Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 : Membuka pintu
Saka terbangun dengan mata yang terbuka perlahan. Kali ini dia bangun dengan lebih segar dari malam-malam sebelumnya. Apakah dia tidak bermimpi buruk lagi?
Hal pertama yang dia lihat adalah kepala Ara yang menyandar di pinggir tempat tidur. Sebelah tangannya menggenggam tangan Saka, sebelah lagi menumpu kepalanya sendiri sebagai bantalan
Saka tidak ingin kehilangan momen ini, dia ingin menikmatinya walau sebentar. Mungkin beberapa saat lagi dia harus berubah menjadi orang lain.
Jantung Saka berdetak lebih kencang ketika rasa itu mengalir merasuk ke dalam dadanya. Rasa ngilu di dalam jantungnya membuat Saka harus melepaskan genggaman tangan Ara. Ada apa denganku? Batin Saka.
Saka duduk di tepi ranjang, dan seketika tahu ada Mahesa yang masih terbaring di tempat tidur sebelah. Saka tidak mengerti, kenapa Mahesa bisa ada di sini?
Saka memindahkan Ara ke atas tempat tidur. Untungnya dia tidak terbangun. Melihat wajah Ara yang terlelap, hati Saka mau tidak mau harus berdesir. Dia ingin sekali memeluknya namun entah kenapa kepalanya kembali terasa sakit.
"Jangan coba-coba menyentuhnya."
Mahesa bangun lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil memandang Saka tepat di matanya.
"Aku nggak tahu gimana bisa di sini tapi aku tidak akan mengizinkanmu menyentuhnya sebelum..." Mahesa terbatuk beberapa kali.
"Sepertinya kamu dibawa ke sini karena sakit. Istirahatlah dan diamlah."
Saka berjalan menjauhi Mahesa tapi Mahesa masih berkata lagi.
"Kalau kamu mau sama Risty, paling nggak kamu bilang dulu ke Ara, jadi dia tidak menyimpan perasaannya padamu sampai lama. Lebih baik sakit sekarang daripada kamu terus-terusan memberikan harapan padanya."
Saka membalikkan badan dan menghadapi Mahesa. Dia tidak tahu dari mana Mahesa bisa tahu dia pernah bersama Risty. Apakah saat ulang tahun hotel itu?
"Dari mana kamu tahu Ara punya perasaan padaku?" tanya Saka ketus.
"Kamu nggak lihat tangannya genggam tangan siapa?"
Saka membuang muka. "Aku titip Ara sama kamu saja."
"Dia bukan barang yang bisa seenaknya saja kamu buang atau kamu titipkan ke orang lain setelah nggak kamu butuhkan lagi. Akhiri saja. Minta maaf padanya lalu jangan muncul lagi kalau kamu benar-benar nggak punya rasa apa-apa."
Saka menggertakkan rahangnya. Ditantang begitu oleh Mahesa membuat perasaannya semakin membuncah.
"Kamu nggak tahu apa-apa, Mahesa."
Mahesa turun dari tempat tidurnya lalu mendekati Saka dengan langkah gontai.
"Yang aku tahu cuma...Ara cinta sama kamu. Kamu harusnya nggak begini. Aku bisa mundur demi kebahagiaan Ara, tapi kalau kamu nggak bisa, lebih baik lepaskan saja."
Mata keduanya bertemu, bersitatap bagaikan api dan es. Berbeda senyawa namun mengisyaratkan satu tujuan. Dada Saka seketika terasa nyeri mendengar kata cinta dari mulut Mahesa.
Mata Ara perlahan membuka. Pandangan pertama yang dia lihat adalah tangan Mahesa yang meraih leher kaos Saka. Ara seketika bangun dan menyempil di antara keduanya sambil menjauhkan tangan Mahesa dari leher Saka
"Weits...ada apa ya ini? Kenapa kalian kelihatan akrab sekali?"
"See? Orang yang tidak peduli tidak akan begini." Mahesa menjauhkan tangannya dari badan Saka kemudian mundur perlahan.
"Kamu sudah sembuh, Mahesa? Demammu sudah turun? Gimana kalau kita pulang secepatnya saja? Dan...Mas Saka gimana? Tidak ada yang terasa sakit lagi kan? Sehat? Tenang?" Ara bolak-balik menanyai keduanya.
Saka memandang Ara sekilas. Rasa tertusuk di jantung itu muncul lagi, kali ini dibarengi dengan hujaman rasa sakit yang sama di kepalanya. Saka menekan dadanya sendiri dan berusaha menyembunyikan rasa sakitnya di depan Ara. Namun semakin terasa sayang, semakin terasa sakit di dada.
Saka terbatuk berkali-kali.
"Aduh! Apa kamu juga sudah ketularan Mahesa?"
Saka tidak bisa menahan kepalanya yang hampir limbung. Dia sempoyongan mencari sandaran ke tembok.
"Mas Saka kambuh lagi?"
Ara ragu untuk menyentuh Saka karena terasa ada yang berbeda terpancar dari mata Saka. Mata yang mengumpulkan rasa takut dan kebencian.
"Menjauh dariku, Ara."
"Kamu segitu bencinya sama aku?"
Ara hampir menangis ketika ingat bagaimana dia berusaha menyelamatkan Saka. Ketika bibirnya mulai percaya dan tidak takut lagi.
"Mahesa, bawa Ara pergi!"
Mahesa yang tak paham kenapa Saka memintanya menjauhkan Ara darinya terlihat bingung. Ara merasa ada yang aneh di sini. Kecemasan Saka tidak pernah membuat Saka menyuruhnya pergi menjauh.
"Ara..." Mahesa ingin meraih tangan Ara namun Ara malah mendekati Saka.
"Benarkah kamu ingin aku pergi menjauh?" Ara bertanya sekali lagi.
Ara sudah berkali-kali menghindari perasaannya tapi semakin lama dipendam semakin sakit. Ara ingin kepastian dari Saka sekarang juga agar kegalauan hatinya berakhir. Gantung perasaan seperti ini sungguh menyendat irama langkahnya untuk menapaki jalan selanjutnya.
Saka terlihat menahan sakit sambil menunduk. Hati Ara hancur ketika melihat Saka kesakitan.
"Ini bukan kamu, Mas. Kamu nggak seharusnya kayak gini."
Ara menangkupkan kedua tangannya di samping kepala Saka. Seketika Saka memandangnya dengan tatapan memelas, tatapan yang sama ketika Ara melihatnya di hotel bersama Risty.
Ara bisa merasakan ada orang lain yang berusaha menutup jati diri Saka dan mengendalikannya.
"Aku nggak akan membiarkan siapapun menyakiti kamu seperti ini. Kamu punya kendali atas dirimu sendiri, Mas. Kamu punya sejati yang baik. Keluarlah dari sana."
Ara menempelkan dahinya ke dahi Saka. Saka mengerang sambil memejamkan matanya. Kamar keemasan itu muncul bergantian dengan kehidupan nyata dalam pikiran Saka. Ara membuka pintunya dari luar kemudian perlahan-lahan menarik tangan Saka keluar dari dalam kamar itu lalu menutup pintunya.
Sakit di kepala Saka perlahan memudar. Dia membuka matanya perlahan-lahan. Ara menjauhkan kepalanya demi bisa melihat mata Saka.
Dari dalamnya mata Saka, Ara bisa sedikit bernafas lega. Mata itu sudah kembali terisi sejatinya Saka meskipun Ara tahu masih ada yang mengikat Saka.
Ara jatuh terduduk. Tenaganya bagaikan terkuras habis.
Mahesa cepat menahan badan Ara yang limbung. "Kamu kenapa, Ra?" tanyanya cemas.
"Nggak papa. I'm ok."
Sedetik kemudian tubuh Saka menghambur memeluk Ara sambil berkata, "Aku tahu kamu akan datang, tapi kamu nggak boleh kenapa-kenapa, Ara."
Dipeluk begitu oleh Saka membuat Ara terpaku. Jantungnya masih berdegup-degup gugup, tapi kali ini Ara tidak lagi melawannya. Dia menerimanya dengan hati yang terbuka. Mungkin ini sudah saatnya dia berhenti ketakutan dan dekat dengan Saka.
Ara hanya ingin memberikan apa yang dia punya dan menggandeng Saka, membantu Saka keluar dari semua sisi gelapnya.
"Maaf aku terlambat menyadari." kata Ara sambil menepuk-nepuk punggung Saka.
Mahesa ingin pergi menjauh tapi tangan Ara menahannya. Jadilah mereka bertiga bertautan dalam ikatan cinta dan kasih sayang yang sejati. Pertemuan mereka untuk kesekian kalinya bukanlah suatu kebetulan, tapi sebuah keinginan hati yang terkabulkan.
...* * * * *...
Sarah merasakan kepalanya berdenyut. Dia sudah lama tidak sakit kepala seperti ini kecuali jika darah tinggi menghadapi Ara. Kali ini rasanya berbeda.
"Mama sakit kepala juga?" Alan yang sedang makan jamur crispy di meja makan melihat Mamanya terdiam sambil memijit dahinya.
Sarah duduk di kursi meja makan berhadapan dengan Alan. "Iya. Kamu juga sakit kepala?"
"Dikit. Mama minum obat aja kalau nggak tahan."
"Mama tau bukan itu, Alan. Mama mau telpon kakakmu dulu."
Sarah meraih ponselnya dan mencari nama Ara.
"Halo, Ma?"
"Lagi di mana, Ra? Kok lama nggak kasih kabar? Kapan kamu pulang?"
"Bentar lagi nyampe, Ma."
"Kamu baik-baik saja?"
"Baik. Mama sehat? Kenapa? Kok kayak cemas gitu?"
"Nggak apa-apa. Ya sudah kalau kamu lagi di jalan."
Sarah menutup teleponnya.
"Sepertinya Mbak Ara sudah buka pintu lagi." Alan nyengir lebar.
"Kok kamu bisa tahu, Lan?"
Alan menunjukkan percakapan di ponselnya. Sarah berdecak sambil memijit pelipisnya.
"Kenapa bisa dibuka lagi? Kakekmu sudah nutup itu sejak kasus Si Kutu Kupret itu."
"Mungkin misinya belum selesai. Sama kayak Alan dulu sebelum ketemu sama Dista. Tapi yang ini lebih banyak tantangan, Ma. Sebenarnya Alan nggak mau cerita dulu, takut Mama malah kepikiran. Tapi ternyata Mama juga ngerasain. Kakek udah nggak ada, otomatis Mama yang jadi kepala suku." Alan tertawa ngikik.
"Kamu tuh ya..." Sarah menggigit bibirnya, "...sebenarnya Mama juga nggak mau buka-buka lagi, Alan."
"Kalau itu sudah jadi gift buat keluarga kita, ya gimana lagi. Kan Kakek juga pernah bilang, mau ditutup serapat apapun, kalau sudah waktunya terbuka ya terbuka. Entah itu oleh tangannya siapa atau pemicunya apa."