Menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia adalah idaman semua pasangan suami istri. Hal itu juga yang sangat diimpikan oleh Syarifa Hanna.
Menikah dengan pria yang juga mencintainya, Wildan Gustian. Awalnya, pernikahan keduanya berjalan sangat harmonis.
Namun, suatu hari tiba-tiba saja dia mendapat kabar bahwa sang suami yang telah mendampinginya selama dua tahun, kini menikah dengan wanita lain.
Semua harapan dan mimpi indah yang ingin dia rajut, hancur saat itu juga. Mampukah, Hanna menjalani kehidupan barunya dengan berbagi suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Memaafkan, Tidak untuk Melupakan
Akhirnya, Novita pun diizinkan pulang oleh dokter, meskipun sebenarnya keadaan belum sepenuhnya pulih. Namun, dia tetap memaksa pulang karena tak ingin membebani Wildan.
Wildan juga tak banyak bicara perihal keputusan sang istri yang memaksa pulang. Setibanya di rumah, Novita langsung istirahat di kamar.
"Mas," panggil Novita dengan lirih.
"Iya, kamu butuh sesuatu?" tanya Wildan yang sedang membereskan kamar.
"Aku boleh minta sesuatu nggak."
Wildan menghentikan aktivitasnya lalu menghampiri sang istri. "Minta apa?"
"Aku ingin bertemu Mbak Hanna, Mas. Aku ingin minta ampunan atas kesalahanku selama ini yang sudah menyakiti perasaannya," tutur Novita.
Wildan bingung harus bagaimana, dia ingin mewujudkan permintaan sang istri, tetapi di sisi lain dia bimbang akankah Hanna mau memenuhi keinginan Novita.
"Nov, bukannya aku nggak mau menuruti keinginanmu, tapi masalahnya Hanna mau atau tidak bertemu denganmu. Aku khawatir lukanya kembali menganga hanya karena kita mengganggu kehidupannya yang sekarang," terang Wildan.
"Aku tahu, Mas, tapi aku hanya ingin pergi tanpa ada beban yang mengganjal di hati dan rasa bersalah yang terus membayangi."
Wildan menggenggam erat tangan Novita, membuat Novita langsung menengadahkan kepalanya yang menunduk. "Percayalah akan kuasa Tuhan, Nov. Yakinlah kalau kamu bisa sembuh dan sehat seperti sediakala."
"Apa Tuhan masih memberiku kesempatan untuk memiliki umur panjang, setelah banyaknya salah dan dosa yang aku perbuat semasa hidup?"
Isakan tangis mulai terdengar dari mulut Novita, saat hidup dia jauh dari Sang Pemilik Kehidupan. Akan tetapi, di saat dia sudah dalam keadaan seperti ini barulah kembali mengingat-Nya. Ke mana saja dia selama ini? Pertanyaan itu terus menggelayuti pikirannya.
"Belum ada kata terlambat untuk memperbaiki diri, Nov. Aku juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan, tapi aku yakin jika Tuhan pasti akan membukakan pintu maaf untuk hamba-Nya."
Wildan lantas menarik sang istri dalam pelukannya, berharap bisa sedikit menenangkan perasaan kacau yang dirasakan.
**
Di lain sisi, Adnan kini tengah duduk di ruang tengah bersama Papa Riswan dan Mama Ginan.
"Ada apa, Pa? Tumben minta Adnan ke sini," tanya Adnan yang memulai pembicaraan, meski sebenarnya dia tahu apa yang akan disampaikan sang papa.
"Jadi begini, apa kamu tahu kalau Mama membantu Wildan melunasi tagihan rumah sakit?" Papa Riswan bertanya seraya menatap Adnan dengan tatapan mengintimidasi.
"Sudah kuduga, pasti hal ini yang ditanyakan," batin Adnan yang mencoba menyiapkan alasan agar dia tak ikut terseret.
"Memangnya Kak Wildan sakit, Pa?"
"Bukan Wildan, tapi wanita yang sekarang menjadi istrinya. Dan kemarin papa mendapat pesan dari perbankan, kalau ada transaksi dengan nominal yang lumayan besar dari kartu mamamu," ungkap Papa Riswan.
Adnan berusaha bersikap biasa saja agar tak menimbulkan kecurigaan lebih. "Kalau soal itu, Adnan nggak tahu, Pa. Karena Adnan juga baru tahu sekarang."
"Yakin kamu tidak tahu menahu tentang hal ini? Atau kamu sengaja menutupi semua untuk melindungi Wildan?" cecar Papa Riswan dengan mata memicing.
Adnan pun langsung salah tingkah, tetapi dia mencoba menguasai diri. "I-iya, Pa. Adnan benar-benar baru tahu."
Papa Riswan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa seraya menatap Adnan dan Mama Ginan bergantian. "Baiklah kalau begitu, mulai malam ini papa telah menarik semua kartu yang dipegang Mama. Dan ... papa juga akan memantau setiap transaksi dari kartumu, Nan."
"Loh, kenapa Adnan juga kena, Pa?" protes Adnan.
"Karena Mamamu pasti akan melakukan cara lain agar bisa membantu Wildan, yaitu melalui kamu. Papa tidak ingin di antara kalian ada yang berhubungan lagi dengan Wildan," tukas Papa Riswan.
"E ... Pa, memang apa salahnya membantu Kak Wildan? Adnan tahu kesalahan Kak Wildan sangat besar karena sudah mencoreng nama baik keluarga, tapi ...,"
"Itu kamu tahu kalau Wildan punya kesalahan besar, lalu untuk apa kamu bertanya lagi?" sela Papa Riswan sebelum Adnan menyelesaikan kalimatnya.
"Keputusan papa sudah final dan tak bisa dibantah. Jadi, sekecil apa pun kalian membantu Wildan, papa pasti akan tahu. Ingat itu!" Papa Riswan langsung beranjak pergi meninggalkan Adnan dan Mama Ginan di ruang tengah.
"Kayaknya kita udah nggak bisa bantu Kak Wildan lagi, Ma. Tahu sendiri gimana papa kalau udah bicara, pasti bukan cuma omong kosong semata," ujar Adnan seraya mengusap wajahnya.
"Ini karena mama yang terlalu gegabah, Nan. Andai aja mama nggak buru-buru, pasti kita masih bisa bantu kakakmu."
Adnan tak tega melihat kesedihan di wajah mamanya, tetapi dia sendiri pun juga tak bisa berbuat apa-apa. "Mama tenangkan diri dulu, nanti Adnan coba cari cara lain biar bisa bantu Kak Wildan tanpa ketahuan."
"Iya."
Adnan memutuskan menginap di sana karena kasihan melihat mamanya yang masih belum ditegur sapa oleh papanya.
......................
Esok harinya, Wildan mencoba mendatangi rumah Hanna demi menuruti permintaan Novita. Sesampainya di sana, rumah tampak sepi dan tak ada tanda-tanda Hanna keluar rumah.
Hampir setengah jam menunggu di depan rumah, Hanna tak kunjung keluar. Karena lelah menunggu, Wildan pun memutuskan untuk pulang, tetapi baru saja berdiri sebuah mobil memasuki pekarangan.
Wildan tak mengenal pemilik mobil utu, tetapi dia melihat ada Hanna di bangku depan. Tak berselang lama, seorang pria keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk Hanna.
Melihat pemandangan itu, rupanya mampu membuat hati Wildan berdenyut nyeri. Ternyata Hanna diantar oleh pria yang diakui sebagai calon suami waktu itu.
Hanna menghentikan langkah kakinya saat melihat kehadiran Wildan. Dia berpikir mantan suaminya itu akan mencari masalah lagi dengannya.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Hanna dengan datar.
"Han, aku ke sini atas permintaan Novita."
Hanna mengernyitkan dahinya mendengar jawaban Wildan. "Novita? Apa lagi yang kalian rencanakan?"
"Tidak, Han. Tidak ada apa pun yang kami rencanakan, ini murni permintaan tulus dari Novita. Dia ingin bertemu denganmu karena ingin meminta ampunan darimu selagi dia masih hidup," jelas Wildan sebelum Hanna semakin berprasangka buruk.
"Ampunan? Untuk apa? Aku bukan Tuhan yang bisa memberi ampunan pada hamba-Nya yang berlumur salah dan dosa."
"Han, aku tahu kamu masih menyimpan sakit hati atas perbuatanku dan Novita, tapi aku mohon dengan sangat ... temui Novita agar dia tak menyimpan beban berat di sisa hidupnya," pinta Wildan dengan tatapan memelas.
"Di saat Tuhan sudah memberikan teguran, kalian baru sadar kalau yang kalian perbuat dulu merupakan salah dan dosa besar? Di mana akal dan pikiran sehat kalian saat memutuskan untuk melakukan pernikahan tanpa sepengetahuanku?"
Hanna mengembuskan napas dengan kasar, guna mengontrol emosinya. "Dengar baik-baik, aku bisa memaafkan kalian bahkan mengampuni segala perbuatan kalian dulu, tapi ... untuk melupakan semua yang telah terjadi, aku nggak bisa. Karena selamanya goresan luka yang kalian torehkan tetap membekas di sini."
Tak ingin lepas kendali, Hanna pun langsung masuk rumah tanpa menghiraukan Wildan yang merenungi setiap kalimat yang dia lontarkan. Sementara Frans yang melihat hal itu mencoba mendekati Wildan.
"Aku tahu kamu pria yang baik, tapi hawa nafsu dan ego telah membutakan mata hatimu hingga menyakiti wanita seperti Hanna. Pulanglah, jangan sampai Hanna semakin membencimu karena kamu masih terus hadir dan membayangi hidupnya saat ini," tutur Frans seraya menepuk pelan bahu Wildan.