Nb : konten sensitif untuk usia 18 tahun ke atas !
Parade Hitam, wabah Menari.
Kisah kelam dalam hidup dan musik.
Tentang hati seorang anak manusia,
mencintai tapi membenci diri sendiri.
Sebuah kisah gambaran dunia yang berantakan ketika adanya larangan akan musik dan terjadinya wabah menari yang menewaskan banyak orang.
------------------------------------------------
Menceritakan tentang Psikopat Bisu yg mampu merasakan bentuk, aroma, bahkan rasa dari suatu bunyi maupun suara.
Dia adalah pribadi yang sangat mencintai musik, mencintai suara kerikil bergesekan, kayu terbakar, angin berhembus, air tenang, bahkan tembok bangunan tua.
Namun, sangat membenci satu hal.
Yaitu, "SUARA UMAT MANUSIA"
------------------------------------------------
Apa kau tahu usus Manusia bisa menghasilkan suara?
Apa kau tahu kulitnya bisa jadi seni indah?
Apa kau tahu rasa manis dari lemak dan ototnya?
Apa kau tahu yang belum kau tahu?
Hahahaha...
Apakah kau tetap mau menari bersamaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sad Rocinante, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian III - Cry
Sore hari yang sejuk, di sebuah kursi kayu tua taman, di bawah pohon rindang di atas tebaran guguran daun kuning menguning, Mercury duduk memupuk angan tertuang dalam lukisan, dijaga beberapa pengawal berdiri berlawanan.
Awan sedikit mendung, mentari hampir sembunyi, angin bertiup dingin mengiring, pohon rindang melambai membelai, dedaunan jatuh berjatuhan bercumbu bersama tatapan.
Kuas tipis di tangan kiri mulai mengisi kanvas putih, menari dengan warna bercumbu bersama rasa.
Mercury mulai melukis seorang wanita tak berwajah di bawah sebuah pohon kering tak berdaun, bayangannya jelas terpantul, duduk lemas menatap melas, membelakangi cahaya matahari jingga sore hari.
Semakin banyak warna dalam bentuk tertuang, semakin jelas wajah wanita itu, luka bakar dan goresan menghiasi sisi kulit pipi dan kening, dari bagian hitam wajah terlihat sedikit pantulan kilau redup penuh arti, tubuhnya kurus kering tak terurus, dibalut pakaian compang camping pupus.
Semakin jadi lukisan, semakin kesal pula Mercury. Wanita aneh itu selalu saja bergerak seakan memberontak penuh rindu, kakinya ditekuk meringkuk, tangan mencengkram dada, satunya meraih angin di depan wajah.
Sial ... wanita itu merangkak begitu kesusahan, mulai mendekat menghampiri Sang Tuan. Tatapan penuh arti, komat kamit mulut dibalut seribu tanya bertaut.
Ada apa dengan wanita itu?
Semakin cepat tangan Mercury menari dengan kuas dan warna, semakin cepat pula rangkakan wanita itu berjaga. Dekat, semakin mendekat, guguran daun lurus tak beraturan tersapu merangkak, para pengawal berdiri menghadang, melindungi Tuan dari gangguan wanita sempoyongan.
"Tetap di sana, wanita kotor!"
"Tahan dirimu! ada apa denganmu?!"
Pengawal membentak wanita itu, bergeming dia menapak hati juang gelisah, sedari tadi tetap merangkak mengulurkan tangan meraih sesuatu didepan mata.
"Dasar sialan!"
Para pengawal memukul dan menendang Sang Wanita sampai dia tersungkur dan sedikit terlempar.
Tak menyerah, wanita itu semakin mempercepat rangkakannya, memperkuat omelannya, tak ada yang tau apa yang sedang diteriakkan dan ditangisi olehnya, hanya mengais, teriak tangis, dan bergumam mengomeli dunia.
"Seret, dia!"
Mercury tak enggan dengan perilaku manusia di depan matanya, para lelaki menendang dan menyeret wanita adalah hal lumrah, sepantasnya begitu karena laki-laki yakin tak ada wanita jika tidak dari tulang rusuknya, mereka lemah dan rendah, patahkan saja.
Kuas semakin cepat menari, mengalir bersama rintihan, bergerak bersama tangisan, wanita aneh terseret menjauh.
Wanita itu telah dilempar ke genangan lumpur sisi pojok taman, rintihannya mulai menghilang hanya tersisa bisikan.
Awan sore mulai muram menuju malam, satu goresan terakhir belum sepenuhnya tuntas.
"Tuan, hari sudah mendung, sebentar lagi malam akan tiba. Marilah kita kembali," bujuk seorang pelayan, menunduk memberi hormat.
Mercury tetap bergeming, sentuhan terakhir belum usai, goresan terakhir amat pelan dan hati-hati, sebuah judul terlukis bersama nadi.
Suara terakhir wanita yang dia dengar menjadi tarian terakhir lukisannya, ini adalah nama yang bagus bagi sebuah seni, penderitaan melahirkan kenikmatan, seperti sejarah umat manusia, tak terbantahkan.
Mercury berdiri dari kursi taman, menutup lukisan menggunakan selembar kain di tangan, tanpa sepatah kata berjalan menuju arah pulang, hanya senyum tipis penuh kepuasan yang terlintas di wajahnya.
Pengawal segera mengikuti, dengan cepat membuka payung hitam melindungi Sang Tuan. Dua di depan dan dua di belakang, berjalan beriringan.
Sesampainya di mansion, Nyonya dan Hutton sedang menunggu Mercury di meja makan, tak ada pertanyaan kenapa lama sekali, yang ada hanya senyum dan ajakan memanjakan.
Makan malam berjalan kaku seperti biasanya, tak ada yang khusus tak ada yang biasa saja. Berlalu waktu di tempat tidur menunggu hari esok yang akan sangat ramai, mengganggu tetapi menarik.
***
Malam berlalu dengan hangat, lonceng raksasa mengganggu menggetarkan mimpi dari tidur nyenyak.
Nyonya Way menatap dari balik jendela kamar, nampak banyak orang berpakaian lusuh memenuhi jalanan kota.
Hari ini tanggal lima, hari ini tinggal kita. hari pengadilan dan pengumpulan pajak telah tiba, berbagai kalangan akan datang memenuhi pusat kota, dan mansion yang mereka tempati berada di antara pasar dan gedung bekas pengadilan.
Beberapa prajurit dan polisi setempat membawa kuda, menarik sebuah panggung kayu beroda.
Panggung kayu itu adalah panggung pemenggalan, ukurannya cukup besar dan memiliki tangga pada sisi kiri dan kanan.
Empat orang berbadan besar membantu mendirikan dan memeriksa panggung tersebut, melepaskan ikatan dari kuda-kuda, lalu pergi meninggalkannya di sana bersama tatapan para penghuni kota yang sedang mengantarkan pajak kekayaannya yang miskin.
Hutton dan Mercury yang telah terbangun juga turut menatap kerumunan, tak sabar menanti datangnya para algojo dan guillotine yang termasyur.
Hutton mengajak sudaranya untuk membersihkan badan, agar segera turun ke bawah menyantap sarapan.
Terlihat Hutton amat berusaha membujuk saudaranya yang sedari tadi menatap dingin para kerumunan, ada maksud lain di baliknya, sebuah lukisan tertutup kain, bersandar di sudut kamar jadi incaran rasa penasarannya.
Mercury yang tidak tahan mendengarkan celoteh Hutton pun segera menuju kamar mandi, berjalan diiringi beberapa pelayan yang sedari tadi menunggu di luar kamar, tak berani mengetuk atau menyapa membangunkan.
Kamar telah sepi, lukisan terbungkus kain menarik hati. Berlahan Hutton melirik, berlagak dia tak berkutik, berjalan pelan penuh penasaran, hati-hati dirinya membuka kain penutup, menyingkirkan rasa ingin tahu yang merasuki tidur malam tadi.
Lukisan itu nampak suram tapi indah, sebuah pohon hitam dikelilingi warna jingga sore hari, membelakangi cahaya tenggelam surya, tiga orang wanita bak bayangan terlukis di bawahnya, merangkak bersama seretan warna memanjang daun-daun colat masak, berguguran di bawahnya.
Wanita pertama terduduk meringkuk lemas berwajah melas, yang kedua merangkak meratap tatap, yang ketiga berteriak meraih angan tanpa harapan. Sungguh kelam tetapi tentram.
Dia amat kagum serta berpura mengerti akan arti dari lukisan. Namun, hanya satu yang tidak dapat dia pahami, sebuah tulisan tak jelas artinya, seperti terbalik saja.
Puas akan rasa dahaganya, mengerti atau tidak tak ada gunanya. Hutton kembali menutup lukisan dengan kain, berjalan menuju jendela menatap kerumunan, amat kumuh dan menyedihkan.
Jauh di dalam lubuk hatinya Hutton merasa kecewa akan nasib manusia. Namun, lebih dalam lagi dia bahagia akan nasip dirinya sendiri yang tidak sama seperti mereka. Memang begitulah manusia, terkadang bersyukur adalah cara paling kejam dalam melihat penderitaan orang lain. Mensyukuri kebaikan nasip mereka akan penderitaan orang lain adalah sejarah sejak dulu kala.
Dari balik bilik kamar, seorang pelayan datang menjemput Hutton untuk mandi. Pelayan berkata jikalau saudaranya telah menunggu di meja makan bersama Nyonya dan Pemilik Mansion, di sana.
Hutton segera membersihkan badannya, mengganti pakaian yang megah, berwarna ungu dengan bordiran emas. Sama seperti yang saudaranya juga kenakan.
Usai berpakaian, Hutton duduk bersama keluarganya, disambut senyum ramah dan hangat, perbincangan kaku mengenai perkembangan pembelajaran dan kesehat mengalir seperti biasanya.
"Mama, apakah kita akan turun kejalan untuk menonton guillotine?" tanya hutton, mengunyah makanan di mulutnya hingga belepotan.
"Jaga tatakramamu, Hutton! Lihatlah cara makan saudaramu yang berkelas itu, bukankah Mama mendidik kalian untuk bersikap sopan?"
"Maaf, Mama."
Hutton menunduk malu, melirik Mercury dengan malu, berusaha memperbaiki cara makannya ragu.
"Anakku Hutton dan Mercury, kita tidak akan turun kejalanan bersama orang-orang tak bermartabat itu, kita menonton di balkon mansion saja, balkon mengarah tepat ke pusat kota. Bukankah begitu, Tuan Serlom?"
"Tentu saja Nyonya, kami telah mempersiapkan kursi dan meja teh di balkon, silakan menikmatinya sepuas Anda," jawab pemilik mansion.
"Baiklah Mama, aku mengerti," jawab Hutton pasrah.
Sehabis sarapan, semua orang melalukan kegiatan mereka masing-masing seakan tak menggubris kebisingan di luar mansion.
Nyonya Way asik merias wajah dan penampilan, Hutton menikmati menatap keramaian, Mercury hanya terdiam menulis dan melukis. Tak ada waktu bermain bagi mereka, mainan tak dibawa, keluar juga tak boleh pastinya.
Lonceng tengah hari berdentang, gerombolan penonton datang memenuhi kota, pedagang dan pembeli saling tawar menawar, bangsawan yang datang bertingkah angkuh duduk di balkon pengadilan dan gedung-gedung sewaan, pencuri dan pemabuk sibuk mengumpulkan uang hasil rampasan.
Tak perduli keadaan, makan siang di dalam balkon tetap berjalan seperti biasanya, kaku seperti seharusnya.
Sampai pukul tiga sore pusat kota semakin penuh dan padat, hiruk pikuk penderitaan berubah jadi hasrat rasa tak sabar, panggung eksekusi dikelilingi melingkar, dijaga enam orang polisi pengatur barisan sejajar.
Lonceng kembali berdentang, mendengar kegemparan itu Mercury yang tadi terdiam mulai bereaksi akan kehausan, berlahan menyingkirkan berbagai kertas dan kanvas, berjalan menuju jendela balkon menemui Nyonya dan Hutton yang sedang minum teh hangat.
Pandangannya berputar mengitari lautan manusia, suara bising mulai menyiksa telinga, membuatnya hampir muntah menahan rasa pusing di kepala.
Untung saja tutup botol anggur berupa gabus sempat dia bawa, seperti biasanya cara mendiamkan kerumunan tidak harus menutup mulut mereka satu persatu, melainkan hanya dengan menutup telinga kita sendiri saja.
Gabus di pelintir mengecil, menyesuaikan lubang telinga, sedikit ditekan menutup keduanya, suara mulai melemah tapi tetap tak bisa hilang tentunya.
Jauh dari arah jalan kota mulai terdengar sayup suara kaki kuda dan roda kereta, Mercury berdiri menunggu hadirnya yang di tunggu.
Seorang Monsieur berkuda datang membelah kerumunan, barisan terbuka lurus memanjang. Turut di belakang beberapa kuda menarik rantai dan tali terikat di tangan dan kaki para terdakwa, jumlahnya ramai saling tarik menarik dalam keputusasaan dan rasa bangga.
Kereta selanjutnya membawa guillotine di bagian belakang, dibantu oleh beberapa pria berjalan di sekitarnya. Monsieur turun melompat dari kuda, berteriak memerintah para algojo dan penjaga, mendirikan guillotine di atas panggung, cahaya mentari terpantul dari antara mata pisau tajamnya.
Sorak sorai orang-orang mulai terdengar memenuhi kota, anak-anak terhimpit berusaha keluar dari antara sela-sela badan busuk para orang tua, orang-orang kerdil memanjat meja dan kursi maupun dinding bangunan kota agar tajamnya guillotine dapat terlihat oleh mereka, yang tinggi menjinjit, yang rendah terhimpit.
Hanya menunggu waktu, hari paling menarik akan segera berlalu.
pokoknya netral dah, baru kali ini ketemu novel klasik kayak novel terjemahan aja