"Aku bisa menjadi mommy-mu."
"Apa kau kaya?"
"Tentu saja! Aku sangat kaya dari para orang kaya di negara ini."
"Setuju, Mommy!"
Bukan kisah anak genius, melainkan kisah sederhana penguasa muda yang terlambat jatuh cinta. Melalui perantara manis, keduanya dipertemukan lagi sebagai sosok yang berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi Berbeda
"Jadi maksudmu Liam bertengkar dengan seorang gadis karena memperebutkanmu?!" Jeanne tertawa puas di layar ponselnya. "Ouhh ... selain idaman para pria, putriku ternyata sudah menjadi idaman anak-anak juga." Jeanne berkata seolah terharu.
"Hentikan, Mom. Aku benar-benar tidak melakukan apapun. Aku bersikap apa adanya."
"Aku tahu! Itu karena kau memiliki daya tarik yang kuat. Kau seperti magnet!"
Oliver tertawa sumbang menanggapi gurauan sang ibu yang menurutnya berlebihan itu.
"Aku benar-benar tidak menyangka jika Tyler adalah daddynya. Bukankah kalian berjodoh?"
"Masakanmu bisa gosong. Aku akan tutup sekarang," putus Oliver sebelum Jeanne menjawabnya.
Oliver beranjak dari duduknya menuju ranjang dimana Liam baru saja tidur lagi. Setelah pulang, ia telah menasehati anak itu dengan berbagai macam perkataan yang baik. Baik menurut versinya sendiri, ok! Liam sudah menjadi tenang saat ini setelah meyakinkan diri jika Oliver tidak akan pergi darinya atau membencinya.
Keputusan akhir, Liam bersedia ikut dengannya untuk meminta maaf pada Mera besok. Biarkan Liam tenang hari ini. Setelah merapatkan selimut Liam, Oliver beranjak keluar dan menutup pintu dengan hati-hati.
Malam ini, ia menginap di kediaman Charles— lagi. Sebenarnya masih pukul tujuh malam saat ini. Masih terlalu dini untuk tidur. Sepertinya ia harus melupakan pekerjaannya lagi sekarang. Entah sudah berapa lama ia jadi pemalas begini. Sedangkan, Tyler, mungkin sudah bergulat dengan pekerjaannya sendiri di ruang kerja.
Di ruang tengah, Oliver melihat Molina duduk sendirian. Henry mendekat tak lama kemudian dengan sepiring buah, lalu pergi lagi.
"Molina ..." sapa Oliver. Wanita itu sontak menoleh sambil menampilkan senyum lembutnya.
"Hai, Ollie. Duduklah denganku." Molina menepuk ruang kosong di sebelahnya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Oliver setelah duduk.
"Album lama." Molina menunjukkannya pada Oliver. "Ini Tyler dan Lohan saat masih kecil." Ada nada kesedihan di balik suaranya. Oliver cukup peka dengan keadaan ini.
"Mereka terlihat akur." Oliver menanggapi.
"Sangat!" Molina tersenyum lebar. "Lohan putra pertamaku. Dia jauh lebih dewasa daripada Tyler yang lebih kekanakan waktu itu." Oliver mengangguk setuju di bagian ini.
"Kupikir, kami bisa bersama dalam waktu yang lama. Hingga Liam lahir, sampai Tyler memiliki anak juga. Rumah ini pasti ramai sekali dengan anak dan istri mereka, tapi sepertinya Lohan lebih mencintai ayahnya di surga dan menyusul istrinya. Kini hanya tinggal kami bertiga," ungkapnya sendu. "Sekarang bertambah dirimu."
Oliver tersenyum tipis, kemudian memeluk Molina. Ia tahu wanita itu sedang dalam suasana sedih dan butuh sebuah hiburan. Molina sudah kehilangan suaminya sejak lama karena sakit. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana kehidupannya tanpa orang tersayang.
Pikirannya bergerak memikirkan Tyler. Jika suatu hari ia kehilangan pria itu— bukan karena perpisahan, melainkan kematian, pasti sangat menyakitkan. Setidaknya perpisahan yang bukan kematian lebih baik daripada kehilangan abadi. Kita masih bisa melihatnya meski tak bersamanya, bukan? Tapi, kematian— tidak ada kompromi untuk itu.
Setelah berbicara cukup lama, Oliver beranjak menuju ruang kerja Tyler. Pria itu tidak menyadari kehadirannya sama sekali meski pintu yang terbuka terdengar. Baru sekarang ia melihat pria itu saat bekerja. Ternyata seperti ini kelihatannya. Dulu ia hanya sering melihat Tyler yang merengek dan mengganggunya. Sekarang terlihat sangat berbeda.
Dia dingin sekali, cibir Oliver dalam hati. Orang-orang di balik layar itu pasti sedang keringat dingin menghadapi Tyler. Tanpa menyadari jika begitulah dirinya di mata orang lain juga. Oliver bisa menebak jika mereka sedang rapat. Entah rapat apa yang dilakukan di malam hari begini. Oliver hanya mengangkat bahunya acuh.
Wanita itu lantas mengabaikan kehadiran Tyler dan berjalan menuju jendela besar yang terbuka bagian gordennya. Tempat ini langsung mengarah ke kolam renang sehingga bisa memantaunya dari sini. Barulah Tyler melihatnya begitu Oliver melewati mejanya.
"Kita akhiri sampai disini saja. Aku tunggu hasilnya besok!" putus Tyler, kemudian beranjak menuju Oliver.
"Hei," sapa Tyler seraya memeluknya dari belakang.
"Aku sudah bicara dengan Liam, tapi— aku tidak bisa membahas tentang statusnya."
"Aku sudah berpikir. Lebih baik Liam mengetahuinya sekarang, daripada nanti," ujar Tyler. "Aku akan coba bicara dengannya juga nanti."
-
-
-
...Sorry ges kalo agak gantung. Aku udah usahain nulis novel ini di tengah-tengah kegiatan kuliah aku🥺 aku juga gabisa up tiap hari seperti biasa lagi huhu. maaf banget sayy. intinya setiap aku selesai, aku pasti langsung up tanpa tunda-tunda lagi. mengejar waktu sebisa akuu😓...