anatasya deanza putri, berusia 17 tahun.
Semula, Dia hidup dalam keluarga yang penuh dengan cinta. Rumah yang selalu menjadi tempat ternyaman baginya, rumah yang selalu memeluknya saat dia rapuh. Namun, tiga tahun yang lalu saat berusia 14 tahun, Segalanya berubah. Dirinya dituduh sebagai seorang pembunuh, dan penyebab meninggalnya bunda. Hari demi hari dia lewati dengan rasa sakit dari keluarganya.
Rumah yang dulu menjadi tempat dia berlindung. Kini rumah itu menjadi tempat penyiksaan dan rasa sakit bagi fisik maupun mentalnya.
Akankah gadis itu terus bertahan sampai akhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowerrrsss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 34
~chat~
Tasya : "kak robert sakit kak, badannya panas"
Bryan : "udah minum obat?"
Tasya : "udah kak baru aja"
Bryan : "papah udah sadar"
Tasya : "alhamdulillah, akhirnya papah sadar"
Senyum tasya terukir saat membaca pesan dari kakak sulungnya itu, hatinya sangat merasa lega dan senang. Dia menoleh ke arah kakaknya yang sedang terbaring lemas di sofa. Tadinya, tasya ingin memberitahu kakaknya itu tentang papah yang sudah sadar. Tetapi, melihat kakaknya yang sudah tertidur, tasya pun tak tega. Tasya sangat bingung saat itu, dia tak mungkin meninggalkan robert sendirian. Tetapi, dia juga ingin melihat dion.
"bi ira kemana ya"
Tasya mulai menaiki anak tangga satu per satu menuju kamarnya. Kini tasya tiba di depan pintu kamar tersebut. Rasanya rindu sekali dengan kamar itu, dia rindu menangis di sana.
Perlahan, tasya membuka pintu kamar, dia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar tersebut. Dia melihat setiap sisi di kamarnya.
"padahal belum lama, tapi kenapa kangen banget ya sama kamar ini"
Tasya meraih bingkai foto kecil yang berada di meja samping ranjangnya, foto itu adalah foto saat dirinya masih kecil bersama dengan bunda dan papahnya.
Saat tasya sedang merenung. "non!" seseorang memanggil tasya.
Tasya sangat mengenali suara itu, dia berlari keluar kamarnya.
"bi ira!" sahut tasya saat melihat bi ira kini di hadapannya.
Mereka saling berpelukan, menuai rasa rindu.
"kangen banget sama bibi" ucap tasya.
"bibi juga kangen banget sama non tasya" balas bi ira, mereka masih dengan posisi berpelukan.
Tasya melepas pelukan tersebut. Kini, dia menatap bi ira dengan senyum yang terukir di wajahnya, dia sangat bahagia karena dapat bertemu dengan bibinya itu.
"oh iya non, itu den robert demam ya"
Raut wajah tasya seketika berubah menjadi sedih. "iya bi, kak robert sakit. Tapi tadi udah minum obat kok"
"iya non" bi ira mengusap lembut rambut tasya yang sedang terurai.
"bi, aku harus kembali ke rumah sakit. Papah udah sadar bi" ucap tasya dengan melekatkan kembali senyumnya.
"syukur non, akhirnya tuan udah sadar" ucap bi ira yang ikut merasa senang.
"iya bi, makanya aku harus balik ke rumah sakit untuk ngeliat kondisi papah. Aku nitip kak robert ya bi, kalau ada apa-apa kabarin aku aja bi"
"iya non kaya sama siapa aja, udah tugas bibi juga buat ngurus dan ngejaga kalian kalau lagi sakit"
"makasih ya bi" tasya kembali memeluk bi ira sebagai ucapan terimakasihnya.
"aku berangkat ya bi"
Saat tasya hendak melangkah pergi. Tiba-tiba, bi ira menahan tangan tasya. Membuat tasya reflek menoleh ke bi ira.
"non gapapa?" ucap bi ira yang merasaa khawatir.
"gapapa kok bi, aku yakin papah bakal nerima keberadaan aku di sana" sebenarnya tasya ragu dengan ucapannya. Tetapi, dia berusaha membuang pikiran buruknya.
☆☆☆☆☆
Kini tasya telah tiba di rumah sakit, dia melangkah menuju ruangan dion dengan rasa takut yang membara pada dirinya.
Tasya berhenti sejenak, dia berusaha menenangkan hati dan pikirannya, dia mengatur nafasnya agar stabil. Entah kenapa perasaan takutnya seperti menguasai dirinya.
"tenang tasya tenang"
Saat merasa perasaan sudah lebih baik, dia melanjutkan kembali langkahnya.
Tasya pun tiba di depan pintu ruangan dion di rawat. Perlahan, tasya mulai membuka pintu tersebut.
Bryan, william dan dion sontak menoleh ke arah pintu. Melihat kedatangan tasya di sana, bryan dan william saling bertatapan satu sama lain. Lalu, keduanya menatap dion yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit.
Dion menatap mata anak bungsunya itu. Melihat dion yang terus menatapnya, tasya hanya bisa berdiam diri dan mematung.
"ngapain kamu ke sini" ucap dion.
"bryan yang ngasih tau pah"
Kini dion menatap putra sulungnya itu. "untuk apa kamu ngasih tau dia?"
"semua juga bryan kasih tau pah, bukan cuma tasya" bryan berusaha mencegah adanya keributan di sana.
"harusnya gausah ngabarin dia, pasti dia malah senang kalau papah sakit kaya gini"
William berjalan mendekat ke arah pintu.
"jangan diam aja kalau ga benar" bisik william saat dirinya berada dekat dengan tasya. William pun keluar dari ruangan itu.
Tasya mencerna perkataan kakaknya tadi. William benar, seharusnya tasya tak diam begitu saja, seolah-olah yang di katakan oleh papahnya itu adalah benar.
"itu ga benar pah, malah aku senang banget pas kak bryan ngasih tau aku soal papah yang udah sadar"
mendengar perkataan anak bungsunya itu, dion membuang pandangannya dari tasya ke arah lain.
"papah gausah banyak pikiran dulu ya, gausah banyak gerak juga. Papah istirahat aja" ucap bryan.
"bawa dia pergi dari sini bry" ucap dion sambil menunjukkan ke arah tasya.
Bryan menatap adiknya itu. Entah kenapa, bryan seolah mengerti apa yang di rasakan oleh adiknya itu.
"niat tasya baik pah, dia sayang sama papah, dia peduli sama papah. Bahkan, waktu papah belum sadar pun, tasya udah di sini pah, nemenin papah"
"saya ga mau ada dia di sini bryan, bawa dia pergi, saya ga mau liat muka dia. Lagian kamu kenapa malah belain dia"
"iya pah, papah istirahat ya. Aku sama tasya keluar dulu" bryan melangkah ke arah pintu. Lalu menarik tangan tasya untuk keluar dari ruangan itu.
"papah sebenci itu ya sama aku kak?" ucap tasya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Bryan kembali menatap mata adik bungsunya itu. "mungkin papah belum bisa nerima"
"kenapa sekarang kakak jadi baik sama aku?" ucap tasya heran dengan sikap kakak sulung nya itu. Sebenarnya tasya merasa senang dengan sikap kakak sulungnya itu belakangan ini.
Mendengar perkataan tasya, bryan mengalihkan pandangannya dari adiknya itu. Dia juga tak mengerti dengan sikapnya sendiri belakangan ini kepada adik bungsunya itu.
"lo maunya gue gimana? Lo mau gue kasar sama lo?"
Tasya menggeleng. "aku senang sama sikap kakak yang sekarang ke aku, kakak ga pernah kasar sama aku. Aku mau kakak yang kayak gini setiap saat. Aku rindu kak"
"gue lapar sya, mau cari makan dulu" ucap bryan sambil melangkah pergi meninggalkan tasya sendiri.
Tasya tersenyum saat melihat kakak sulungnya itu yang mulai menghilang dari pandangannya.
Kini william menghampiri tasya yang sedang sendiri di depan ruangan dion.
"di dalam ada siapa?" tanya william.
"ga ada siapa-siapa kak, kak bryan lagi cari makan, katanya lapar"
"kenapa kamu ga nemenin papah?"
"papah yang minta aku buat keluar kak"
"butuh waktu buat kita untuk nerimanya sya"
Tasya terdiam saat mendengar ucapan william yang sedikit menggores hatinya.
"oh iya sya, gue perlu ngomong sama lo soal kevin"
Tasya mendongak dan menatap sang kakak.
"kenapa kak? Ada apa sama kak kevin?" tanya tasya penasaran.