Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Bab 32. Mimpi Indah
Pagi itu, cahaya matahari lembut menelusup lewat tirai yang sedikit terbuka. Leon terbangun perlahan, matanya masih setengah terpejam, tapi senyum tipis sudah menghiasi wajahnya. Ia baru saja mengalami mimpi terindah yang pernah ia rasakan selama bertahun-tahun.
Dalam mimpinya, dua anak kecil—seorang gadis mungil dengan pita merah di rambut dan seorang bocah laki-laki dengan senyum cemerlang berlari ke arahnya. Mereka memeluknya erat sambil meneriakkan satu kata yang menggetarkan jantungnya.
Papi!
Suara itu terngiang-ngiang di benaknya, membekas lebih kuat dari sekadar bunga tidur. Itu adalah mimpi yang begitu nyata, begitu hangat, hingga membuat dadanya bergelora oleh emosi yang tak dapat ia gambarkan.
Leon mengusap wajahnya perlahan, mencoba menahan air mata yang hendak tumpah. Lalu, ia bangkit dari tempat tidur dan membuka tirai kamar hotel lebar-lebar. Cahaya pagi menyeruak masuk, menerangi wajahnya yang masih diselimuti bekas luka emosional dari malam sebelumnya.
Eric masuk membawa nampan sarapan dari room service. “Kau bangun juga akhirnya,” gumamnya, lalu meletakkan nampan di meja kecil.
Leon menoleh. “Ric, semalam aku bermimpi.”
“Kalau kau mimpi Sharon menamparmu dua kali, itu namanya bukan mimpi, bro. Itu kemungkinan besar kenangan,” kata Eric mencoba mencairkan suasana.
Leon tersenyum kecil, tapi cepat kembali serius. “Aku mimpi Xaviera dan Xaviero memanggilku papi.”
Eric berhenti mengaduk kopi. “Itu ... mimpi yang indah.”
Leon tersenyum kemudian menatap Eric, sorot matanya mantap. “Aku ingin tahu di mana mereka sekolah. Di mana Sharon tinggal. Di mana dia bekerja. Aku ingin tahu semuanya, Ric.”
Eric mengangguk perlahan. “Kau yakin siap untuk itu?”
“Justru karena aku tidak siap selama enam tahun, Ric. Aku ingin memperbaikinya. Kalau Sharon sudah bersusah payah membesarkan mereka sendiri … aku bahkan tak pernah mengirimkan sepeser uang. Aku tak pernah ada di dekat Sharon sedang hamil, tak pernah ada waktu mereka sakit, belajar bicara, belajar berjalan. Aku ayah yang benar-benar gagal.” Leon berucap dengan wajah nelangsa. Meskipun belum benar-benar mengingat semua, tapi perlahan puzzle masa lalunya mulai terbentuk. Ingatan yang sempat hilang dan mengabur, kini mulai semakin jelas dan terang.
Eric menatapnya penuh empati. “Kau memang tidak hadir. Tapi kau masih hidup, Leon. Dan selama itu masih terjadi, kau masih punya kesempatan untuk menjadi ayah mereka.”
Leon mengepalkan tangan. “Tolong, bantu aku cari tahu. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku yakin kau bisa. Cari tahu sekolah anak-anak itu. Cari tahu tempat tinggal Sharon. Aku akan mendatangi mereka sendiri.”
Eric mengangguk. “Aku akan mulai dari catatan data pasien rumah sakit tempat Sharon membawa anak-anaknya dulu. Kita pernah dapat bocoran kalau Sharon sempat bawa salah satu anaknya ke rumah sakit anak tiga bulan lalu, kan? Mungkin dari sana kita bisa tahu alamatnya.”
Leon mendekat dan menepuk bahu Eric. “Terima kasih. Kau lebih dari sekadar sahabat.”
Eric tersenyum kecil. “Kau bisa bilang begitu kalau nanti Sharon benar-benar bersedia memaafkanmu.”
Leon menunduk sesaat, lalu tiba-tiba mengangkat wajahnya, teringat sesuatu. “Oh iya, tentang obat yang aku konsumsi selama ini—kau sudah sempat cek apa isinya?”
Eric mengangguk pelan. “Belum detail. Tapi aku sudah kirimkan sampelnya ke kenalanku di laboratorium farmasi. Akan butuh beberapa hari untuk hasil lengkapnya. Tapi ... Leon, kau pikir obat itu ada hubungannya dengan ingatanmu yang hilang?”
Leon mengangguk. “Dulu aku konsumsi itu tiap hari, dan ingatan tentang Sharon dan anak-anak selalu terasa seperti kabut. Tapi sejak aku stop beberapa hari terakhir … semuanya mulai lebih jelas. Bahkan mimpi tadi malam terasa seperti kenangan yang tersisa.”
Eric menatapnya dengan serius. “Kalau benar begitu, mungkin seseorang tak ingin kau mengingat sesuatu.”
“Dan itu artinya,” Leon menyambung, “bukan hanya aku yang harus memperjuangkan pertemuan ini. Tapi ada pihak lain yang berusaha mencegahnya.”
Eric menyipitkan mata. “Metha?”
Leon menatap Eric tajam. “Bisa jadi. Atau ... Mama.”
Keheningan kembali menggantung. Tapi kali ini bukan karena luka. Melainkan karena tekad. Leon tahu, ia tak akan diam lagi. Tidak setelah apa yang ia tahu semalam. Tidak setelah anak-anaknya hadir dalam mimpi yang terasa lebih nyata dari hidupnya sendiri.
Hari ini, pencarian dimulai.
...***...
Sharon menghela napas panjang. Matanya menerawang jauh, tak fokus pada layar komputer di depannya. Telinganya masih terngiang pertanyaan polos namun menghujam dari putrinya pagi tadi.
Mami, sebenarnya papi kita siapa sih? Kok kami nggak punya papi kayak temen-temen yang lain?
Pertanyaan sederhana, tapi jawabannya rumit. Terlalu rumit.
Sharon meremas pelan jemarinya sendiri, mencoba menenangkan guncangan di dadanya. Ia tak pernah menyangka hari itu akan datang secepat ini—saat kedua anaknya mulai bertanya tentang sosok yang selama ini tak pernah mereka lihat, tak pernah mereka kenal, tak pernah mereka ketahui keberadaannya.
“Sharon?”
Sebuah suara lembut membuyarkan lamunannya. Dion berdiri di sisi meja kerja, memandanginya dengan raut khawatir.
“Kau baik-baik saja? Sejak tadi kau cuma melamun.”
Sharon cepat-cepat mengerjapkan mata dan memasang senyum tipis. “Ah … aku hanya sedang lelah, mungkin.”
Dion mengernyit. “Kau yakin? Wajahmu kelihatan ... banyak beban pikiran.”
Sharon berpaling sejenak, tak ingin Dion membaca isi hatinya. “Kau butuh sesuatu?”
Dion terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat. “Sebenarnya iya. Tapi bukan untukku langsung. Mama mengundang kalian makan malam di rumah.”
Sharon menoleh, sedikit terkejut. “Kami?”
“Ya, kau dan anak-anak.” Dion menaruh tangan di saku celananya, tampak sedikit ragu. “Katanya, sudah lama ia ingin mengenal Xaviera dan Xaviero lebih dekat. Apalagi setelah kalian pindah ke sini, mama merasa belum sempat menjamu kalian dengan layak.”
Sharon tersenyum canggung. Ia tahu, ibu Dion memang sosok yang ramah dan hangat. Wanita paruh baya itu bahkan sering mengirimkan masakan ke apartemennya ketika mereka baru saja pindah. Tapi tetap saja, undangan makan malam keluarga membuat Sharon sedikit gelisah—ia khawatir akan ada pertanyaan-pertanyaan yang belum siap ia jawab.
Namun, tak mungkin ia menolak.
“Iya,” ucap Sharon akhirnya, lembut. “Tolong sampaikan pada Tante Alda aku berterima kasih dan ... kami akan datang.”
Mata Dion berbinar. “Aku yakin Mama akan senang sekali.”
Sharon mengangguk pelan, namun pikirannya kembali melayang pada Xaviera dan Xaviero. Ia harus mempersiapkan hati untuk malam itu. Bukan hanya untuk menghadapi keluarga Dion, tapi juga untuk berjaga—kalau pertanyaan tentang ayah mereka muncul kembali.
Dan entah mengapa, di hatinya yang paling dalam, nama Leon kembali muncul. Bersama luka. Bersama kenangan.
Bersambung...
bener apa kata Djaya...
anaknya terlalu terobsesi
gawat kl sampai aki2 yg hobinya selingkuh sampai berhasil nyari tau masalalu leon dsn berdampak sama kembar