Kisah cinta si kembar Winda dan Windi. Mereka sempat mengidamkan pria yang sama. Namun ternyata orang yang mereka idamkan lebih memilih Windi.
Mengetahui Kakanya juga menyukai orang yang sama dengannya, Windi pun mengalah. Ia tidak mau menerima lelaki tersebut karena tidak ingin menyakiti hati kakaknya. Pada akhirnya Winda dan Windi pun tidak berjodoh dengan pria tersebut.
Suatu saat mereka bertemu dengan jodoh masing-masing. Windi menemukan jodohnya terlebih dahulu dibandingkan Kakaknya. Kemudian Winda berjodoh dengan seorang duda yang sempat ia tolak lamarannya.
Pada akhirnya keduanya menjalani kehidupan yang bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Babah
Tomi langsung mengalihkan pandangannya ke segala arah. Ia takut melihat bosnya.
"Ngeri juga kalau bos cemburu. Harus segera cabut nih!." Batinnya.
Windi baru menyadari jika saat ini suaminya sedang menahan sesuatu. Ia langsung berhenti tertawa, dan mengeluarkan jurusnya.
"Sayang, jangan salah paham dulu. Aku tertawa karena merasa lucu dengan panggilan Kak Tomi kepadaku. Nonya Bos...haha..." Ujar Windi seraya merangkul lengan atas suaminya.
Sontak Javier mengulum senyumnya. Ia senang bukan karena penjelasan istrinya, tapi karena panggilan sayang dan tingkah manja istrinya kepadanya. Emosinya pun mereda, sontak tangannya terangkat dan mengelus pipi istrinya.
"Duh kayaknya aku salah tempat. Begini nih kalau dekat-dekat orang yang sedang jatuh cinta. Pengantin baru pula. Jiwa jomblo ku meronta-ronta. " Batin Tomi.
"Tomi! Dipanggil malah bengong."
"Iya, iya Bos. Maaf tadi nggak fokus. Kalau begitu saya segera pulang saja, Bos. Selamat menikmati cuti anda."
"Oke, Terima kasih. Hati-hati di jalan, Tom."
"Iya, Bos. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. "
Setelah kepergian Tomi, mereka kembali ke kamarnya. Karena semua orang rumah juga sudah masuk kamar. Malam ini mereka tidur dengan tenang tanpa kegiatan seperti malam sebelumnya. Saat ini Javier hanya bisa memeluk istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya membelakanginya.
Lima hari berlalu.
Satu minggu menjadi seorang istri, membuat Windi banyak belajar tentang arti pengabdian dan kesabaran. Ia masih terus mencoba memahami kebiasaan suaminya, makanan kesukaannya, dan apa yang tidak disukai suaminya.
Begitu pula dengan Javier. Dengan status barunya sebagai suami, ia belajar memahami kebiasaan istrinya, dan belajar mengerti keinginannya.
Hari ini, Windi akan diboyong suaminya ke rumah Babah. Babah dan Ummah menjemput mereka. Sesuai perjanjian awal, Windi akan ikut bersama suaminya. Windi menyiapkan barang-barang yang akan dia bawa. Sebenarnya berat rasanya Windi meninggalkan rumah tempat tinggalnya dari masa ia kecil sampai saat ini. Namun sekarang ia harus mengikuti kemana pun suaminya pergi. Tidak terasa matanya berkaca-kaca.
"Sayang, kamu kenapa?"
"Nggak pa-pa. Aku hanya merasa sedikit sedih, Mas."
"Sayang, kamu bukan meninggalkan kota ini. Kita masih di kota yang sama dengan keluargamu. Aku janji setiap seminggu sekali kita akan menginap di sini."
"Iya, Mas."
Mereka keluar dari kamar dan berpamitan kepada semua keluarga yang ada di rumah. Kebetulan Winda dan Fadil juga baru sampai rumah.
"Bu Haji, saya titip Windi. Meski Windi sudah cukup dewasa, tapi dia masih sangat belia bagi kami. Tolong ajarkan dia apapun yang belum dia tahu."
"Bu Salwa, anda jangan khawatir. InsyaAllah Windi akan baik-baik saja bersama kami. Dia bukan kami anggap sebagai menantu, tapi akan kami anggap anak sendiri."
Ummah memeluk Bunda Salwa. Windi memeluk keluarganya satu persatu. Ia berusaha menyunggingkan senyumnya meski sebenarnya ia sedih. Fadil mengusap puncak kepala adiknya yang biasanya selalu ia jahili. Sekarang hanya ada Winda yang akan menjadi sasaran kejahilannya.Namun Winda yang lebih pendiam dibandingkan Windi, jarang sekali dijahili Abangnya.
Saat memeluk Bunda, Windi diberi nasihat lagi.
"Ingat, jaga sikap ya. Rumah ini selalu terbuka untuk kalian. Kapan pun kamu merindukan kami, pulang lah. Bunda yakin suamimu akan mengerti. "
"Iya Bunda."
Akhirnya mereka meninggalkan kediman Abi Tristan.
Setelah kepergian mereka, Bunda Salwa langsung masuk ke kamarnya. Diam-diam ia menangis. Abi Tristan menyusul ke kamar.
"Kenapa lagi, Bunda?"
"Windi, by."
"Windi dibawa suaminya."
"Iya bi. Anak itu masih manja. Aku takut dia tidak bisa beradaptasi dengan keluarga suaminya."
"Bunda, Windi jauh lebih dewasa dari Fatin saat Fadil menikah. Windi memang manja, tapi anak itu bisa mandiri. Percayalah, Windi akan baik-baik saja. Kalau kamu menangisinya, aku bakal jemput dia kembali."
"Eh tidak-tidak... bukan gitu juga. Namanya juga seorang Ibu, by. Wajar kalau aku khawatir. Karena baru pertama kalinya dia jauh dari kita."
"Ya sudah! Biar nggak kepikiran lagi, sekarang aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Ayo bersiap."
"Ke mana, by?"
"Nanti juga tahu. Ayo cepat!"
Bunda Salwa menggendong tas kecilnya lalu berjalan mengikuti suaminya. Abi Tristan akan mengajaknya ke pulau kecil miliknya, agar Bunda Salwa bisa refreshing.
Sedangkan Winda, ia hanya bisa menahan air matanya melihat kepergian saudari kembarnya. Ia melihat dari atas balkon kamarnya.
"Semoga kamu bisa menjadi istri yang baik, dek." Batinnya
-
Windi, Javier, dan kedua orang tua Javier baru saja sampai di rumah. Hari ini pertama kalinya Windi menginjakkan kaki di rumah itu. Bahkan saat mereka resmi bertunangan pun, Windi tidak pernah datang ke sana.
"Selamat datang di rumah kami. Semoga kamu betah ya, Nak." Ujar Ummah.
"Terima kasih, Ummah."
Rumah itu nampak sepi, karena Fathia sudah kembali ke Kairo Sedangkan Kanzha berada di rumahnya sendiri. Di dalam rumah hanya ada beberapa asisten rumah tangga. Mereka dipanggil oleh Ummah untuk diperkenalkan kepada Windi. Windi pun tak segan bersalaman dengan mereka.
Setelah berkenalan dengan para asisten rumah tangga, Ummah mengajak Windi home tour agar Windi tidak kesulitan di rumah suaminya. Ia harus tahu posisi ruangan yang ada di rumah itu.
"Mungkin rumah ini tak sebesar rumahmu, tapi Ummah berharap kamu merasa nyaman di sini."
"InsyaAllah, Ummah."
"Javier, sekarang bawa istrimu ke kamar."
"Iya, Ummah."
Javier membawa istrinya naik ke atas menuju kamarnya.
"Assalamu'alaikum... selamat datang di kamar kita. Semoga betah ya. "
"Terima kasih." Ujar Windi seraya tersenyum.
Ia memperhatikan sekeliling kamar suaminya. Kamar dengan nuansa gold dan putih serta ada beberapa pula berjejer di lemari. Piala tersebut didapatkan oleh sang suami saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dulu. Ada juga tropi penghargaan pemimpin perusahaan termuda. Ia tidak menyangka ternyata suaminya sangat berprestasi.
"Sayang, di sini ruang wall in closed. Bajunya aku bawa masuk ke sini."
"Iya, Mas."
Windi pun masuk ke ruangan itu. Ia membantu suaminya menata baju.
Malam harinya.
Windi ke dapur untuk membantu asisten rumah tangga menyiapkan makanan malam.
"Mbok ada yang bisa dibantu?"
"Eh Nona, tidak usah. Nona duduk saja."
"Nggak pa-pa Mbok. Saya mau bantu-bantu."
"Tapi, Non... "
"Surti, ndak pa-pa. Biarkan menantuku membantu."
"Oh iya, baik Nyonya. Ini Non."
Windi pun tersenyum. Ia membantu mengangkat beberapa piring dan menu makanan dengan nampan ke meja makan. Ia menata beberapa makanan dan piring seperti yang biasa ia lakukan di rumahnya.
"Terima kasih, Nduk." Ujar Ummah.
"Sama-sama, Ummah."
Tidak lama kemudian, Babah dan Javier datang. Mereka duduk di kursi masing-masing. Ummah melayani Babah. Dan Windi melayani Javier Sungguh pemandangan yang sangat indah. Mereka makan dengan nikmat. Ummah dan Babah tersenyum melihat anak dan menantunya yang begitu harmonis. Itulah yang mereka harapkan selama ini. Mereka bersyukur Javier memiliki pasangan yang baik dan mencintainya.
Bersambung....
...****************...