Alina Putri adalah Gadis muda yang baru berusia 17 tahun dan di umur yang masih muda itu dirinya dijodohkan dengan pria bernama Hafiz Alwi. Pria yang berumur 12 tahun di atas Alina Putri.
Keduanya dijodohkan oleh orang tua masing-masing karena janji di masa lalu yang mengharuskan Alina dan Hafiz menikah.
Pernikahan itu tentu saja tidak berjalan mulus, dikarenakan Hafiz meminta Alina untuk tetap merahasiakan hubungan mereka dari orang lain dan ada batasan-batasan yang membuat keduanya tidak seperti suami istri pada umumnya.
Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Simak terus kisah mereka berdua di “Istri Sah Mas Hafiz”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Datang Menyapa Alina
Pagi Hari.
Larasati yang sedang menunggu Alina di area parkir pagi itu, terkejut melihat secara langsung teman dekatnya semobil dengan Hafiz. Bahkan, yang membuat Alina semakin terkejut adalah Hafiz dan Alina saling menyapa ketika hendak berpisah di area parkir.
“Apa ini? Benarkah apa yang kulihat ini? Pak Hafiz dan Alina berangkat ke kampus bersama?” tanya Larasati bermonolog.
Alina berjalan menuju koridor di mana Larasati sudah berdiri dengan raut wajah penasaran.
“Laras, kamu tumben ada di sini? Biasanya kalau tidak di dekat area parkir ya di dalam kelas,” ucap Alina.
Laras menggandeng tangan Alina dan berlari menuju kampus.
Alina hanya bisa menurut mengikuti langkah kaki Laras yang terus berlari menuju kelas.
Mereka pun duduk di kursi dengan napas terengah-engah.
“A.. Alina,” ucap Larasati terengah-engah.
“Laras, kamu tata dulu napasmu. Baru setelah itu bicara,” ujar Alina dengan tenang.
“Tolong, kamu cubit pipi ku sekeras mungkin,” pinta Larasati memastikan bahwa apa yang dilihatnya di area parkir adalah halusinasinya saja.
“Cubit? Yakin tidak apa-apa?” tanya Alina dan menuruti permintaan Larasati.
“Aww, sakit.” Larasati merintih kesakitan karena cubitan dari Alina.
“Maaf, tidak seharusnya aku menuruti permintaan mu itu,” ujar Laras merasa bersalah.
“Alina, kamu harus jawab dengan jujur pertanyaan ku ini. Kalau tidak, sepertinya aku akan mati penasaran,” ucap Larasati yang sangat antusias sekaligus penasaran luar biasa.
“Laras, bicaralah yang jelas. Kalau kamu begini, justru aku menjadi bingung.”
Alina tak paham dengan sikap Larasati yang cukup aneh.
“Kamu dan Pak Hafiz ada hubungan apa?” tanya Larasati seraya memegang erat tangan Alina.
Sepertinya Laras sudah melihatku bersama dengan Mas Hafiz. (Batin Alina)
“Bagaimana kamu bisa pacaran dengan Pak Hafiz? Kamu tidak melakukan hal yang aneh-aneh, 'kan?” tanya Larasati.
“Melakukan hal yang aneh bagaimana, Laras? Memang, apa ada yang salah denganku jika aku dan Pak Hafiz berpacaran?” tanya Alina.
“Oh No!!!!” Larasati berteriak histeris mendengar apa yang Alina katakan. “Ternyata memang sangat mudah jika mempunyai wajah good looking sepertimu,” imbuh Larasati.
“Laras, pelankan suaramu. Bagaimana jika yang lain terganggu karena teriakan mu?”
Larasati hanya bisa menghela napasnya dengan raut wajah lesu.
“Aku sangat iri padamu, Alina. Selain cantik, kamu juga punya pacar yang ganteng. Kalian berdua sangat cocok, aku merestui kalian!” seru Larasati.
“Laras, tentangku dan Pak Hafiz tolong jangan disebarluaskan ya. Biarkan mereka tahu sendiri,” pinta Alina.
“Kamu tenang saja, aku akan tutup mulut serapat mungkin.”
Maaf ya Laras, aku masih menyimpan rahasia ini padamu. (Batin Alina)
Siang Hari.
Alina siang itu tidak pulang bersama dengan Hafiz, dikarenakan Hafiz ada rapat yang mewajibkan semua Dosen datang.
Alina yang enggan untuk pulang, memutuskan untuk mampir ke sebuah kedai es buah yang letaknya tidak jauh dari kampus.
Saat Alina sedang menunggu gilirannya untuk memesan es buah, seorang wanita datang menghampirinya.
“Assalamu'alaikum,” ucap wanita itu pada Alina.
Alina tidak langsung menjawab, ia justru terdiam sambil terus memandangi wanita yang baru saja memberinya salam.
“Wa'alaikumsalam,” balas Alina ketika wanita itu duduk di kursi tepat di samping Alina.
“MasyaAllah, akhirnya saya bisa bertemu dengan Mbak. Perkenalkan saya Fatimah, wanita yang pernah Mbak selamatkan,” ucap Fatimah sambil meraih tangan Alina.
Jantung Alina berdebar tak menentu, melihat Fatimah dekat dengannya cukup membuat dada Alina sesak.
“Maaf, saya harus pergi,” ucap Alina yang hendak pergi dari tempat itu secepat mungkin.
“Maaf, bisakah kali ini saya menahan Mbak untuk pergi?” tanya Fatimah sambil memegang tas ransel yang dikenakan Alina.
Alina dengan sangat terpaksa kembali duduk dan mencoba untuk menata hatinya agar tak tersulut emosi.
Istri mana yang tetap tenang jika melihat wanita yang disukai oleh suaminya berada di sampingnya dan ingin mencoba mengobrol dengannya.
“Maaf, bukan maksud saya kurang sopan. Namun, saya ingin sekali berbincang-bincang dengan Mbak sekaligus berterima kasih atas kebaikan Mbak ini,” ucap Fatimah dengan suara yang sangat lembut.
“Mbak Fa.. Fatimah tinggal di daerah sini?” tanya Alina terbata-bata.
“Tidak. Saya tidak tinggal di daerah sini. Justru, calon suami saya lah yang mengajar di kampus itu,” jawab Fatimah dan dengan bangga menunjuk ke arah kampus tempat di mana Hafiz mengajar.
“Benarkah? Siapa namanya, Mbak? Kebetulan saya kuliah di kampus itu,” ujar Alina yang mencoba tersenyum pada Fatimah.
“Hafiz Alwi,” ungkap Fatimah.
Alina saat itu juga pamit pergi dengan alasan ada kepentingan mendadak tanpa memberitahu namanya.
Alina seakan tak ikhlas mendengar suara Fatimah yang menyebut nama suaminya dengan sangat merdu, ditambah sikap malu-malu Fatimah ketika menyebut nama Sang suami.
Apa maksud dari perkataan wanita itu? Calon suami? Apakah Mas Hafiz benar-benar menjanjikan akan menikahi wanita itu? Lalu, bagaimana dengan nasibku ini? (Batin Alina)
Alina terus berlari sekuat tenaga untuk sampai ke tempat ojek pengkolan langganan nya.
“Pak, tolong antarkan saya pulang,” ucap Alina dengan terus menahan diri untuk tidak menangis.
Setibanya di rumah, Alina langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Dilihatnya jam di dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 3 sore.
“Sebaiknya aku mandi sekarang saja,” ucap Alina bermonolog.
Alina membuka almari pakaiannya dan memilih baju yang akan ia kenakan. Ia bahkan nampak tenang, tak terlihat sedih ataupun bahagia.
“Tidak seharusnya aku menangis, mau bagaimanapun akulah istri sah Mas Hafiz,” ucap Alina.
Alina meletakkan pakaian yang akan ia kenakan di atas tempat tidur seraya tersenyum.
“Aku bisa, aku kuat dan aku hebat,” ucap Alina menyemangati dirinya.
***
Sore menjelang malam, Hafiz akhirnya pulang dengan membawa martabak telur kesukaan Alina.
Alina bersikap biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Ia tersenyum, mengucapkan terima kasih dan bahkan mengajak Hafiz mengobrol santai.
“Ayah dan Ibu mau kemana? ” tanya Hafiz melihat orang tuanya berpakaian formal.
“Kami ada acara penting, kalian di rumah berdua tidak masalah, 'kan?” tanya Ibu Nur.
Ibu Nur dan Ayah Ismail akhirnya pergi menuju lokasi pertemuan.
Kini, di rumah hanya ada Alina dan juga Hafiz.
Untuk menghilangkan rasa sepi di rumah, mereka memutuskan untuk menonton televisi bersama di ruang keluarga seraya menikmati martabak telur yang Hafiz beli ketika perjalanan pulang.
“Bagaimana rapat tadi?” tanya Alina basa-basi.
“Ya lumayan lancar, ada beberapa Dosen yang harus memperbarui cara mengajar mereka. Karena dalam rapat itu, ada beberapa mahasiswa yang komplain perihal cara mengajar oknum Dosen di kampus” terang Hafiz.
Alina tak bertanya lebih lanjut, karena yang ia inginkan adalah Hafiz bertanya mengenai dirinya.
“Kalau kamu bagaimana di kelas tadi?” tanya Hafiz sesuai harapan Alina.
“Alhamdulillah semuanya lancar,” jawab Alina.
kan anak ibu
kalau hafiz yang cari sama aja numbalin rumah tangga mereka.