Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 12
Beberapa hari telah berlalu, dan sikap Sofia semakin cuek serta tidak mempedulikan apapun lagi. Dia hanya sibuk mengurus dirinya sendiri.
Dan hal itu membuat Saskia yang sudah sangat geram tidak bisa membendung kemarahannya yang sudah berada di ubun-ubun.
Siang itu, sinar matahari menyinari taman belakang dengan lembut. Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang sedang bermekaran.
Di tengah taman yang asri itu, Sofia duduk santai di bangku kayu, matanya fokus pada sketsa yang sedang ia buat. Pikirannya dipenuhi ide-ide desain, mencoba menuangkan imajinasinya ke dalam lembaran kertas.
Namun, ketenangannya tak berlangsung lama.
Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, dan sebelum Sofia bisa menoleh, sebuah tangan kasar menarik lengannya dengan kuat, memaksanya untuk berdiri.
"Kau ini sebenarnya mau jadi istri dan ibu atau tidak, hah?!" suara Saskia, ibu mertua Sofia, menggema di udara.
Wanita berusia lebih dari 60 tahun itu menatap Sofia dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala-nyala, sementara telunjuknya terus mengarah ke wajah menantunya.
Di sudut taman, Bi Sumi dan Bi Sari yang mendengar keributan langsung mengintip dengan penasaran dan juga was-was. Keduanya melihat Saskia menunjuk-nunjuk sang menantu.
Mereka tahu betul betapa selama ini Sofia selalu sabar dan menerima segala perlakuan buruk dari keluarga suaminya. Tapi hari ini, semuanya berbeda.
Saskia terus memaki, meluapkan kemarahannya. "Aku sudah cukup bersabar dengan sikapmu! Dulu kau memang menyebalkan, tapi setidaknya kau tahu tugasmu sebagai istri dan ibu! Sekarang? Kau benar-benar kurang ajar! Rumah ini jadi berantakan! Robin, Mikaila, dan Reno jadi terlantar! Kau benar-benar menantu tak tahu diri!"
Namun, yang lebih membuat Saskia kesal bukan hanya ucapan Sofia, melainkan ekspresi wajahnya.
Sofia tetap diam.
Wajahnya tetap datar, seolah semua makian itu hanya angin lalu.
Amarah Saskia semakin membuncah. Dengan cepat, ia mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Sofia. Namun—
Tap!
Sofia dengan cepat menangkap pergelangan tangan Saskia, menghentikan tamparan itu sebelum sempat mendarat di pipinya.
Mata Saskia membelalak tak percaya. Tangannya digenggam erat oleh Sofia, dan dalam satu gerakan, Sofia menghempaskan tangan itu dengan kuat. Saskia kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh ke belakang.
"Aaaaah!" Saskia menjerit, tubuhnya oleng ke belakang.
Sebelum tubuh wanita itu benar-benar menyentuh tanah, tiba-tiba sebuah tangan menangkapnya.
"Tante!"
Ternyata Vanessa yang datang entah dari mana, langsung menopang tubuh Saskia sebelum jatuh. Di belakangnya, Mikaila dan Reno berdiri dengan wajah kaget.
"Nenek!" Mikaila berlari mendekat, menatap sang nenek dengan khawatir.
Reno menatap ibunya dengan tidak percaya. "Mama! Bagaimana bisa kau mendorong nenek seperti itu?!"
Sofia tetap diam. Matanya yang tajam hanya menatap dingin ke arah mereka.
Mikaila berdiri dan menunjuk wajah Sofia. "Kau ini benar-benar ibu yang kurang ajar! Kau tega menyakiti nenek sendiri! Ini sudah keterlaluan!"
"Aku tidak mendorongnya." Akhirnya Sofia membuka mulut, suaranya tenang namun terdengar begitu dingin. "Aku hanya menepis tangannya karena dia hendak menamparku."
Plak!
Tiba-tiba Mikaila menampar pipi Sofia, wajahnya merah padam karena emosi. "Mama semakin keterlaluan!" bentaknya.
Reno juga menatap Sofia dengan penuh amarah. "Mama sudah berubah menjadi monster! Kami tidak mengenalimu lagi!"
Sofia merasakan nyeri di pipinya, tapi bukan karena tamparan itu. Luka di hatinya jauh lebih dalam.
Sejak dulu, Sofia tahu kedua anaknya lebih memihak Robin dan Saskia, tapi kali ini … mereka bahkan tidak mau mendengarnya. Mereka hanya sibuk menyalahkannya, tanpa mencoba memahami.
"Cukup," tiba-tiba suara lembut namun penuh arti terdengar.
Vanessa melangkah ke depan dengan wajah tenang. "Sofia, bagaimanapun juga, kau tidak seharusnya melawan mertuamu. Seorang menantu harus tahu tata krama, tidak peduli seberapa marahnya kau."
Sofia melirik Vanessa sekilas. Perempuan itu tersenyum lembut, seolah menampilkan diri sebagai sosok yang bijak dan pengertian.
Namun Sofia tahu, ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman itu.
Situasi semakin memanas. Namun, di tengah semua itu, Sofia tetap tidak menunjukkan emosi apa pun.
Akhirnya, Sofia menarik napas panjang dan berbalik. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melangkah meninggalkan mereka, membiarkan mereka terus memaki dan menyalahkannya.
Di dalam hati, Sofia hanya bisa berkata pada dirinya sendiri. "Aku tidak peduli lagi."
****
Ruangan dosen siang itu cukup lengang, hanya beberapa staf yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Robin baru saja selesai mengajar kelas bisnis ketika seorang satpam mengetuk pintu ruangannya.
"Pak Robin, ini ada surat untuk Anda," kata satpam itu sambil menyerahkan amplop coklat berlogo pengadilan agama.
Robin menerima amplop itu dengan dahi berkerut. Setelah mengucapkan terima kasih, ia duduk di kursinya dan membuka amplop tersebut dengan hati-hati.
Saat membaca isi suratnya, matanya langsung terbelalak.
"Apa?!"
Tangan Robin mencengkeram surat gugatan cerai itu lebih erat, seolah berharap jika ia menggenggamnya cukup keras, kata-kata di dalamnya akan berubah. Namun, tidak. Surat itu tetap menyatakan satu hal yang tidak pernah ia sangka akan benar-benar terjadi—Sofia mengajukan gugatan cerai.
Pikiran Robin langsung kacau.
Tidak. Ini pasti hanya kesalahpahaman.
Bukankah beberapa hari yang lalu Sofia memang sempat mengucapkan ingin bercerai? Tapi saat itu Robin mengira istrinya hanya sedang lelah dan mengada-ada. Sofia pasti hanya butuh waktu untuk tenang. Tapi sekarang?
Sofia benar-benar menggugat cerai dirinya.
Robin tidak bisa membiarkan ini terjadi. Dengan buru-buru, ia meraih ponselnya dan membatalkan kelas malamnya. Beberapa dosen lain yang kebetulan ada di ruangan itu saling berpandangan heran melihatnya pergi dengan ekspresi panik.
Robin mengendarai mobilnya dengan cepat, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Kenapa Sofia ingin menceraikannya? Apa karena penyakitnya? Atau karena dia merasa diabaikan?
Sofia tidak mungkin melakukan ini, pikir Robin.
*****
Di halaman depan, sesampainya pria paruh baya itu. Robin melihat Sofia berdiri dengan koper dan tas di sisinya, wajahnya begitu tenang seolah semua ini bukan masalah besar.
Di belakangnya, Saskia, Mikaila, Reno, dan Vanessa berdiri dengan ekspresi marah.
Begitu melihat Robin keluar dari mobil, Saskia langsung melangkah maju dengan wajah penuh emosi.
"Robin! Kau harus menegur istrimu ini! Dia benar-benar sudah keterlaluan!" seru Saskia.
Mikaila ikut menimpali, "Mama bukan hanya berniat pergi, tapi dia juga mendorong nenek sampai hampir jatuh!"
Robin mengabaikan ocehan mereka. Tatapannya langsung tertuju pada Sofia yang masih berdiri dengan ekspresi datar. Ia mengangkat amplop coklat di tangannya dan bertanya dengan suara rendah, "Apa maksud semua ini, Sofia?"
Sofia hanya melirik amplop itu dan menjawab santai, "Ternyata surat panggilan sidangnya sudah sampai."
Saskia dan Mikaila terkejut mendengar jawaban Sofia yang begitu tenang, seolah perceraian ini bukanlah hal besar.
"Kau tidak serius, kan?!" suara Robin sedikit bergetar, matanya menatap Sofia dengan tidak percaya.
Sofia menghela napas pelan sebelum menjawab, "Aku sangat serius."
"Mama! Kau sudah gila!" Mikaila berteriak, ekspresi wajahnya penuh amarah. "Bagaimana bisa kau menceraikan Papa?! Apa yang ada di kepalamu?!"
Sofia hanya tersenyum tipis. "Kau akan segera mengerti, Mikaila. Kau dan Reno akan segera mengerti semuanya."
Robin mendekat dan mencengkeram lengan Sofia, matanya dipenuhi emosi yang campur aduk. "Sofia … kita bisa bicara baik-baik. Jangan seperti ini."
Sofia menatap Robin dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sudah terlambat untuk bicara, Robin. Kau sudah menutup telinga dan mata terlalu lama."
Sofia lalu menarik lengannya dari genggaman Robin dan meraih koper serta tasnya.
"Aku pergi," katanya dengan suara tenang, sebelum melangkah menuju mobil yang sudah menunggunya di luar gerbang.
Robin hanya bisa menatap kepergian Sofia dengan dada yang terasa semakin sesak.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya—ketakutan kehilangan Sofia untuk selamanya.