Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Kemarahan Nara
Keadaan menjadi kacau. Apalagi ketika Beta bangun lalu menangis tiada henti. Kondisi Bu Azni masih belum sadarkan diri semenjak dua jam yang lalu. Kepala Arjuna rasanya begitu berat dan ingin sebentar saja meletakkan masalah yang kini bergelanyut di pikiran.
Nara yang sejak tadi masih bisa berpikir waras dan mengontrol diri, harus menenangkan Beta dan Arjuna yang baru saja melakukan percekcokan. Arjuna marah karena Beta bisa-bisanya melakukan tindakan bodoh. Sedangkan Nara, mencoba berpikir logis dan mengatakan mungkin Beta sudah tak memiliki harapan lain.
Orang yang sedang hamil sebelum menikah mungkin begitu terpukul. Apalagi, seseorang yang menyebabkan janin itu ada tidak mau bertanggung jawab. Membayangkan di posisi itu saja Nara sudah tidak sanggup.
"Lihat! Gara-gara kamu, Mama harus sakit lagi dan belum sadarkan diri." Arjuna kembali mengatakan sumpah serapah nya pada Beta.
Dan lagi-lagi tangis Beta sudah tak terarah sampai meraung-raung penuh kesakitan. Nara yang mendengar, hatinya ikut terpukul atas kejadian hari ini.
"Kalau sampai ada apa-apa nya dengan Mama, kamu yang harus bertanggung jawab atas semua!" Mendengar itu, Nara mendekati Arjuna yang duduk di kursi, tepatnya di sudut ruangan. Kursi itu merupakan kursi tunggu yang telah Arjuna bawa ke sana.
"Mas. Sudah. Jangan terus menyalahkan Beta. Sesungguhnya, kita juga salah karena tidak cepat bertindak setelah mengetahui kehamilan Beta. Cukup, Mas," ucap Nara lembut, mencoba menenangkan kemarahan sang Suami.
Arjuna menghela napas kasar lalu menjambak rambutnya frustasi. "Harusnya kamu sadar dari awal jika perbuatanmu itu akan merugikan diri sendiri. Kamu juga mendapatkan dosa bukan? Siapa yang menanggung jika bukan Kakak? Kakak kecewa padamu."
"Kebebasan yang selama ini Kakak berikan, ternyata kamu gunakan untuk sesuatu yang salah," sambung Arjuna lagi.
"Maaf, Kak. Maafkan aku karena terlalu memikirkan ego sendiri, telah bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Saat itu aku marah pada Mama yang lebih memikirkan Kak Antika," racau Beta membela diri.
"Jangan menyalahkan orang lain! Kondisi kamu yang sekarang adalah hasil dari perbuatan kamu sendiri. Jika kamu bisa mengontrol perasaan, kejadian seperti itu tidak akan terjadi," kesal Arjuna dengan kemarahan memuncak.
Keadaan ruangan kini hening. Beta tak lagi mengeluarkan suara isakan. Hanya air matanya yang keluar dengan pandangan kosong.
"Aku ke ruangan Mama dulu. Tolong jaga Beta ya, Ra," ucap Arjuna berpesan sambil menyentuh puncak kepala sang Istri. Nara mengangguk sebagai jawaban.
"Sebentar lagi sholat isya, Mas. Jangan lupa kerjakan ya?" Nara juga berpesan agar suaminya itu tidak meninggalkan kewajiban.
Arjuna mengangguk. "Pasti." lalu keluar dari ruangan.
Kini, tinggallah Nara dan Beta di ruangan tersebut. Nara mendekati brankar dengan membawa kembali kursi yang baru saja Arjuna duduki.
"Aku rasa, tidak ada gunanya lagi aku hidup, Mbak. Kak Arjuna pasti sangat kecewa," gumam Beta tanpa mau menatap Nara.
Mendengar itu, Nara tidak ingin membuat kalimat penenang seperti Arjuna hanya marah sebentar atau sebagainya. Rasanya, Nara terlalu sok pintar dan tahu segalanya jika mengatakannya.
"Apa yang membuat kamu memutuskan untuk menyayat pergelangan tangan?" tanya Nara lembut.
Beta menunduk dalam. "Semakin hari, perutku semakin membuncit, Mbak. Kemarin, aku sudah coba untuk masuk kuliah lagi. Barangkali orang-orang tidak peduli dengan kondisiku yang sekarang. Namun, aku salah. Justru mereka mudah sekali mencari cela. Kabar tentang kehamilan ku bisa menyebar dengan cepat di lingkungan kampus. Aku tahu. Bryan akan mengatakan pada semuanya." Beta kembali menangis. Seperti berat sekali mengatakan kejadian di hari kemarin.
Nara semakin mendekat dan mengelus punggung Beta untuk menenangkan. Seakan ingin berkata jika dirinya akan selalu ada. "Dan yang membuatku seperti tak punya harapan dan harga diri untuk hidup lagi adalah—" Beta seketika meraung-raung tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya.
Melihat itu, Nara semakin tidak tega dan memeluk sang Adik Ipar. "Apa hal itu berat sekali sampai kamu tidak sanggup untuk mengatakannya?" tanya Nara ingin Beta membagi beban itu padanya.
"Aku sudah tidak punya muka lagi, Kak. Mungkin sekarang, tidak ada satupun laki-laki yang sudi menjadi pendamping hidupku," racau Beta tersendat-sendat karena isakan tangis.
"Kenapa? Apa yang terjadi? Katakanlah, Beta. Mungkin saja, Mbak bisa membantu," ucap Nara penuh kelembutan agar Beta tidak merasa dipaksa untuk menceritakan masalahnya.
Beta melepas pelukan dan menatap Nara serius. "Sungguh? Mbak akan membantuku?" tanya Beta mencari kesungguhan di mata Nara.
"Jika Mbak sanggup, akan Mbak lakukan. Apalagi jika ini menyangkut harga diri seorang wanita. Katakanlah," jawab Nara lagi, meyakinkan.
"Bryan menyebarkan video aku dan dia yang sedang... yang sedang... " Beta tak bisa lagi melanjutkan kalimatnya karena dia kini kembali menangis.
Tanpa penjelasan detail, Nara sudah paham kemana arah pembicaraan Beta. Kedua telapak tangannya terkepal dengan gigi yang bergemeletuk menahan amarah.
"Kenapa kamu tidak mengatakannya pada Mbak? Kenapa justru memilih untuk menyayat nadimu? Ini tidak bisa dibiarkan. Kamu punya buktinya kan? Kita harus membawanya ke pihak berwajib," ucap Nara menggebu-gebu.
Seketika hal itu mendapatkan gelengan kepala dari Beta. "Jangan, Kak. Bagaimana jika seluruh dunia tahu, Kak? Aku akan semakin tidak punya muka." Raut wajah Beta tampak ketakutan kala mengatakannya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Kakakmu, Mas Arjuna bisa mengatasi. Sekarang, kamu hanya perlu tenang dan menjaga diri dari stress. Kamu tidak ingin janin itu ikut sakit karena jiwa kamu sedang sakit kan?" tanya Nara mencoba memberi semangat.