Tidak ada pernikahan yang sulit selama suami berada di pihakmu. Namun, Rheina tidak merasakan kemudahan itu. Adnan yang diperjuangkannya mati-matian agar mendapat restu dari kedua orang tuanya justru menghancurkan semua. Setelah pernikahan sikap Adnan berubah total. Ia bahkan tidak mampu membela Rheina di depan mamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nofi Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilangnya Zahid
Piknik yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan berubah menjadi mimpi buruk bagi Rheina. Setelah Zahid menghilang, ia dan Nando berkali-kali mencoba menghubungi Adnan, tetapi panggilan mereka hanya berakhir di pesan suara. Kecemasan merayap ke seluruh tubuhnya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti seabad. Wajah Zahid yang ketakutan masih jelas di benaknya, seolah-olah setiap tangisan yang ia dengar dalam imajinasinya semakin memperdalam rasa takutnya.
"Rheina, kita harus lapor polisi sekarang juga," ujar Nando, berusaha tetap tenang di tengah kepanikannya sendiri.
Rheina mengangguk tanpa kata. Tangannya gemetar saat ia mencoba menghubungi Adnan lagi, kali ini dengan rasa putus asa yang semakin menguat. Tetap saja, tidak ada jawaban. Ketika suara pesan otomatis terdengar lagi, air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. “Zahid…” bisiknya penuh kepedihan.
Mereka segera menuju kantor polisi terdekat. Namun, di sana, permasalahan baru muncul. Saat Rheina menjelaskan situasi kepada petugas, mereka dihadapkan pada kebingungan yang tak terduga.
"Jadi, anak Anda dibawa oleh ayah kandungnya sendiri?" tanya seorang polisi dengan alis terangkat, mencoba memahami detail yang disampaikan Rheina.
“Iya, betul. Tapi ini penculikan!” jawab Rheina dengan suara tegas yang penuh emosi.
"Namun, secara hukum, ayah biologisnya masih memiliki hak untuk bertemu dengan anaknya, kecuali ada perintah pengadilan yang melarangnya. Apakah Anda punya perintah pengadilan seperti itu?" tanya petugas polisi.
Rheina terdiam. Ia tak pernah berpikir situasi akan menjadi serumit ini. Meski Adnan dan dirinya sudah bercerai, mereka belum melalui proses hukum terkait hak asuh Zahid. Jadi secara teknis, Adnan masih punya hak untuk bersama putranya. Namun, ini bukan soal hak asuh. Ini soal keselamatan Zahid. Ia tahu Adnan sedang dalam kondisi tidak stabil, dan kebiasaan buruknya, seperti judi online dan keputusannya yang sering dipengaruhi oleh ibunya, bisa membuat segalanya semakin berbahaya.
“Tidak ada perintah pengadilan, tapi Adnan tidak dalam kondisi yang baik untuk menjaga Zahid. Saya khawatir dengan keselamatan anak saya!” Rheina berusaha meyakinkan polisi dengan nada putus asa.
Polisi itu terlihat berpikir sejenak sebelum mengangguk pelan. “Baik, Bu. Meskipun ini tidak sepenuhnya bisa disebut penculikan secara hukum, kami akan mencatat laporan Anda dan mulai melakukan pencarian. Tapi tolong pahami, ini akan memakan waktu.”
Waktu. Kata itu terasa begitu menyakitkan di telinga Rheina. Setiap detik Zahid semakin jauh, dan entah apa yang bisa terjadi padanya.
Nando meremas tangan Rheina, memberikan kekuatan dalam keheningan. "Kita akan temukan dia," bisiknya, meski kekhawatiran di matanya tak bisa disembunyikan.
***
Sementara itu, di tempat lain, Adnan masih berkendara tanpa arah. Mobilnya menyusuri jalan-jalan yang semakin sepi, seperti pikirannya yang kini dipenuhi kekacauan. Zahid telah tertidur, meski wajahnya masih basah oleh sisa air mata. Anak buahnya mulai gelisah, merasa ini situasi yang tidak akan berakhir baik jika dibiarkan terus berlarut-larut.
“Kita nggak bisa terus-terusan seperti ini, Pak,” desak salah satu dari mereka. “Bawa Zahid kembali sebelum semuanya makin rumit.”
Adnan menunduk, air mata yang tadinya sudah berhenti kini mengalir lagi. Ia tahu mereka benar. Ini tidak bisa diteruskan. Namun, bagaimana ia bisa menghadapi kenyataan bahwa Zahid lebih memilih Nando sebagai ayahnya? Bagaimana ia bisa menerima bahwa Rheina telah melanjutkan hidupnya dengan pria lain? Perasaan kalah dan kehilangan yang menyelimuti hatinya tak bisa diabaikan.
"Kalau kamu kembalikan Zahid, Rheina nggak akan pernah biarkan kamu lihat dia lagi," bisikan itu muncul di kepalanya, seperti hantu yang terus menghantui. Namun, ia juga tahu, semakin lama ia menahan Zahid, semakin parah situasi ini akan berkembang.
Tiba-tiba, ponsel Adnan berdering. Desti--nama maminya tertera di layar ponsel. Wanita yang selama ini menjadi pengaruh besar dalam hidupnya. Sebuah konflik batin yang dalam muncul di benaknya—antara mengikuti kata hatinya yang ingin mengembalikan Zahid atau mendengarkan perintah maminya untuk terus memegang kendali.
“Adnan, kamu nggak boleh kalah. Jangan biarkan Rheina mengambil semuanya darimu!” suara Desti terdengar tegas di telepon.
Adnan menggenggam ponsel itu dengan erat, tapi tak segera menjawab. Pikirannya bercabang—ia berada di antara dua jalan yang sama-sama kelam.
***
Di sisi lain, Rheina dan Nando tak tinggal diam. Meski bantuan polisi bergerak lambat, Nando memiliki cara lain. Ia menghubungi beberapa temannya yang punya koneksi di berbagai tempat, mencoba mencari jejak Adnan. Rheina yang sudah kelelahan tampak semakin cemas, tapi ia menolak menyerah. Bagaimanapun caranya, ia harus menemukan Zahid.
Saat malam semakin larut, mereka mendapat petunjuk pertama. Seorang teman Nando melihat mobil Adnan di pinggiran kota, menuju arah yang tidak dikenal. Tanpa membuang waktu, Rheina dan Nando segera bergegas mengejar, berharap mereka masih punya cukup waktu.
Di dalam mobil, Rheina menggenggam erat ponsel di tangannya. Pikirannya berputar, membayangkan berbagai skenario terburuk yang bisa terjadi pada Zahid. Setiap menit terasa seperti penyiksaan. Ia tidak bisa membiarkan Adnan menghancurkan hidup mereka lebih jauh lagi.
Namun, saat mereka mendekati lokasi yang dituju, sesuatu yang aneh terjadi. Mobil Adnan yang seharusnya mereka lihat di depan mereka tiba-tiba menghilang. Seolah-olah jalan yang tadinya penuh petunjuk tiba-tiba menjadi kabur dan tak jelas.
“Di mana dia?” tanya Rheina, panik.
Nando mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang berubah begitu cepat. "Aku nggak tahu ... dia seharusnya ada di sini."
Rasa putus asa kembali menyelimuti Rheina. Zahid semakin jauh, dan entah kapan mereka bisa menemukannya lagi.
***
Di tempat lain, Adnan akhirnya menghentikan mobilnya di sebuah jalan terpencil. Ia menatap Zahid yang masih tertidur lelap, lalu memandang ke arah teleponnya yang terus berbunyi—panggilan dari ibunya. Tangannya gemetar saat ia mengangkat ponsel itu, namun kali ini ia merasa ada sesuatu yang berubah.
“Aku ... aku nggak bisa, Mi. Aku nggak bisa terus seperti ini ....” gumam Adnan pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Adnan meraih ponsel di dasbor mobil, pandangannya nanar melihat layar yang penuh dengan ratusan panggilan tak terjawab dari Rheina dan Nando. Setiap panggilan yang terlewat terasa seperti jarum yang menusuk hatinya, tetapi ia tetap terdiam selama berjam-jam, takut menghadapi kenyataan. Kini, di tengah kebingungan dan keputusasaan yang semakin mendalam, Adnan akhirnya menyerah. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol hijau, menghubungi Rheina.
Deru napasnya terdengar berat saat ia mendengar nada sambung di ujung telepon, menunggu Rheina menjawab. Tak butuh waktu lama hingga suara Rheina yang tegang dan penuh kecemasan terdengar.
"Adnan! Di mana Zahid? Apa yang kamu lakukan pada anak kita?" Suara Rheina terdengar setengah menangis, penuh ketakutan dan kemarahan.
Adnan terdiam sejenak, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia tak pernah bermaksud membuat situasi ini menjadi begitu buruk, tapi sekarang ia merasa terjebak dalam kekacauan yang ia ciptakan sendiri.
"Rhei ... aku minta maaf ..." suaranya terdengar serak, penuh kesedihan. "Aku nggak mau menyakiti Zahid. Aku nggak pernah ingin seperti ini. Tapi ... aku nggak tahu harus gimana lagi ..."
Rheina menarik napas panjang di ujung telepon, suaranya penuh dengan emosi yang bercampur aduk. "Adnan, kamu harus kembalikan Zahid sekarang juga! Kamu nggak bisa menculik anak kita seperti ini. Dia butuh aku, dia butuh kita semua."
"Aku nggak mau pisah dari Zahid, Rhei," potong Adnan dengan suara tercekik. "Aku nggak bisa ... aku tahu aku salah, tapi tolong, jangan pisahkan aku dari anakku. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku masih ada untuknya, bahwa aku bisa jadi ayahnya ..."
"Tapi kamu sudah menyakitinya, Adnan!" teriak Rheina, tak bisa menahan lagi amarah dan kepedihannya. "Zahid ketakutan padamu! Dia menangis! Apa kamu sadar betapa takutnya dia sekarang?"
Adnan terdiam mendengar itu, rasa bersalah semakin menggerogoti hatinya. "Aku ... aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan ... Aku hanya ingin semuanya kembali seperti dulu," isaknya pelan.
"Ini bukan tentang masa lalu, Adnan," suara Rheina mulai lebih tenang, tetapi tegas. "Ini tentang Zahid dan keselamatannya. Jika ka.u benar-benar peduli padanya, ka.u harus kembalikan dia sekarang. Jangan biarkan rasa egoisme menghancurkan hidupnya."
Kata-kata Rheina seperti pisau yang menyayat hati Adnan. Ia tahu Rheina benar, tapi rasa takut kehilangan Zahid menghantuinya, membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, semakin lama ia berpikir, semakin jelas baginya bahwa ia tidak bisa memperbaiki hubungan dengan Zahid dengan cara ini.
"Aku akan kembalikan Zahid," kata Adnan akhirnya, suaranya bergetar. "Tapi tolong... jangan buat aku kehilangan dia sepenuhnya."
Di ujung telepon, Rheina menarik napas panjang, air mata mulai menggenang di matanya. "Adnan, kalau kamu benar-benar ingin jadi ayah yang baik untuk Zahid, kamu harus tunjukkan itu. Bukan dengan menculiknya, bukan dengan kekerasan. Tapi dengan cinta dan pengertian."
Adnan mengangguk, meski Rheina tak bisa melihatnya. Ia memandang Zahid yang tertidur di kursi belakang, wajah anak itu masih menunjukkan bekas air mata dan ketakutan. Dengan penuh rasa bersalah, Adnan menyeka air matanya sendiri dan mulai menyadari bahwa satu-satunya jalan keluar dari situasi ini adalah dengan memperbaiki kesalahannya.
"Aku akan kembalikan Zahid sekarang," ulangnya dengan suara pelan, tetapi tegas, berharap ini adalah awal dari perbaikan, bukan akhir dari segalanya.