruang istirahat, sementara tangisan dan jeritanku masih bergema di telinga mereka yang menyaksikan.
Saat itu, di balik tirai putih yang membatasi ranjang ayahku, waktu terus berdetak pelan. Meski tubuhku tak lagi sadar, hatiku masih berteriak, berharap ada keajaiban. Namun, di dalam hatiku yang paling dalam, aku tahu, dia mungkin harus menghadapi kenyataan yang paling pahit dalam hidup: kehilangan sang ayah yang begitu kucinta.
Perlahan aku mulai tersadar walau mataku masih terasa berat. Aku merasakan dinginnya lantai rumah sakit di tubuhku, suara bising di sekelilingku perlahan mulai terdengar. Aku mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Ayah... Benar, ayahku masih terbaring di ruang ICU, berjuang untuk hidup.
Dalam kondisiku yang masih lemas, tiba-tiba pintu ruang istirahat terbuka. Seorang dokter masuk dengan wajah tegang, dan aku segera bangkit dari tempat tidurku meskipun tubuhku masih sulit untuk digerakkan.
“Nurra, kami harus bicara,” kata dokter itu dengan nada serius.
Hatiku mulai berdegup kencang. “Apa yang terjadi, Dok? Ayah saya... bagaimana keadaannya?”
Dokter itu menarik napas dalam, tampak ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Ayahmu memerlukan transfusi darah secepatnya. Dia kehilangan banyak darah akibat kecelakaan itu, dan tanpa transfusi, kami tidak bisa menjamin keadaannya akan stabil.”
Seketika aku menelan ludah, perasaan takut menjalari seluruh tubuhku. “Pakailah darahku saja, Dok. Bisa kan?”
Dokter pun berdiam sejenak, ekspresinya semakin serius. “Kamu tidak bisa mendonorkan darahmu. Ayahmu membutuhkan transfusi darah yang banyak, dan persediaan darah di rumah sakit sudah habis. Kami
sedang mencari donor dengan golongan darah yang cocok.”
“Golongan darah apa?” tanyaku, suaraku bergetar.
“AB negatif,” jawab dokter itu pelan. “Sangat sulit ditemukan.”
Seakan terhisap dalam kekosongan, aku terpaku. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Ayahku tidak boleh pergi. Kenapa Tuhan begitu kejam? Di luar sana, mungkin ada harapan, seseorang yang bisa menjadi penyelamat.
Aku melangkah keluar, mencari-cari di koridor rumah sakit. Di dalam hatiku, aku berdoa semoga ada seseorang yang mendengarkan seruan hatiku, seseorang yang bisa memberikan setetes harapan.
Saat berada di dekat pintu keluar, mataku tertumbuk pada seorang wanita yang duduk sendirian di bangku panjang. Dia terlihat sedikit lebih tua dari ibuku, tetapi aura kasih sayangnya terpancar jelas. Ada sesuatu yang mendorongku untuk menghampirinya. Semoga dia bisa membantu.
“Permisi,” kataku, suaraku bergetar. “Apakah Anda bersedia mendonorkan darah?”
Wanita itu mengangkat kepalanya dan menatapku dalam-dalam. “Darah? Untuk siapa?”
“Ayah saya,” jawabku penuh harap. “Dia butuh transfusi, tapi rumah sakit kehabisan persediaan darah. Dia golongan darah AB negatif.”
Tanpa ragu, wanita itu berdiri. “Saya akan membantu. Namaku Ridha Azzahra.”
“Terima kasih, Ibu Ridha,” kataku, merasa sedikit lega. “Tapi… apa Anda yakin?”
“Anakku, ketika ada kesempatan untuk membantu orang lain, kita harus melakukannya,” jawabnya dengan lembut. “Tolong tunjukkan aku ke ruang transfusi darah.”
Kami segera menuju ke ruang transfusi darah. Dalam perjalanan, aku merasa semangatku terbangun kembali. Ketika melihat sosoknya, ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman. Saat itu, aku tidak tahu mengapa, tetapi entah mengapa aku merasa sangat terhubung dengannya. Dia seperti sinar harapan di tengah gelapnya malam.
Setelah beberapa menit, aku melihat ayahku melalui kaca ruangan. Dokter sedang mempersiapkan transfusi darahnya. “Aku di sini, Ayah,” bisikku pelan, berdoa agar dia bisa mendengar suaraku. “Kau harus bertahan.”
Ketika proses transfusi darah dimulai, hati kami penuh harapan. Namun, tiba-tiba wanita yang menemaniku itu terlihat terkejut. Dia memegang wajahnya dan mulai meneteskan air mata.
“Maaf, apakah Anda baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Anakku… namamu siapa?”
“Nurra,” jawabku pelan.
Dia terdiam sejenak, lalu memelukku dengan erat. “Nurra? Apa kau… Nurra Azzahra?”
Iya, akulah Nurra Azzahra. Rasanya seperti mendengar nama yang telah lama menghilang dari hidupku. “Ya, Ibu. Kenapa? Apakah kita kenal?”
Ridha mengusap air matanya dan tersenyum lembut. “Kau adalah cucuku. Aku… aku mencarimu.”
Seketika, aku merasa tergetar. Cintaku, harapanku, dan rasa rindu yang terpendam selama ini meledak dalam pelukan hangatnya. “Ibu Ridha…” aku terisak. “Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu.”
Akhirnya, setelah berjam-jam menunggu, dokter keluar dari ruang ICU. “Kondisi ayahmu membaik,” katanya, senyumnya tampak menyiratkan harapan.
“Bagaimana dengan transfusinya?” tanyaku.
“Darah yang diberikan cukup membantu,” jawab dokter. “Kami akan terus memantau kondisinya, tetapi ada kemungkinan dia akan segera sadar.”
Kaki ini terasa ringan, semangatku bergetar penuh harap. Sekarang, ada dua harapan dalam hidupku: ayahku akan sembuh, dan hubunganku dengan Ridha akan mulai terjalin kembali.
Di saat yang sama, air mata yang penuh kebahagiaan mengalir di pipiku. “Terima kasih, Ibu Ridha,” kataku penuh rasa syukur.
Dia hanya tersenyum dan memegang tanganku. “Ini adalah awal yang baru, Nurra.”
Ketika kembali ke ruang ICU, aku melihat ayahku dengan matanya yang mulai terbuka. Dalam dadaku, aku merasakan harapan baru tumbuh. Ayahku tersenyum lemah. “Sayang…”
“Ayah! Kau tidak pergi, kan?” tanyaku, tak bisa menahan air mataku.
“Tidak… aku masih di sini,” jawabnya, berusaha tersenyum meski terlihat lemah. “Dan aku akan selalu ada untukmu.”
Kami saling berpegangan tangan, menyalurkan harapan dan cinta yang tak akan pernah pudar. Dalam pelukan itu, aku tahu bahwa segala kesulitan ini akan terbayar dengan indah, dan bersama Ridha, kami akan menyongsong masa depan yang lebih cerah.