Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Kuil Astralis
Puncak gunung Pulau Astralis terasa seperti dunia lain. Langit di atas mereka dipenuhi kilatan petir yang bercampur dengan aurora yang menari-nari, sementara tanah di bawah kaki mereka retak-retak, memancarkan cahaya biru samar. Di tengahnya berdiri Kuil Astralis, sebuah struktur megah yang terbuat dari kristal bening yang memancarkan energi luar biasa.
“Kuil itu...” Radena menahan napas, matanya terpaku pada bangunan megah yang tampak seperti hidup.
Frieden menggenggam pedangnya lebih erat. “Begitu dekat, tapi rasanya seperti semakin jauh. Aku yakin mereka sudah ada di sana.”
Lya, yang berdiri di samping mereka, mengangkat busurnya. “Mereka pasti sudah mencoba masuk. Tapi, jika Kuil Astralis melindungi dirinya dengan sihir seperti ini, tidak mudah untuk menerobosnya.”
Radena memegang cincin Astralis yang menggantung di lehernya. “Aku rasa ini adalah kunci. Tapi... apa kita siap menghadapi apa yang ada di dalam sana?”
Frieden menepuk bahu Radena. “Kita tidak punya pilihan selain mencoba. Kita sampai sejauh ini bersama, dan kita akan menyelesaikan ini bersama.”
Lya tersenyum tipis, meskipun matanya tetap waspada. “Kalau begitu, mari kita lakukan.”
Di Depan Kuil
Ketika mereka mendekati Kuil Astralis, sosok-sosok berjubah hitam mulai muncul dari bayangan. Para anggota sekte gelap, dipimpin oleh pria bertopeng perak, telah mendirikan lingkaran sihir di depan gerbang kuil.
“Selamat datang, Radena,” kata pria bertopeng itu dengan nada mengejek. “Aku tahu kau akan sampai di sini, meskipun aku berharap perjalananmu lebih menyakitkan.”
Radena melangkah maju, tongkat sihirnya bersinar terang. “Kau tidak akan mendapatkan Astralis. Aku tidak peduli seberapa kuat sihirmu, kami akan menghentikanmu.”
Pria itu tertawa pelan. “Kau masih tidak mengerti, bukan? Astralis tidak peduli siapa yang baik atau jahat. Ia hanya tunduk pada kekuatan sejati. Dan aku akan membuktikan bahwa aku lebih kuat darimu.”
“Kalau begitu buktikan,” balas Frieden, menghunus pedangnya.
Lya mengarahkan busurnya ke pria bertopeng itu. “Aku tidak suka bicara banyak. Mari kita selesaikan ini.”
Pria bertopeng itu mengangkat tangannya, dan energi gelap mulai mengalir di sekitarnya. Anggota sekte lainnya maju, bersiap untuk bertarung.
“Bersiaplah!” teriak Radena.
Pertempuran di Gerbang Kuil
Pertempuran meletus dengan dahsyat. Lya bergerak dengan kecepatan luar biasa, memanah anggota sekte satu per satu dari kejauhan. Panahnya memancarkan cahaya hijau yang mematikan, menembus pertahanan mereka dengan mudah.
Frieden melawan di garis depan, pedangnya bersinar dengan energi sihir yang dipinjam dari Radena. Gerakannya lincah dan presisi, setiap tebasan menghentikan anggota sekte yang mencoba mendekat.
Radena tetap di tengah medan, melantunkan mantra pelindung untuk menjaga mereka tetap aman.
“Aegis Astralis!” serunya, menciptakan perisai sihir besar yang melindungi mereka dari serangan energi gelap.
Namun, pria bertopeng itu tidak tinggal diam. Dengan satu gerakan tangan, ia meluncurkan semburan bayangan yang menembus perisai Radena. Serangan itu menghantam tanah dengan keras, membuat semua orang terlempar.
“Kalian lemah,” katanya dengan dingin. “Kalian tidak pantas menyentuh kekuatan Astralis.”
Radena bangkit dengan susah payah, darah mengalir di sudut bibirnya. “Kami mungkin lemah, tapi kami tidak akan berhenti.”
Ia melantunkan mantra baru, lebih kuat dari sebelumnya. Tongkatnya bersinar terang, menciptakan ledakan cahaya yang memaksa pria bertopeng itu mundur.
“Kau pikir itu cukup?” pria itu tertawa, tetapi suaranya terdengar kesakitan.
Pintu Kuil Terbuka
Pertempuran berakhir ketika suara gemuruh besar terdengar. Gerbang Kuil Astralis mulai terbuka, memancarkan cahaya putih yang menyilaukan. Semua orang berhenti bergerak, mata mereka terpaku pada pintu yang perlahan terbuka.
“Akhirnya,” bisik pria bertopeng itu. “Pintu ke kekuatan sejati.”
Radena berlari menuju pintu, diikuti oleh Frieden dan Lya. Namun, pria bertopeng itu juga tidak tinggal diam. Ia mengarahkan energinya untuk menciptakan portal kecil, memindahkan dirinya ke dalam kuil sebelum mereka sempat menghentikannya.
“Kita harus mengejarnya!” kata Frieden.
Radena mengangguk. “Ayo!”
Di Dalam Kuil Astralis
Bagian dalam Kuil Astralis terasa seperti dimensi lain. Dindingnya memantulkan cahaya seperti berlian, dan lantainya memancarkan energi sihir yang hampir tak tertahankan.
Di tengah ruangan besar itu, sebuah altar berdiri, dan di atasnya terletak pedang besar yang terbuat dari kristal biru. Pedang itu memancarkan aura yang begitu kuat sehingga udara di sekitarnya terasa berat.
“Itu Astralis,” bisik Radena.
Pria bertopeng itu sudah berdiri di depan altar, mengangkat tangannya untuk mengambil pedang itu. Namun, ketika ia mendekat, pedang itu memancarkan energi yang begitu kuat hingga mendorongnya mundur.
“Tidak mungkin...” pria itu terguncang. “Aku telah membuktikan kekuatanku!”
Radena melangkah maju, cincin Astralis di tangannya mulai bersinar terang. “Astralis tidak tunduk pada kekuatan gelapmu. Ia tunduk pada keseimbangan, pada keberanian, dan pada pengorbanan.”
Pria bertopeng itu menoleh, matanya menyala dengan kebencian. “Kalau begitu, aku akan menghancurkanmu terlebih dahulu!”
Ia meluncurkan serangan besar ke arah Radena, tetapi Lya menembakkan panah yang menghentikan serangan itu di udara.
“Kau harus melewati kami dulu,” kata Lya dengan tegas.
Frieden bergabung di sisi Radena. “Kita lakukan ini bersama.”
Pertempuran Terakhir
Pertempuran di dalam kuil adalah yang paling sengit. Pria bertopeng itu menggunakan semua kekuatan gelapnya untuk melawan mereka, menciptakan bayangan yang menyerang dari segala arah.
Radena fokus melindungi Lya dan Frieden dengan mantra sihir, sementara mereka melawan serangan dengan panah dan pedang.
Ketika pria bertopeng itu mencoba menyerang langsung ke Radena, Frieden melompat di depannya, menahan serangan dengan pedangnya.
“Radena! Ambil Astralis!” teriak Frieden.
Radena, meskipun ragu, melangkah menuju altar. Cincin di tangannya memancarkan cahaya yang semakin terang, menyatu dengan pedang Astralis. Ketika ia menyentuh pedang itu, energi luar biasa mengalir melalui tubuhnya.
“Ini...” bisiknya.
Pria bertopeng itu mencoba menyerang lagi, tetapi kali ini, Radena mengangkat Astralis, memancarkan cahaya yang begitu terang hingga membanjiri seluruh ruangan.
“Astralis akan melindungi dunia,” kata Radena, suaranya penuh dengan kekuatan baru.
Dengan satu gerakan, ia menghancurkan energi gelap pria bertopeng itu, membuatnya tersungkur di lantai.
Kemenangan yang Berat
Ketika pertarungan selesai, pria bertopeng itu menghilang bersama sisa sekte gelapnya, meninggalkan Radena, Frieden, dan Lya sendirian di dalam kuil.
Radena memandang Astralis, yang kini berada di tangannya, dan merasakan beban besar di bahunya.
“Kita berhasil,” kata Frieden sambil tersenyum lelah.
Lya mengangguk, menurunkan busurnya. “Tapi ini belum sepenuhnya selesai. Dunia masih perlu dijaga.”
Radena memandang keduanya, matanya penuh dengan rasa terima kasih. “Kalian menyelamatkanku. Dan kalian menyelamatkan dunia.”
Dengan Astralis di tangan mereka, mereka melangkah keluar dari kuil, siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang di masa depan.