Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bidadari turun dari loteng
Amara sudah menyiapkan semua peralatan melukis yang akan digunakan oleh Dimas. Kanvas berukuran besar, kuas serta cat lukis dengan beragam warna.
Di taman belakang yang berdekatan dengan kolam renang, adalah tempat yang Dimas inginkan. Sejak kecelakaan Dimas suka menyendiri di sana. Selain suasananya tenang nyaman, warna-warni serta keharuman yang semerbak dari bunga-bunga benar-brenar menenangkannya.
Amara mengiringi langkah Dimas saat berjalan menuju taman belakang. Hanya sekedar berjaga saja, meski Dimas sudah bisa berjalan seperti biasa, tapi ia tak ingin terjadi sesuatu buruk di luar dugaannya.
Dimas menipiskan bibir melihat persiapan yang Amara lakukan benar-benar sesuai dengan apa yang ia inginkan.
"Mas Dimas mau melukis apa?"
Dimas tampak bingung saat ditanyai Amara perihal lukisan. Ia bahkan belum memikirkannya sampai ke sana. Boro-boro melukis, kapan terakhir kali menggambar saja dia lupa. Entah sudah berapa lama ia tak pernah lagi menyentuh pensil warna. Mungkin sejak ia lulus sekolah.
"Kau punya usul?" Menyerah, Dimas pun memutuskan untuk bertanya pada Amara.
Amara diam sejenak untuk berpikir. Membasahi bibirnya yang kering, ia lantas menoleh pada Dimas. "Bagaimana kalau cari obyek yang simpel saja? Lebih mudah karena Mas Dimas masih pemula. Jangan pikirkan hasilnya. Yang penting Mas Dimas mau berusaha."
Dimas mendesah kesal lalu menatap Amara dengan mimik wajah malas. "Iya, tapi yang simpel itu yang kayak gimana? Gue kan bisanya cuma gambar benang kusut doang."
Tak sengaja menatap buah yang tersaji di meja, Amara lantas tersenyum lebar saat mendapatkan ide dari sana. "Bagaimana kalau Mas Dimas menggambar buah-buahan saja. Sepertinya tidak sulit, sebab anak-anak TK saja sudah diajarkan menggambar macam-macam buah."
Dimas berpikir sejenak kemudian manggut-manggut. "Ide bagus," ucapnya kemudian. Pria itu tersenyum lebar manakala menatap buah pisang di antara buah lainnya. Dan ia langsung menjatuhkan pilihan.
Dimas mengambil satu dan menempatkan pada meja agar memudahkannya untuk menggambar. Sudah mulai mencoretkan pena, ia tampak ragu dan merobek kertas itu dengan kesal sebelum kemudian meremasnya.
"Lho! Kenapa dirobek sih, Mas?" protes Amara bingung sambil menatap gumpalan kertas yang dilemparkan oleh Dimas.
"Jelek! Enggak bagus." Dimas menjawab dengan nada santai.
"Namanya juga pemula, mana ada yang langsung bagus!"
Tak menjawab, Dimas mengacuhkan perkataaan Amara. Ia memilih diam dan fokus pada kanvasnya. Namun entah mengapa gerakan tangan pria itu tiba-tiba berhenti.
Dihinggapi rasa was-was, Amara mengamati Dimas dengan penuh waspada. Ia bergegas mendekati pemuda itu hanya untuk sekedar berjaga-jaga.
Menyipitkan mata menatap pisang di meja, Dimas kemudian berkata, "Kayaknya masih ada yang kurang deh, dari pisang ini."
"Kurang?" Amara pun mengamati pisang itu sejenak sebelum kemudian mengembalikan pandangan ke arah Dimas. "Kurang banyak, maksudnya? Mau aku ambilin yang sesisir masih utuh?"
"Bukan gitu ... tapi apa ya?" Dimas mengetuk-ngetukkan telunjuk pada bibir sambil manggut-manggut seperti sedang berpikir. Namun sesaat kemudian ia menyeringai senang saat sebuah ide sudah hinggap di kepalanya.. "Aha, gue tau!" serunya girang sambil menjentikkan jari.
"Tahu apa, Mas?"
Tak langsung menjawab, Dimas justru memperhatikan Amara sambil menyunggingkan senyum penuh arti. Sambil menelusupkan jemari ke dalam saku celana, Dimas mengamati penampilan Amara dari ujung kaki hingga jilbabnya.
Terang saja hal itu membuat Amara curiga. Gadis itu bisa mencium aroma mencurigakan dari tatapan Dimas. Terlebih lagi pria itu menunjukkan seringai jahat yang tersungging di bibirnya.
Bagaimanapun juga tindakan Dimas itu membuat Amara gusar. Gadis itu terlihat memperhatikan penampilannya sendiri sebelum kemudian menatap Dimas dengan ekspresi kesal. "Kenapa Mas Dimas lihatin saya kayak gitu?" tanyanya ketus. Lantas kedua tangannya bergerak bersamaan menyilang di depan dada seolah-olah tengah menjadikan itu sebagai perisainya.
"Gue butuh model," celetuk Dimas sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Amara. Lelaki itu lantas tergelak kencang melihat ekspresi keterkejutan yang terpampang di wajah perawatnya itu.
"Model?"
"Iya lah! Lo tau kan, pelukis profesional itu selalu menggunakan model pada objek lukisannya!" tutur Dimas dengan nada santai namun penuh keyakinan.
"Owh, model ya?" Amara celingukan menatap ke sekeliling taman yang lengang, seolah-olah tengah mencari orang lain di antara mereka. "Tapi modelnya siapa, Mas? Nggak ada orang tuh, di sini," ucap gadis berjilbab itu sambil mengembalikan pandangan pada Dimas.
"Lo kan ada, ngapain nyari orang lain?" cetus Dimas sambil tersenyum. Lelaki itu bahkan menatap Amara dengan alis bergerak naik turun.
Amara menautkan alisnya, berpura-pura tak mengerti. "Kok saya?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Dimas memutar bola matanya malas. "Amara, Amara. Kalau bukan elo, siapa lagi? Masa iya kodok gue jadiin model. Cuma ada elo di sini selain gue. Gue sebagai pelukis nggak mungkin merangkap jadi model juga, kan?"
"Hehehe, gimana ya." Amara nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi saya nggak bisa bergaya loh, Mas. Mana bisa jadi model."
"Siapa juga yang nyuruh lo bergaya! Lo cuma gue suruh pegang pisang! Bisa, kan?"
***
Sudah lebih dari satu jam Amara berpose layaknya seorang model lukis yang sesungguhnya. Gadis itu berdiri dengan kaki kiri berjinjit, sementara kepalanya mendongak dengan bibir mencium pisang yang ia pegang dengan gaya sensual seperti yang Dimas inginkan. Lelaki itu mengarahkan Amara layaknya seorang fotografer profesional.
Tubuh yang mulai lelah dan pegal membuat Amara terlihat begitu lemas dan malas saat harus menuruti arahan Dimas. Dengan seenaknya pria itu melarang Amara untuk bergerak, bahkan berbicara apalagi mengeluh.
"Masih lama ya, Mas?" Amara menggerakkan bola matanya melirik pada Dimas. Lelaki yang tampak fokus menatap kanvas itu seketika mengangkat pandangannya menatap Amara.
"Bentar lagi," jawabnya santai.
"Kok nggak selesai-selesai si? Aku sudah pegal ni ...!"
"Hey, sabar dong ...! Lo lihat nanti ya, berkat sapuan kuas dari tangan gue, wajah lo yang biasa saja itu bakalan berubah jadi cantik seperti bidadari turun dari ..., dari, dari mana ya?" Dimas terlihat berpikir sejenak. Kemudian melanjutkan lagi ucapannya dengan wajah tanpa dosa. "Ah ya, dari loteng!" cetusnya kemudian.
"Kok loteng si Mas?" protes Amara tak terima sambil mencebikkan bibirnya.
"Hahaha, iya lah! Bidadarinya kan baru ngangkat kain jemuran!" ledek Dimas sambil terkekeh kencang.
"Mas Dimas ngeledek aku ya!"
"Hahaha gue cuma bercanda kali, gitu aja marah," tutur Dimas tanpa menatap lawan bicaranya. Ia masih fokus pada kanvas dan kuasnya.
Namun pada saat pria itu mendongak, Dimas langsung terlihat kesal melihat Amara sudah tak lagi dalam posisinya semula. "Heh, kok lo gerak-gerak sih! Jadi rusak kan, lukisannya! Balik lo ke posisi semula! Mesti ngulang lagi kan kalau kayak gini caranya!" Sambil menggerutu Dimas membalik lembaran kertas lukis berniat menggantinya dengan yang baru.
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨