Laura, adalah seorang menantu yang harus menerima perlakuan kasar dari suami dan mertuanya.
Suaminya, Andre, kerap bertangan kasar padanya setiap kali ada masalah dalam rumah tangganya, yang dipicu oleh ulah mertua dan adik iparnya.
Hingga disuatu waktu kesabarannya habis. Laura membalaskan sakit hatinya akibat diselingkuhi oleh Andre. Laura menjual rumah mereka dan beberapa lahan tanah yang surat- suratnya dia temukan secara kebetulan di dalam laci. Lalu laura minggat bersama anak tunggalnya, Bobby.
Bagaimana kisah Laura di tempat baru? Juga Andre dan Ibunya sepeninggal Laura?
Yuk, kupas abis kisahnya dalam novel ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab, 35. Keraguan.
"Jangan sembunyikan dia diantara kita. Rasanya hati tidak akan kuat bila kau berpaling. Karena cinta dan kesetiaan ini seutuhnya untukmu."
"Papa darimana aja, pagi-pagi udah keluar. Anak-anak tadi ngajak lari pagi." Laura menelisik wajah Mark.
"Cuma lari pagi aja, Mah." Mark menyahut tanpa melihat ke arah Laura. Ada gerah dimata hitam itu, tidak mampu beradu pandang dengan istrinya. Laura, menafsirkan kalau suaminya merasa bersalah atau entahlah.
"Ih, yang benar aja, Pah. Lari pagi kok pake sendal jepit. Mana pake piyama lagi." Kekeh Laura diikuti Carry. Laura berusaha bersikap tenang. Dia sengaja memancing apakah suaminya mau jujur atau tidak.
"Tuh,'kan Papa bohong." celetuk Carry.
Mark merasa gugup dengan ucapan Carry. Batinnya berperang apa lebih baik jujur saja sekarang? Mark malah takut istrinya akan curiga dan tidak terima.
"Tadinya sih, Papa gak ada rencana lari pagi. Papa cuma mau merokok di luar, mau balik ke kamar udah tanggung, makanya sekalian aja Papa jalan pagi." Mark akhirnya memutuskan merahasiakan pertemuannya dengan, Arumi.
Laura merasa kecewa. Dia berharap sekali kalau suaminya akan jujur dan bercerita soal Arumi.
"Oh, gitu ya, Pa." Carry manggut- manggut.
"Udah, ya. Papa mandi dulu, gerah!" Mark nyelonong masuk melewati Laura. Laura menyusul suaminya, hendak mengambilkan handuk.
"Pa, rencananya mbak Arumi dan Mas Abi balik ke Jakakarta, jam berapa ya?" Mark menghentikan langkahnya mendengar ucapan, Laura.
"Bukannya, besok?" Mark pura-pura lupa. Dalam hati dia melenguh, karena sudah berbohong.
"Aih, Papa kok pelupa amat. Rencananya hari ini. Mama lupa siang atau sore mereka pergi." Laura menyampirkan handuk ke leher suaminya.
Berusaha membuat suaminya santai, sehingga mau jujur tentang kepergiannya.
"Papa juga kurang tau, memangnya kenapa?" selidik Mark berusaha santai.
"Gak ada sih, cuma gak ada salahnya,
'kan kita mengantar kepergian mereka biar cuma sampai dipenginapan saja. Carry harus melihat Arumi pergi, karena kita belum tau kapan lagi akan bertemu. Iya, 'kan, Pa?" Laura memandang netra Mark, melihat kejujuran apakah benar dia tidak peduli dengan kepulangan, Arumi dan suaminya ke Jakarta.
"Hem, kalau begitu Mama tanyakan saja." Mark Menyahut acuh.
"Papa aja yang nanya, Mama malah gak enak, ntar gak direspon?"
"Belum dicoba, udah berburuk sangka duluan. Gak boleh lo,Ma. Udah, ini nomornya tapi mama yang ngomong." Mark memberikan ponselnya pada, Laura.
Terdengar sahutan diseberang, tapi bukan suara Arumi, melainkan Abi, suaminya.
Laura memberi kode, kalau yang mengangkat adalah, Abi.
"Halo, Mas. Mbak Arumi ada?"
"Ada, lagi dikamar mandi. Ada apa Mbak Laura?"
"Cuma mau nanya Mbak dan Mas berangkatnya hari ini 'kan. Cuma mau mastikan tapi lupa jam berapa."
"Harusnya siang nanti, tapi diundur sore atau malam." Jelas Abi.
"Lha, kok diundur Mas, tiketnya gak dapat, ya?"
"Bukan soal tiket, Mbak. Arumi tadi terpleset di kamar mandi. Kami mau periksa dulu memastikan apa semua baik-baik saja." Abi memberitahu kendala yang sebenarnya.
"Aduh, jadi Mbak Arumi gak, papa ya, Mas." Laura menatap suaminya yang bersikap biasa saja mendengar kabar Arumi.
"Syukurlah gak papa, cuma sedikit pusing katanya, makanya kita mau periksa saja dan dilanjutkan nanti di Jakarta."
"Iya, Mas. Semoga semua baik-baik saja. Nanti kami datang, Mas, kepenginapan sebelum Mbak dan Mas berangkat."
"Oh, iya, makasih Mbak." Abi memutus panggilan. Laura menyerahkan ponsel milik Mark.
"Katanya Arumi terpleset di kamar mandi, Pah. Sebelum berangkat, mereka periksa dulu ke rumah sakit. Semoga Mbak Arumi baik- baik saja, dan bisa mengingat kembali." Laura menatap kearah Mark, Mark hanya merespon sekilas.
"Iya, semoga semua baik-baik saja."
"Ih, sikap Papa bikin gemas Mama aja. Gak suka ya, kalau Mabk Arumi sembuh dan ingatannya kembali?"
"Tentu saja senang. Mama kenapa sih, kayak mau menjebak Papa saja." Mark malah berdalih aneh.
"Apa, Pa? Menjebak Papa. Maksudnya apaan sih?" Mark mengelak saat pandangan mereka lagi-lagi bertemu.
"Sedari tadi sikap, Papa, kok aneh ya? Ada apa sih, Pa?"
"Papa baik-baik saja kok, Mama jangan aneh, ya?"
"Ya, udah. Papa gih sana mandi. Udah bau kecut." Laura menggelitik pinggang suaminya. Mark menggelinjang geli, berusaha menangkap lengan istrinya dan menguncinya. Laura meronta dan berusaha lepas dari pelukan suaminya.
"Mama nakal sekali sekarang, ya. Mama harus dihukum. Mark mencuri c*um istrinya. Awalnya begitu kasar, lalu perlahan lembut. Mark menyeret istrinya ke kamar mandi.
Laura yang tadinya menolak juga perlahan membalas ci**n Mark yang panas dan menuntut. Keduanya akhirnya saling melepas hasrat dan berakhir dengan mandi bersama.
Namun, sekelumit tanya masih bercokol di hati Laura. Semoga praduga buruk dihatinya hanyalah perasaannya saja.
***
Mark dan Laura beserta kedua anak mereka kini melepas kepergian, Arumi dan Abimayu.
Arumi memeluk Carry lama sekali. Tidak kuasa dia menahan air mata, dibingkainya wajah Carry dengan Kedua telapak tangannya.
"Selamat tinggal ya, sayang. Mama pulang dulu semoga kita jumpa lain kali dan jangan lupa kabari Mama kalau kamu rindu."
"Iya, Ma." Carry membalas pelukan Arumi, ibunya. Hatinya merasa sedih juga karena ibu yang selama ini dianggap telah meninggal ternyata masih hidup. Namun, mereka akan berpisah juga karena ibunya telah menikah lagi dan Ayahnya juga telah menikah pula.
Mana ibunya tidak mengingat dia dan ayahnya karena amnesia.
Arumi juga pamit kepada Mark dan Laura.
"Selamat jalan, Mbak. Semoga Mbak lekas sembuh dan kita bisa berkumpul sebagai keluarga," bisik Laura.
Mark dan Arumi saling berpandangan sejenak sebelum kedua tangan mereka bersalaman dan mengucap salam. Laura menahan napas, pura-pura tidak melihat ketika pandangan suaminya dengan Arumi begitu dalam. Cemburu? Entahlah, lebih dalam dari itu rasanya.
Laura sadar, cinta Mark tidak akan pernah mati selamanya. Mereka adalah pasangan yang saling mengasihi satu sama lain. Terpaksa terpisah karena musibah dan bukan karena saling menghianati atau menyakiti.
Ikatan cinta mereka terwujud dalam diri, Carry. Sampai kapanpun itu tidak akan bisa diretas.
Tapi apakah itu artinya, masa lalu suaminya akan selalu membayangi kebahagian rumah tangga mereka. Mengapa suaminya tidak terbuka padanya, soal Arumi yang ingatannya telah kembali. Mengapa pula hadir keraguan dihatinya pada suaminya sendiri? Batin Laura berkecamuk.
Mengapa tidak? Wajar hati laura gamang mengingat pernikahan mereka yang masih seumur jagung. Ketika tiba- tiba mantan istri suaminya muncul. Mereka terpisah karena keadaan, cinta mereka tentu belum pudar atau mati.
Rengkuhan lengan kekar Mark dibahu, Laura, membuat pikirannya yang mereka-reka tentang suaminya buyar.
"Ayo pulang sayang." Mark berbisik ditelinga Laura. Laura menoleh ke wajah suaminya. Merenangi telaga hitam itu, mencari adakah yang berubah dengan tatapan itu. Apakah hangat dalam pandangannya terbawa oleh kepergian Arumi.
Ya, Laura dapat melihat luka disana. Sama dengan dimatanya juga yang menunjukkan luka, tapi apakah suaminya akan merasa?
"Ada apa sayang? Ayo pulang ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada, Mama." Manik mata Mark berputar- putar menelisik wajah Laura.
"Soal apa?" bisik Laura lirih ada ketegangan didalam nadanya. Entah, Mark dapat merasakannya.
"Kamu kenapa, sayang. Kamu kok sepertinya panik?" Mark meraba kening Laura lalu menurun kelehernya. "Mama sakit?" ucapan itu sangat menyentuh hati Laura. Setidaknya Mark masih bisa merasakan perubahan sikapnya, dan bisa membaca pikirannya. Tidakkah itu artinya dia masih peduli?" *****