••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: Sakit kak (Arka)
Mentari pagi memang belum terbit di atas langit, namun Raya sudah terbangun lebih awal. Suara dengkuran dari beberapa anggota keluarganya masih terdengar di ruang tamu, tetapi Raya sudah berada di dapur, sibuk memasak untuk keluarganya. Ia tidak ingin terlambat lagi hari ini, seperti kemarin-kemarin. Dapur yang sederhana itu segera dipenuhi aroma nasi goreng yang sedang dimasaknya, dengan api kompor yang menyala kecil, seakan ikut bersaing dengan semangatnya.
"Woy... masak apa lo?!" teriak Yanto, kakak pertamanya, yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Raya sempat kaget, namun segera menoleh sejenak, mengingatkan dirinya untuk tetap tenang.
"Nasi goreng," jawabnya singkat, sembari melanjutkan aktivitasnya, mengaduk nasi goreng di wajan, menambah bumbu dengan hati-hati agar rasa yang keluar sempurna.
"Tumben lo jam segini udah bangun. Biasanya siang lo baru bangun," ujarnya dengan nada ejekan.
Raya tidak menanggapi lagi ucapan kakaknya itu. Ia sibuk menyajikan nasi goreng ke piring-piring yang telah disiapkannya, lalu membawa piring-piring itu ke meja makan. Suasana di rumah memang biasa saja, dengan segala kekurangan yang dimiliki.
"Dasar anak aneh," Yanto menggerutu, tampak kesal dengan tingkah Raya yang dianggapnya berbeda dari biasanya.
Raya masih mendengar dengan jelas kata-kata kakaknya, tapi ia memilih untuk mengabaikannya. Menurutnya, itu bukanlah hal yang penting. Semua yang ada dalam rumah ini, terutama Yanto, sudah biasa membuat komentar seperti itu. Setelah selesai menyiapkan sarapan, Raya bergegas menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke kampus. Ia tidak ingin terlambat lagi. Dalam hatinya, ia berharap hari ini segala sesuatunya berjalan lancar tanpa gangguan yang tidak perlu.
•••••••
Sementara itu, di tempat lain, di kediaman megah milik keluarga Sudrajat, Ryan tengah sibuk membereskan beberapa barang yang akan dibawanya ke Singapore. Pria tampan itu mempersiapkan segala sesuatu dengan hati-hati untuk pertemuannya dengan klien-klien penting. Keberangkatan pagi-pagi buta itu membuatnya harus menyelesaikan semuanya dengan cepat.
"Mah... Bisa bantu aku memilih pakaian?" tanya Ryan sambil berdiri di depan pintu kamar orang tuanya yang tertutup rapat. Suara ketukan ringan terdengar, dan dia menunggu sebentar.
"Mah..." Ryan memanggil lagi, kali ini sambil mengetuk pintu kamar ibunya dengan lembut, matanya memandang dengan penuh harap.
Tak lama, pintu pun terbuka, menampakkan wajah Liu yang terlihat baru saja bangun tidur. Wajahnya masih dipenuhi rasa kantuk, namun tetap memancarkan pesona seorang ibu yang penuh kasih.
"Ada apa, Raden?" tanya Liu dengan suara serak akibat kantuk, sembari menguap.
"Aku butuh bantuan Mama. Hari ini aku akan pergi pagi-pagi ke Singapore, tapi aku belum packing pakaian yang mau aku bawa ke sana. Bisa bantu aku?" Ryan bertanya terus terang, ekspresinya serius. Liu mengerutkan kening, sedikit bingung.
"Kenapa tidak naik pesawat pribadi saja? Itu akan lebih nyaman," jawab sang ibu, mencoba memberi saran dengan nada penuh perhatian.
"Pokoknya ada satu sampai dua hal yang membuat aku tidak bisa naik pesawat pribadi," jawab Ryan, sedikit ragu namun tegas. Ia tidak ingin membahas alasan lebih lanjut.
"Baiklah, terserah kamu saja. Tunggu sebentar, Mama mau cuci muka dulu," ujar Liu akhirnya, sambil membuka pintu kamar lebar-lebar, memberi izin bagi putranya untuk masuk.
Ryan mengangguk, paham bahwa ibunya memberi izin untuk masuk ke kamar pribadi mereka. Begitu melangkah masuk, dia bisa melihat ayahnya, Rudianto, yang masih terlelap tidur di tempat tidur terlihat tubuh polos pria itu tertutup oleh selimut tebal. Rudianto memang masih bekerja mengawasi para karyawannya dari jauh, meskipun lebih sering berada di rumah daripada di kantor.
Meskipun Rudianto lebih memilih untuk tidak terlalu terlibat dalam urusan sehari-hari perusahaan, ia tetap merasa bangga dengan pencapaian putranya. Ryan, di usia yang masih muda, yakni 29 tahun, sudah memiliki perusahaan sendiri yang sukses besar. Tidak ada yang menyangka bahwa semua pencapaian itu bukanlah pemberian dari sang ayah. Ryan berhasil menciptakan jalannya sendiri dalam dunia bisnis, menempuh jalan yang penuh tantangan, dan akhirnya sukses. Ini adalah sesuatu yang sangat membanggakan bagi Rudianto dan Liu, karena melihat putra mereka meniru jiwa bisnis ayahnya dengan cara yang luar biasa.
Cukup lama Ryan menunggu di kamar orang tuanya, rasa bosannya semakin menjadi-jadi. Ia memandang jam dinding, jarum jam seolah bergerak lambat. Ia menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke sofa, lalu bangkit lagi, berjalan bolak-balik tanpa tujuan. Suara dari dalam kamar mandi akhirnya memecah keheningan.
"Mas, bisa tolong ambilkan handuk atau bathrobe untukku,?" suara Liu terdengar santai, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ryan mendengus kesal sambil menatap pintu kamar mandi.
"Ya Tuhan, Mama! Kenapa malah mandi? Katanya cuma mau cuci muka!" gumamnya, cukup keras untuk didengar dari dalam. Ia melirik sofa di sampingnya, tempat bathrobe terlipat rapi. Dengan langkah berat, Ryan mengambilnya dan mengetuk pintu kamar mandi.
"Ini bathrobenya, Ma," ucapnya singkat, menyerahkan bathrobe ke tangan sang ibu yang muncul dari balik pintu sedikit terbuka.
"Eh, kamu masih di sini? Ya ampun, Mama kira kamu sudah balik ke kamar," ujar Liu dengan nada terkejut. Ryan menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang.
"Pantas saja aku menunggu lama sekali. Sejak kapan cuci muka berubah jadi mandi?," ujarnya dengan nada tajam.
"Maaf ya, Raden. Mama benar-benar tidak sadar kamu masih di sini," balas Liu dengan nada bersalah. Ryan mengangkat bahu, berusaha menahan emosi.
"Sudahlah, Ma. Aku keluar duluan. Aku mau bersiap-siap. Alex akan datang sebentar lagi," ucapnya, lalu berbalik menuju pintu kamar. Liu menyadari putranya kesal, mencoba memanggilnya lagi.
"Kamu marah, Raden?" Tanya nya lagi. Ryan berhenti sejenak, tapi tidak menoleh.
"Tidak," jawabnya singkat, meskipun nadanya jelas menunjukkan sebaliknya.
"Mama minta maaf, sayang. Mama kira kamu sudah kembali ke kamarmu , jadi mama putuskan untuk mandi dahulu," ujarnya tulus. Ryan mendesah, lalu menjawab tanpa menoleh.
"It's okay, Ma. Aku tidak marah." Namun, raut wajahnya jelas menunjukkan ia masih kesal. Liu tersenyum kecil, sedikit geli.
"Tidak perlu dijawab, dari nadamu saja Mama tahu kamu sedang marah," ujarnya. Ryan tidak membalas lagi dan langsung keluar dari kamar. Setelah pintu tertutup, Liu menghela napas panjang.
"Ya Tuhan, anak itu marah padaku," gumam Liu dengan nada setengah menyesal. Suara berat dari belakang tiba-tiba memecah lamunannya.
"Siapa yang marah, honey?" Liu menoleh dan mendapati Rudianto, suaminya, sedang duduk di tepi ranjang. Rambutnya masih acak-acakan, dan matanya terlihat setengah tertutup, tanda baru saja bangun tidur. Sembari meregangkan tubuh, pria itu menatap istrinya dengan senyuman tipis. Melihat suaminya sudah bangun, Liu tersenyum kecil dan mendekat.
"Raden," jawab Liu lembut "Dia kesal karena harus menungguku yang malah mandi lama. Padahal dia hanya minta aku membantunya memilihkan pakaian," lanjutnya sambil mengambil sisir dari meja rias dan merapikan rambutnya. Rudianto tertawa kecil mendengar penjelasan istrinya.
"Pagi-pagi begini sudah marah-marah? Dasar anakmu itu," ujar Rudianto santai, lalu mengulurkan tangan ke arah Liu "Morning kiss, honey," pintanya sambil menyunggingkan senyum menggoda. Liu memutar bola matanya malas.
"Ya ampun, pagi-pagi sudah manja," balasnya, namun tetap mendekat dan memberikan kecupan singkat di pipi suaminya.
"Terima kasih, sayang." Rudianto tertawa puas, lalu meregangkan tubuh sekali lagi "Biarkan saja dia, nanti juga baik sendiri. Katanya sudah dewasa, tapi ditinggal mandi saja marah. Belum tahu dia kalau wanita mandi itu ibarat mengerjakan skripsi—butuh waktu lama, bahkan mungkin lebih cepat menyelesaikan skripsinya daripada menunggu wanita mandi, " candanya dengan nada santai. Liu menggeleng pelan sambil tersenyum mendengar komentar suaminya.
"Sudahlah, sana mandi. Setelah itu turun ke bawah untuk sarapan. Raden bilang dia akan pergi pagi-pagi sekali ke luar negeri. Jangan lupa juga berikan semangat untuk anakmu itu," ujarnya, lalu berbalik menuju walk-in closet untuk memilih pakaian. Rudianto memperhatikan istrinya dengan tatapan penuh kasih.
"Baik, baik, aku akan turun setelah ini. Tapi jangan terlalu lama memilih pakaian, honey. Kamu tahu kan, aku tidak suka sarapan sendirian?" godanya.
"Haish, sudah sana mandi," balas Liu sambil melambai tanpa menoleh.
Rudianto tersenyum kecil, lalu bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Suara langkahnya terdengar, diiringi derit pintu kamar mandi yang perlahan tertutup.
"Untung aku tidak terlambat," gumam Raya sambil berlari kecil menuju ruang kelasnya. Nafasnya memburu, keringat mulai mengalir di pelipisnya, namun ia terus memacu langkah, berharap dosen belum masuk. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti saat sebuah suara lantang memanggil dari belakang.
"Tunggu!"...
Raya langsung mengenali suara itu. Tanpa perlu menoleh, ia tahu siapa yang memanggilnya. Tubuhnya menegang seketika. Dengan berat hati, ia berbalik. Pandangannya jatuh ke lantai, tidak berani menatap langsung pria yang kini berdiri di hadapannya.
"Ikut gue," ujar pria itu dingin. Dia adalah Arka.
Sebelum Raya sempat berkata apa-apa, Arka meraih pergelangan tangannya dan menariknya dengan kasar. Cengkeramannya erat, membuat Raya meringis kesakitan, tapi ia tidak berani melawan. Arka menyeretnya ke ruang kelas yang kosong, sepi tanpa satu pun mahasiswa di sana.
"Awuhhh... sakit, Kak!" seru Raya ketika Arka melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Ia mengusap pergelangan tangannya yang kini memerah.
Arka berdiri tegap, menatapnya dengan sorot mata tajam yang penuh intimidasi. Aura dominan pria itu memenuhi ruangan, membuat Raya merasa terpojok meskipun tidak ada dinding di belakangnya.
"Lo tau apa salah Lo, sampai gue ngelakuin ini?" tanyanya, nadanya datar namun dingin, menusuk seperti belati yang siap melukai.
Raya menggigit bibir bawahnya, menunduk dalam-dalam. Ia tahu kesalahannya, tapi tidak memiliki keberanian untuk menjawab. Perlahan, ia hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
"Kalau tau, kenapa lo masih berani ngelakuin itu? Lo mau sok jago di depan gue, hah?," desak Arka lagi, suaranya sedikit meninggi.
"Bukan itu, Kak, aku pikir itu nomor orang jahat, makanya aku nggak berani angkat telepon itu," jawab Raya, suaranya bergetar.
"Terus, soal kotak dari satpam itu? Apa alasan lo?" Alis Arka terangkat, wajahnya memperlihatkan ketidakpercayaan. Raya mengangkat wajahnya sedikit, matanya penuh kebingungan.
"Aku nggak tahu!" serunya, setengah panik.
PLAK!...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Tubuh Raya terhuyung ke belakang, hampir terjatuh. Pipinya terasa panas, perih yang menjalar hingga ke hatinya. Ia menahan tangis, namun air matanya mulai menggenang.
"Pembohong!" bentak Arka. Tatapannya seperti bara api yang siap membakar siapa saja yang berani mendekat. Raya mengusap pipinya yang memerah dengan punggung tangannya.
"Aku minta maaf, Kak," ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
"Maaf?" *Arka mendekat, semakin menekan jarak di antara mereka*. "Lo pikir kata maaf itu cukup buat gue?!" Suaranya menggelegar, membuat Raya mundur selangkah, ketakutan.
"Aku... aku nggak tahu kalau itu dari Kakak," jawabnya, lebih pelan, namun suaranya tetap bergetar. Arka menatapnya lama, seolah sedang menimbang kebenaran di balik ucapan Raya. Namun, bukannya percaya, ia justru terkekeh kecil, lalu kembali mendekat.
"Cewek pembohong kayak lo memang harus dikasih pelajaran," ucapnya dingin. Ia meraih tangan Raya dengan kasar, memaksanya berdiri tegak dan menatap wajahnya.
"Kenapa lo nggak terima kotak dari satpam itu?!" desaknya lagi, kali ini dengan nada lebih keras. Raya berusaha menarik tangannya, namun genggaman Arka terlalu kuat.
"Aku nggak tahu kalau itu dari Kakak," jawabnya lirih, tanpa berani menatap mata pria itu.
PLAK!
Tamparan kedua mendarat dengan keras, bahkan lebih menyakitkan dari sebelumnya. Kali ini Raya benar-benar jatuh ke lantai. Kedua tangannya mencoba menopang tubuhnya yang hampir terhempas. Air mata mengalir deras, menetes ke lantai dingin.
"Lo bilang minta maaf, tapi lo masih terus bohong. Lo pikir ini lucu? Hah?!" Arka tertawa sinis, tawanya menggema di ruangan kosong itu.
"Aku nggak bohong, Kak! Aku memang nggak tahu!" seru Raya, suaranya pecah oleh tangis. Arka mendekat, menunduk agar wajahnya sejajar dengan Raya yang masih terduduk di lantai.
"Bagus, sekarang bersiaplah. Gue akan mulai hukumannya," ucapnya pelan, namun penuh ancaman.
"Kak, aku..." Raya mencoba berkata, namun Arka memotongnya dengan cepat.
"Diam! Lo nggak boleh ngomong apa-apa sampai gue nyuruh. Kalau lo melanggar, hukumannya gue tambah. Paham?!" bentak Arka, suaranya menggema di ruang kosong.
Raya mengangguk pelan, nyaris tak terlihat. Tubuhnya gemetar, dan jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa dadanya sesak. Ia tahu bahwa melawan bukanlah pilihan. Tamparan tadi sudah cukup untuk mengajarinya bahwa Arka tidak main-main. Arka melangkah menuju pintu belakang ruangan itu. Dengan langkah panjang dan penuh keyakinan, ia menoleh sekilas ke arah Raya.
"Ikut gue," ucapnya singkat namun penuh otoritas.
Raya bergegas mengikutinya, kepala tertunduk, tangan masih menggenggam erat tas kecil yang ia bawa. Lorong kampus yang mereka lewati terasa berbeda, dengan dinding-dinding kaca besar yang memantulkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela tinggi. Karpet tebal berwarna biru tua menghiasi lantai, memberikan kesan elegan pada setiap langkah yang mereka ambil. Papan pengumuman di dinding tampak rapi, dengan informasi yang tertata dengan profesional, dan poster kegiatan mahasiswa yang bergaya modern terpajang di tempat-tempat strategis. Lampu-lampu LED menyala terang, memberi kesan bersih dan futuristik pada ruang tersebut. Suasana sunyi, namun aura prestise kampus elite begitu terasa, menambah ketegangan di antara mereka.
Setibanya di halaman belakang kampus, pandangan Raya langsung tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir rapi di bawah pohon rindang. Mobil itu tampak mewah, dengan bodi yang mengkilap seolah baru saja dicuci. Arka melangkah mendekati mobil, membuka pintu belakang, lalu memberi perintah dengan nada tegas.
"Masuk!"
Tanpa berkata apa-apa, Raya segera menuruti perintahnya. Ia duduk di kursi belakang dengan tubuh yang masih sedikit gemetar. Aroma leather seat yang khas menyeruak di dalam mobil, bercampur dengan bau parfum maskulin yang kuat. Arka menyusul masuk dan duduk di sebelahnya, namun tidak mengatakan apa-apa.
Perjalanan dimulai, dan keheningan langsung menyelimuti kabin mobil. Hanya ada suara deru mesin yang terdengar samar, bercampur dengan suara roda yang melindas aspal. Raya menatap keluar jendela, matanya mengikuti pemandangan yang berlalu dengan cepat gedung-gedung kampus, pepohonan, dan sesekali para mahasiswa yang berjalan di sepanjang trotoar.
Sementara itu, Arka sibuk dengan ponselnya. Jarinya mengetik dengan cepat, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Sesekali ia menghela napas pendek, namun tidak sekalipun ia melirik ke arah Raya.
"Tuan, kita pergi ke rumah lama atau rumah baru?" tanya sopir yang duduk di depan, memecah kesunyian. Arka menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
"Tidak keduanya." Jawaban singkat itu langsung membuat sang sopir mengangguk paham, seolah-olah ia sudah terbiasa dengan perintah seperti itu.
Waktu terus berlalu. Hampir tiga puluh menit mereka berada di dalam mobil, namun tujuan perjalanan ini masih menjadi misteri bagi Raya. Semakin jauh mereka melaju, semakin sunyi jalan yang dilalui. Gedung-gedung tinggi yang sebelumnya memenuhi pandangan kini berganti dengan pepohonan yang lebat di kedua sisi jalan. Raya mulai merasa tidak nyaman.
Ia menatap hutan buatan yang kini mengelilingi mereka. Pohon-pohon tinggi dengan batang hitam menjulang, daunnya yang rimbun hampir menutupi langit. Jalan yang dilalui sempit, hanya cukup untuk satu mobil. Cahaya matahari mulai redup, terhalang oleh kanopi pepohonan, menciptakan bayangan gelap yang bergerak seiring dengan mobil yang terus melaju. Raya mencoba untuk tetap tenang, namun pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan buruk.
"Apa yang akan dia lakukan padaku?" pikirnya, tangan mungilnya meremas rok yang ia kenakan.
Arka, yang duduk di sebelahnya, tampak tenang. Matanya terpejam, dengan earphone terpasang di kedua telinganya. Wajahnya begitu santai, seolah perjalanan ini hanyalah rutinitas biasa. Raya meliriknya dari sudut mata, berharap menemukan sedikit petunjuk tentang apa yang sedang dipikirkan pria itu. Namun ekspresi dinginnya tetap sulit terbaca.
Semakin lama, rasa cemas Raya semakin tak terkendali. Ia ingin bertanya, ingin memohon, tapi perintah Arka sebelumnya masih terngiang jelas di benaknya. "*Jangan bicara apapun sampai gue nyuruh lo untuk bicara*." Itu adalah perintah yang tidak berani ia langgar.
Mobil terus melaju, menyusuri jalan berliku di tengah hutan buatan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar mereka tidak ada rumah, tidak ada manusia lain. Hanya ada pohon-pohon yang menjulang tinggi, dengan suara burung sesekali terdengar dari kejauhan.
Akhirnya, mobil itu mulai melambat, dan Raya merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Rasa cemas yang tak bisa ia bendung mengalir dalam dirinya, membuat setiap detak jantung terasa begitu berat. Ia menggenggam erat tas kecil yang ada di tangannya, seolah mencari kekuatan dari benda mati itu.
"Yatuhan... bagaimana lagi ini? Keluarga ku pasti akan marah kalau aku terlambat pulang. Belum lagi pelajaran yang tertinggal..." gumam Raya dalam hati dia lebih baik tersakiti oleh keluarganya, daripada oleh Arka.Ia yang sedari tadi menatap wajah Arka yang sedang tertidur harus terkejut saat mendengar suara sopir.
"Maaf, nona!" suara sopir itu membuat Raya langsung mengalihkan pandangannya ke arah pria yang duduk di kursi depan.
"Nona, sepertinya ban mobil ini kempes karena melindas sesuatu. Saya akan memperbaikinya terlebih dahulu. Mohon maaf jika ini akan sedikit memakan waktu," ujar sang sopir dengan sopan. Raya merasa sedikit lega mendengar kabar itu, meski kegelisahannya masih tak kunjung reda.
"Maaf, pak... sebenarnya perjalanan kita masih jauh, kenapa tidak kunjung sampai juga?" tanya Raya dengan suara pelan, mencoba meredakan kecemasannya.
"Eh... sepertinya sekitar 45 menit lagi, namun karena kendala ban kempes ini, mungkin akan lebih lama dari itu," jawab sopir itu, memberikan penjelasan yang tak terlalu menenangkan.
"Emmmh... apa kita akan pergi ke rumahnya dia?" tanya Raya lagi, merasa penasaran meski jantungnya semakin tak keruan.
"Ini bukan rumah nona, tapi sejenis vil..." ucapan sopir itu terpotong begitu saja. Tiba-tiba, Arka membuka matanya, meski tampak setengah tertutup, dan berbicara dengan nada yang begitu dingin.
"Cepat selesaikan masalahnya, tidak ada yang menyuruhmu berbicara," ujar Arka dengan suara tegas, membuat sopir itu langsung mengangguk paham dan tidak berani berkata lebih lanjut.
"Baik, tuan... saya minta maaf," ucap sopir itu, segera kembali fokus pada tugasnya.