Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehamilan Zizi
Usai misa di gereja, Soya kembali berkumpul dengan keluarganya. Di sana sudah ada Ayah, Ibu, dan kakaknya serta sang tunangan bersama keluarganya.
“Princess, kau sudah melakukan tugas hari ini dengan baik, Daddy bangga padamu," ujar Kevin sembari merengkuhnya dalam pelukan.
“Aku tetap merasa gugup, Dad!" rengek gadis itu suaranya teredam dalam pelukan daddy-nya.
Stephen dan Lulu terkekeh, melihat tingkah Soya. Dia benar-benar mirip bayi yang tengah bermanja pada ayahnya.
“Akan tetapi, kau bernyanyi dengan baik hari ini. Tidak ada nada yang fals. Lagipula kau sudah biasa tampil di depan umum untuk bernyanyi, kan?" kata Stephen.
“Kak Stephen, aku masih marah denganmu. Kemarin katanya mau jemput Soya, mana buktinya?"
“Maaf Princess kecil, salahkan saja dia," bisik Stephen sambil melirik tunangannya. Soya hanya mendengus dibuatnya.
Lulu menatap tajam sang adik, “Lagipula bukannya kau juga kencan kemarin? Bahkan kau pulang diantar oleh pangeranmu itu."
“Nah, benar itu kata Lulu. Kau sudah pulang dengannya bahkan makan bersama. Uhh romantisnya. Omong-omong berita kalian yang di kedai seafood masih sangat panas," Stephen menimpali.
“Ah, aku tidak tahu akan jadi seheboh itu. Padahal hanya makan di kedai biasa," ucap Soya.
Stephen tergelak, “Memang hanya di kedai biasa. Yang menjadi menarik perhatian adalah dengan siapa kau makan, Bayi Kecil. Kau makan dengan anak seorang pengusaha ternama, selain itu dia juga mengendarai Rolls-Royce hanya untuk makan di kedai kecil pinggir jalan. Penampilannya terlihat sangat mencolok dan begitu menarik perhatian. Bagaimana tidak jadi bahan gosip hangat jika begitu?"
“Dia memang terlalu berlebihan," Soya justru menimpali ucapan Stephen. Para orang tua yang menyaksikan perdebatan mereka hanya menggelengkan kepalanya.
“Sini kita berfoto terlebih dahulu," Lulu mengajak Soya dan tunangannya untuk berfoto bersama.
Setelah puas mengambil beberapa gambar, Lulu mengamati gambar yang diambilnya tadi, “Wah, lihat ini kita seperti keluarga bahagia! Ayah, Ibu, dan anak semata wayang mereka yang nakal."
“Aku bukan anak nakal!" Soya memekik. Kakinya ia entak-entakan tanah tanda ia kesal.
Beberapa pasang mencuri pandang ke arah gadis itu, bahkan tak sedikit pula yang mengambil gambarnya diam-diam. Ada pula yang memekik menahan rasa gemas pada gadis berusia 16 tahun tersebut.
Dari jarak jauh Kai melihat Soya sedang berkumpul dengan keluarganya. Bibirnya yang sedikit dimajukan mirip sekali dengan paruh seekor pinguin. Sejenak ia terkekeh seorang diri, melihat betapa menggemaskannya gadis itu.
“Wah, itu Kai!" pekik salah seorang jemaat gereja hingga mengundang beberapa atensi jemaat lain di sana. Lantas, mereka berbondong-bondong bermaksud untuk meminta foto bersama pengusaha muda yang tengah naik daun itu.
Kai sendiri sedikit kewalahan, ingin menolak, tetapi nanti akan dicap sombong oleh orang-orang.
Maka, mau tidak mau, ia bersedia menerima ajakan foto bersama. Dengan senyum lebar yang sebenarnya tidak tulus, tetapi tak terlihat Kai berfoto bersama jemaat lain yang rata-rata remaja perempuan dan para wanita. Entah masih lajang, atau pun sudah bersuami.
Tidak hanya itu, usai berfoto para wanita hamil juga berbondong-bondong ingin diusap perutnya oleh pria berkulit eksotis itu, dengan harapan supaya anak yang dikandungnya bisa sehebat dan sesukses Kai Devinter.
Sejenak Kai tergemap mendengar permintaan para ibu hamil tersebut. Tak enak hati dengan para suami yang mendampingi istri-istri mereka. Mata elangnya memandang barisan para suami seolah meminta persetujuan.
Beruntung para suami mengizinkan meskipun sedikit tidak rela. Namun, apa daya, mereka masih mempercayai mitos tentang jika keinginan anak yang di dalam kandungan tidak dituruti, maka anak tersebut akan selalu meneteskan air liur.
Sedikit tidak masuk akal memang, tetapi itulah hal yang selalu tertanam di pikiran sejak kecil. Dan kepercayaan itu terus menjadi turun-temurun dalam keluarga.
Dengan gerakan yang sedikit gemetar, Kai menempelkan tangannya ke perut yang terlihat menonjol tersebut dan mengusapnya perlahan sembari memanjatkan doa dan harapan untuk sang jabang bayi, membuat para ibu merasa tersentuh.
“Lihat, calon suamimu bahkan laris sekali di kalangan ibu-ibu seperti Stephen," Lulu menunjuk ke arah Kai yang sedang dikerumuni para ibu yang meminta berfoto dan dielus perutnya.
“Calon suami dari Bikini Bottom? Maaf saja ya, aku ini calon istri Kim Jong In EXO. Bukan calon istri Paman itu!" Soya menolak mentah-mentah dan menyangkal perkataan sang kakak.
“Akan tetapi, dia mirip Kim Jong In, Sayang. Kau pernah dengar tujuh kembaran di dunia? Mungkin dia kembaran Kim Jong In di belahan dunia lain," Stephen menimpali.
“Mama, pecat saja Kak Stephen dari keluarga Collins, Kak Stephen jahat pada Soya!" adu gadis bermata bulat itu pada ibunda Stephen.
Seketika itu juga, tatapan tajam dan membunuh ibunya mengarah pada Stephen, membuat pria minim ekspresi itu bergidik. Bukan rahasia lagi jika Soya juga dekat bahkan akrab dengan keluarga Collins. Mengingat sang ibu tidak memiliki anak perempuan dalam keluarga mereka, maka ketika melihat Soya, Nyonya Collins langsung jatuh hati dan menganggap gadis itu seperti anak sendiri. Begitu juga dengan Lulu, Nyonya Collins bahagia sekali sang anak menjalin hubungan dengan gadis itu.
Menurutnya, Lulu itu merupakan menantu idaman. Dia cantik, pemberani, baik hati, dan sangat sopan. Ditambah, pintar memasak dan mereka sangat cocok satu sama lain.
“Mom, aku hanya bercanda," kata Stephen memandang ibunya dengan tatapan memelas.
Lulu hanya terkekeh, “Kau itu hanya anak pungut. Sekarang Soya yang menduduki tahta teratas di hati Mama."
Karena merasa gemas, Stephen mencubit dan menarik pipi Soya dengan keras, membuat Soya memekik kesakitan.
“Argh, Kak Stephen. Sakit!" teriaknya, membuat para jemaat yang masih berada di sana menoleh ke arahnya.
“Hiks ... hiks ...," Soya menangis karena kesakitan. Cubitan Stephen luar biasa terasa nyeri dan panas, pipinya menjadi memerah.
“Huwa, Papa, Kak Stephen nakal pada Soya!" Soya lari ke pelukan ayah Stephen dan menangis keras di sana. Benar-benar mirip dengan bayi yang mengadu pada ayahnya.
“Stephen, kau apakan adikmu?!" desis ayahnya tajam. Sedang Kevin sendiri justru terkekeh.
“Siapa suruh, menggemaskan. Stephen, kan tidak tahan untuk mencubit pipi mochi-nya," Stephen beralasan.
Dengan raut wajah kesal, alis tebal yang menyatu, pipi yang menggembung, dan bibir yang mengerucut lucu, Soya mengentakkan kakinya ke tanah. Para orang tua dan kakaknya justru terbahak lantaran saat ini, Soya tampak menggemaskan mirip seperti balita.
“Pokoknya Kak Stephen tak boleh menikah dengan Kak Lulu. Kak Lulu milik Soya!" ucap Soya sambil memeluk Lulu dengan erat.
“Enak saja, Lulu milikku, calon istriku, belahan jiwaku. Cari kakak lain sana!" goda Stephen.
“Ahh ...!" Soya merengek hendak kembali menumpahkan tangisnya. Lulu harus menghentikan drama ini, sebelum tangis Soya kembali meraung, “iya-iya, Kakak hanya milik Soya bukan milik Stephen."
Stephen menjeling, hendak protes pada kekasihnya. Akan tetapi, tatapan tajam Lulu membuat nyalinya menciut dan mengurungkan niatnya untuk protes.
Mereka bahkan tidak menyadari jika sedari tadi menjadi sorotan para jemaat di sana termasuk Kai dan kedua orang tuanya. Bahkan semua perilaku Soya tak luput dari mata elangnya. Tangannya ia masukkan ke dalam saku, mengepal kuat menahan rasa gemas bercampur cemburu di sana. Cemburu, lantaran gadisnya bersikap manja pada pria lain.
“Seharusnya aku yang berada di posisi pria itu. Berani sekali dia mencubit pipi gadisku!" batin Kai merutuk.
Joseph meremas pundak sang putra, dia tahu jika putranya terbakar api cemburu melihat kedekatan dan keakraban Sophia dan Stephen.
“Mereka hanya akan menjadi saudara ipar," bisik Joseph pada putranya.
“Tetap saja aku cemburu, Pa!" Kai balik berbisik pada sang ayah.
“Baiklah-baiklah, Kakak minta maaf, ya. Bayi Pinguin kesayanganku," Stephen membujuk Soya.
Lalu meraih tangan Soya dan berjalan menuju penjual balon. Stephen langsung membeli balon yang sedari tadi menarik perhatiannya. Ya, balon berbentuk Pinguin. Balon itu ia berikan pada Soya. Sementara itu, Lulu justru terbahak-bahak di seberang sana.
“Hanya balon?” tanya Soya.
“Apa?"
“Kakak hanya membelikan aku balon?" Soya bertanya dengan mata yang berkaca-kaca. Stephen menghela napas, memang Bayi Pinguin di sampingnya ini tidak cukup, jika hanya dibelikan satu barang saja pada saat marah.
“Baiklah, kau ingin apa lagi, sayangku, cintaku, rinduku, manisku, imutku, dan permata hatiku?" tanya Stephen yang suaranya seperti sengaja dikeraskan. Mata bulatnya menjeling ke arah Kai. Kai terlihat mengeraskan rahang seperti orang yang tengah menahan emosi.
Seulas senyum terbit di wajahnya yang datar, memang inilah maksud dari Stephen. Sedari tadi, ia dan Lulu menyadari bahwa Kai terus memandang ke arah mereka. Sang tunangan yang cerdik, lantas memiliki sebuah rencana, dengan melakukan telepati, Stephen langsung memahami arti tatapan dan senyuman penuh maksud yang dilayangkan sang kekasih untuknya.
“Ya, aku mau es krim, mau cokelat, sosis bakar, cumi bakar, dan minuman cookies and cream," pinta Soya pada calon kakak iparnya itu.
“Hei ... hei ... hei, kau yakin pesan menu sebanyak itu? Astaga kau akan bertambah gendut nanti," kata Stephen.
“Oh, jadi menurut Kak Stephen, aku ini gendut, begitu?" desis Soya, tatapan matanya terlihat sangat menyeramkan. Tangan kecil dan jari lentiknya dengan cekatan memukuli dan menarik rambut Stephen, hingga Stephen mengaduh dan meminta ampun pada gadis kecil itu.
“Argh, lepaskan Soya. Ini sakit, aduh. Sayang, tolong aku!" pekik Stephen, Lulu yang melihatnya membulatkan mata. Dengan langkah yang terburu-buru, dia menghampiri kedua orang yang disayanginya itu. Dan membantu sang kekasih agar bisa lepas dari kemurkaan sang adik.
“Ya ampun Soya lepaskan rambut kekasihku, kasihan dia. Bisa-bisa kepalanya botak nanti. Kau juga, Stephen. Apa yang kau lakukan sehingga bayi kita marah seperti itu?" tanya Lulu sambil berkacak pinggang. Terkadang ia tidak habis pikir dengan perilaku adik dan tunangannya itu yang seperti kucing dan tikus.
“Kak Stephen bilang aku gendut!" adu Soya. Seketika itu juga Lulu memberikan tatapan tajam pada sang kekasih.
“Ah, tentu saja tidak. Aku hanya bercanda. Bayi kita tidak pernah gendut. Dia selalu memiliki badan yang ideal. Aku bersungguh-sungguh!" Stephen buru-buru meralat ucapannya, saat mendapat tatapan tajam dari sang kekasih.
Dan sesuai janjinya Stephen mengiyakan semua permintaan Soya tanpa terkecuali. Semua kejadian itu tak luput dari pengamatan Kai. Sedikit terkekeh melihat tingkah gadis pujaannya yang benar-benar seperti balita.
“Lucu sekali," pikirnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Esok hari mulai menyapa kembali. Namun, kali ini ada yang berbeda dari Zizi. Di saat hendak membangunkan sang suami, ia merasa perutnya bergejolak, sesuatu memaksa dikeluarkan dari dalam perutnya, tetapi tak ada apa pun di sana.
“Hoek ... hoek!"
Suara Zizi yang terdengar dari kamar mandi tentu saja mengusik tidur indah sang suami. Kevin melenguh sebentar, berusaha menghilangkan rasa kantuk yang masih bergelayut manja.
“Honey?" panggil Kevin saat sudah sampai di kamar mandi. Dapat ia lihat sang istri masih berusaha memuntahkan sesuatu di wastafel, tetapi hanya cairan bening yang keluar.
Kevin membantu dengan memijat tengkuk sang istri.
“Masih ingin muntah?"
“Rasanya mual, tapi aku tidak memuntahkan apa pun, kepalaku pusing, Ge," Zizi bersandar pada dada sang suami.
“Mungkinkah kau hamil lagi, Honey?" Kevin menduga. Pasalnya apa yang dialami istrinya ini sangat mirip dengan gejala saat sang istri mengandung kedua buah hati mereka belasan tahun silam.
“Eh?" Zizi tertegun mendengar praduga sang suami, jika dipikir-pikir gejalanya sama persis saat ia hamil kedua putrinya. Sejenak ia mengingat kapan terakhir kali ia kedatangan tamu.
Benar sudah 3 bulan ini, Zizi tidak kedatangan tamu bulanan. Bagaimana bisa ia baru menyadari hal ini?
Kevin keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju nakas, mengambil sesuatu di dalam laci tersebut, kemudian ia kembali menghampiri istrinya.
“Coba tes," Kevin menyarankan dengan memberikan testpack pada sang istri.
“Bagaimana jika hasilnya negatif?" Zizi bertanya, raut wajahnya tampak sendu bercampur rasa takut, apabila hasilnya tak sesuai dengan harapan.
“Itu berarti Tuhan belum memberi izin. Tidak apa-apa. Lagipula kita juga masih memiliki bayi besar yang amat manis dan manja," Kevin berujar sambil mengusap pundak sang istri berusaha memberikan ketenangan.
Zizi mengambil testpack itu dari tangan suaminya. Sembari menunggu di kamar, Kevin membaca buku dengan bersandar di kepala ranjang.
Beberapa menit kemudian, Zizi keluar dari kamar mandi dengan berlinang air mata dan sebuah testpack di genggamannya.
Kevin bergegas menghampiri istrinya, dia berpikir mungkin hasilnya tak sesuai harapan istri, “Bagaimana hasilnya? Hei, tidak apa-apa jika negatif, Sayang."
Zizi enggan menjawab, ia hanya memberikan testpack itu pada sang suami agar melihat hasilnya sendiri.
Kevin meraih benda tersebut dari tangan istrinya, tampak dua garis merah tegas terpampang di sana. Matanya membulat tak percaya.
“Sa ... sayang ini serius?" tanya Kevin masih dengan rasa tak percayanya. Zizi mengangguk dan memeluk sang suami kemudian berbisik. “Selamat, kau akan kembali menjadi ayah untuk ketiga kalinya, Ge."
Dalam sekejap tubuh Zizi sudah melayang dalam rengkuhan sang suami dan berputar-putar, sehingga membuat Zizi terkejut.
“Thank you very much, Honey. Ti Amo," Kevin mengecup dahi sang istri. Dia sedikit berlutut di depan perut Zizi yang belum terlihat membesar itu. “Hei, Little Dexter, sehat-sehat di perut Mommy. Jangan nakal, oke? Daddy tidak sabar menunggumu."
Perlakuan manis Kevin membuat pipi Zizi merona. Rasa panas seketika menjalar di wajahnya. Oh, kenapa rasanya seperti saat hamil pertama kali? Padahal ini sudah ketiga kalinya ia hamil. Dan selama hamil pula, Kevin selalu bersikap manis padanya. Ia diperlakukan bak seorang ratu. Beruntungnya Zizi memiliki Kevin sosok suami siaga selama ia tengah mengandung.
Masih dengan kegiatan mengelus perut sang istri, kepala Kevin mendongak, “Siang nanti kita ke dokter, ya?"
Zizi mengangguk mengiyakan. Ia tak sabar ingin memberitahukan kabar bahagia ini pada kedua putrinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Aku merasa ada yang sedang merasa bahagia di sini," Lulu membuka percakapan usai sarapan pagi.
Kevin dan Zizi hanya saling melempar senyum, “Girls, bersiaplah. Dalam beberapa bulan ke depan kalian akan menyambut anggota keluarga baru."
“Maksudnya?" tanya Lulu.
“Apakah Soya akan punya adik baru?" timpal Soya. Kevin dan Zizi mengangguk.
“Serius?!" kaget Soya dan Lulu bersamaan. Kevin meyakinkan mereka.
“Ahh, akhirnya keluarga kita bertambah satu lagi!" Soya dan Lulu berpelukan.
“Mommy, selamat. Pokoknya Mommy tidak boleh kelelahan jaga adik bayinya supaya tetap sehat! Siang nanti Soya akan pergi ke supermarket untuk membeli susu ibu hamil," ucap Soya.
“Aku juga, aku akan menemani Soya membeli susu ibu hamil, popok bayi, dot bayi, dan perlengkapan lain," sahut Lulu tak kalah antusiasnya.
“Hei ... hei, tenanglah. Kami bahkan akan ke dokter kandungan siang nanti. Tidak perlu terburu-buru," Kevin berusaha menenangkan.
“Pokoknya kehamilan Mommy yang ini harus laki-laki ya, Dad. Titik tidak pakai koma!" ujar Lulu tak dapat dibantah.
“Kalau Tuhan memberikan adik perempuan lagi bagaimana, kalian tidak ingin menyayangi adik kalian?" tanya Zizi.
“Ihh, tapi Soya ingin adik perempuan. Supaya bisa diajak bermain basket, bermain hapkido, parkour, sepakbola, dan masih banyak lagi!"
“Selain itu, agar ada yang bisa meneruskan bisnis Daddy juga. Kan, tidak mungkin Lulu mengurus perusahaan terus, Lulu nanti akan menikah, Dad!" timpal Lulu.
Kevin menghela napas lelah, belum apa-apa tanggapan anaknya saja sudah seperti ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kedepannya nanti hingga bayi ini lahir.