Anna, seorang wanita yang berjuang dari penderitaannya karena mendapatkan suami pemalas dan juga mertua yang membencinya serta istri dari ipar-iparnya yang selalu menghasut sang mertua untuk menciptakan kebencian padanya. siapakah Ana sebenarnya, bagaimana kisah masa lalunya, sehingga membuat ibu mertuanya begitu membencinya dan siapa dalang dari semua kebencian tersebut?
Bagaimana kelanjutannya, ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bekerja-3
Aku dan Alif berjalan menuju warung Bang Buyung. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Maka aku harus memperlihatkan dedikasi jika aku bersungguh untuk mencari nafkah.
"Alif masih kuat jalan, Nak?" tanyaku padanya. Kami sudah berjalan sekitar 500 meter dari rumah ibuku.
"Masih, Bu," ucapnya dengan semangat. Aku menatapnya dengan rasa iba. Bagaimana tidak, aku harus mengorbankan masa kanak-kanaknya yang seharusnya sudah bersekolah di TK ataupun masa bermainnya, tetapi ia harus ikut merasakan penderitaan yang yang ku alami.
"Kalau tidak kuat berjalan, bilang sama ibu, ya. Biar ibu gendong," pesanku padanya.
"Iya, Bu," sahutnya cepat, dan mengulas senyum ceria. Seketika hatiku merasakan semangat yang datang tiba-tiba melihat senyum manisnya. Hanya ia sebagai penyemangat dalam hidupku.
Dari kejauhan sudah terlihat plang yang terbuat dari besi dengan bertuliskan 'Rumah Makan Padang' yang berdiri dipinggir jalan.
Aku menggendong Alif, agar mempercepat langkahku untuk tiba ditempat kerja.
"Assalammualaikum, Bang," ucapku dengan sopan.
"Waalaikum salam. Eh, Anna. Mari masuk," sapanya dengan ramah. Tentu saja ia mengenalku, sebab warung ini berdiri sebelum aku lahir, dan ayah sering membawaku kemari jika panen padi melimpah.
"Apa yang bisa ku kerjakan, bang?" tanyaku padanya.
"Oh, ini. Kamu sudah bisa mulai mencuci piring sisa memasak tadi." tunjuknya pada belanga dan berbagai peralatan masak lainnya.
Aku menganggukkan kepalaku, lalu bergegas menuju dapur untuk mencuci piring yang sudah menumpuk.
"Alif, kamu jangan kemana-mana, ikut ibu disini, sebab warung ini dipinggir jalan lintas, bahaya," pesanku padanya.
Ia menganggukkan kepalanya, lalu mengambil kursi plastik dan duduk menungguiku. Akupun memulai pekerjaanku dengan sepenuh hati, sebab aku tidak ingin merepotkan siapapun.
"Ann, gajimu sembilan ratus ribu sebulan, ya," tiba-tiba bang Ujang berdiri diambang pintu untuk memberitahu tentang gajiku, meskipun aku tidak ada bertanya padanya.
"Iya, Bang," sahutku cepat.
"Kamu tidak masalahkan? Sebab kamu baru pertama masuk bekerja," ucapnya dengan rasa yang sedikit sungkan.
"Tak masalah, Bang. Yang penting aku bekerja," jawabku dengan ikhlas. Pria itu tersenyum mendengar ucapanku, lalu pergi kembali ke depan warung makan miliknya karena ada pembeli meskipun masih pagi, karena ia menjual sarapan lontong gulai pucuk paku alias pakis khas Minang.
Ku bersihkan seluruh dapur dan cucian peralatan memasak dengan secepatnya. Setelah itu ku bersihkan semua lantai yang kotor.
Tak berselang lama, terlihat Mbak Dian yang baru saja pulang dari pasar dengan membawa berbagai belanjaan yang pastinya untuk memasak hari ini.
Ia tercengang melihat dapur yang sudah bersih mengkilap dengan sekejap, tampak ia menyukai pekerjaanku.
"Anna," sapanya padaku. Aku menjawab sapaannya dengan seulas senyum bahagia.
"Iyaz Kak." Sahutku
"Semoga betah bekerja disini, Ya," ucapnya.
"Insya Allah, Kak"
Ia membalas senyumku, lalu mengeluarkan semua barang belanja dan aku ikut membantunya, meskipun itu bukan bagian dari tugasku.
*****
Hari beranjak siang. Semua lauk pauk sudah terhidang. Pekerjaan seperti ini adalah hal yang mudah bagiku, sebab aku terbiasa saat masih bersama ibu mertuaku.
Bekerja sebagai pencuci piring tak membuatku harus minder, toh aku mencarinya dengan jalan halal. Beruntungnya Alif tidak rewel dan ia mengerti akan kondisi ibunya yang mencari nafkah.
Saat makan siang tiba. Jatah makanku haru ku bagi berdua dengan puteraku. Tak mengapa, yang penting anakku tidak kelaparan. Aku suapin ia dengan tetalaten. Saat ia mengatakan sudah kenyang, baru aku memakan sisanya. Aku tau jika perutku masih lapar, tetapi aku harus tau diri untuk tidak meminta tambah, aku takut jika nanti Bang Buyung akan ilfill padaku.
Ku percepat makanku yang hanya tinggal sedikit saja, agar dapat beristirahat sejenak.
Ku lihat warung makan milik Bang Buyung cukup ramai. Apalagi saat jam istirahat, maka orang-orang yang bekerja dibagian instansi pemerintahan memilih makan ditempat aku bekerja. Sebab selain harga yang cukup terjangkau, juga dengan cita rasa yang terjamin sangat enak.
Aku bergegas bangkit dari dudukku dan ikut membantu melayani para pembeli. Aku tidak tega melihat sang pemilik warung yang kewalahan, dan aku menyukai pekerjaan ini, maka semua ku lakukan dengan ikhlas.
Sebenarnya aku lebih suka bekerja. Sebab selain memiliki penghasilan, aku juga tidak seharian dirumah yang mana harus bertemu dengan ibuku.
Sudah dua hari aku dalam pelarianku. Tak ada juga kabar dari bang Johan yang berniat untuk menghubungiku, apakah ia melupakanku, atau tidak ingin menjemputku? Ah, sudahlah, mungkin sudah takdirku yang harus hidup tanpa diperhatikan.
*****
Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Warung makan akan segera tutup. Aku berberes dan membersihkan semuanya. Jangan ditanya bagaiamana rasanya letih tubuhku yang saat ini ingin segera beristirahat.
Setelah menyelesaikannya, aku berpamitan pulang. Aku baru menyadari jika aku harus pulang dengan berjalan kaki. Rasa lelah ditubuhku jangan lagi ditanya, apalagi betisku yang berjalan mondar-mandir ikut melayani pembeli dan mencuci piring sudah pasti sangat terasa.
Ku lihat Alif sudah terlelap dengan tertidur diatas kursi plastik karena kelelahan menungguku.
Kuraih tubuhnya yang terbilang kurus, lalu kudekap dan aku menuju pulang.
Udara dingin menusuk tulang dengan begitu kuat. Aku yang sudah lelah bekerja seharian harus menguatkan betis kakiku untuk berjalan pulang karena tidak ada yang menjemputku.
Ku ayunkan langkah ditepian jalanan yang mulai sunyi. Aku berharap mendapatkan tumpangan dari tetangga yang kebetulan lewat, sebab menggendong tubuh Alif membuat betis kakiku semakin berdenyut, tetapi aku tidak tega jika untuk membangunkannya.
Tiiiin....
Sebuah klakson mobil cold diesel terdengar sangat nyaring, lalu ia berhenti untuk menawarkan tumpangan. Tetapi aku melihat senyumnya yang penuh seringai, dan aku menggelengkan kepalaku.
"Maaf, Pak. Rumah saya dekat," tolakku padanya. Aku sangat takut jika menumpang dengannya, bisa saja ia berbuat aneh dan aku harus waspada.
Mendengar penolakanku, ia pun bergerak pergi. Sebenarnya aku sangat mengharapkan tumpangan, tetapi setidaknya aku waspada.
Setelah jauh berjalan, aku tiba dirumah. Pintu sudah ditutup. Ku coba mengetuk pintu, tetapi tak ada sahutan. Aku mengira jika merek sudah tidur. Lalu ku ketuk kembali pintu, dan terdengar sahutan dari dalam, aku tahu itu kak Meli, dan ia bergegas membuka pintu.
"Lama sekali, dek," tanyaku padanya dengan suara yang sangat serak.
"Iya, Kak, baru pulang, dan aku berjalan kaki," sahutku.
Ternyata ibuku belum tidur. "Kalau mau naik motor ya diisi bensinnya, jangan main pakai tetapi tidak tahu mengisi," ucapnya dengan ketus.
Aku merasakan bukan saja capek fisik, tetapi juga capek hati dan mental menghadapi setiap ocehan ibuku.
"Tuhan, apa salahku? Mengapa aku terlahir dengan segala penderitaan yang tiada akhirnya," gumamku lirih dalam hati.