Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Yuki mengusap air matanya dengan jemari yang gemetar. Udara sore di taman kediaman Bangsawan Tinggi Trigar terasa dingin, menusuk kulitnya seperti duri-duri tak kasat mata. Dia duduk sendirian di bangku batu, dikelilingi oleh bunga-bunga yang bermekaran dengan indah—sebuah ironi yang menyakitkan, mengingat hatinya yang layu dalam kehancuran.
Rasa bersalah dan kehilangan menumpuk dalam dirinya, mencengkeram jiwanya hingga sulit bernapas.
Pangeran Sera…
Pria itu telah pergi.
Dia meninggal dunia bukan karena takdir biasa, melainkan karena dirinya.
Pangeran Sera telah menggantikannya untuk menarik segel suci. Dia menanggung beban yang seharusnya bukan miliknya. Dan Yuki, yang seharusnya menghabiskan sisa hidupnya dalam duka dan penghormatan, justru kehilangan ingatan—dan lebih parahnya lagi, menikah dengan Pangeran Riana.
Matanya terasa panas saat memikirkan hal itu. Saat dunia mengharapkan tangisan berkabung darinya, saat dirinya seharusnya meratap dalam kesedihan, dia malah jatuh ke dalam pelukan pria lain. Seorang pria yang tidak membiarkannya lepas, seorang pria yang merantai dirinya dengan kekuatan dan kehendak yang tak bisa dia lawan.
Tangannya mencengkeram gaunnya, menahan getaran di dadanya.
Kenapa semuanya harus seperti ini?
Kenapa kematian Pangeran Sera terasa sia-sia?
Dan kenapa, ketika ingatan itu akhirnya kembali… semuanya sudah terlambat?
Yuki mendongak perlahan, matanya yang basah bertemu dengan sosok Lekky yang berdiri di depannya.
Lelaki itu muncul tiba tiba, tidak mengatakan apapun, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan—bukan simpati, bukan juga ejekan. Diam-diam, Lekky mengulurkan tangannya ke arahnya, menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar genggaman.
Namun Yuki tetap diam. Tidak bergerak. Tidak menerima uluran tangan itu.
“Aku merasa menjadi wanita paling jahat di dunia…” bisiknya, nyaris tak terdengar. Suaranya pecah, tenggelam dalam beban perasaan yang menggulungnya dari dalam.
Lekky menghela napas pelan, lalu akhirnya membuka mulutnya.
“Meskipun kau menangis setiap hari, dia tidak akan kembali, Yuki.”
Yuki mengeratkan jemarinya di atas pangkuannya. Napasnya tercekat, seolah udara di sekelilingnya mendadak menipis. Kata-kata Lekky menembus tepat ke dalam hatinya, mengoyak luka yang masih menganga.
Lekky menatapnya tajam, ekspresinya dingin namun suaranya tetap tenang. “Kau harusnya tidak lemah, Yuki.” Dia berlutut di hadapannya, membuat Yuki tak bisa menghindari tatapan matanya. “Jika sesuatu terjadi, kau tahu dengan baik—Riana akan membunuh anak dalam kandunganmu.”
Yuki menatap Lekky dengan mata membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Kata-katanya barusan menusuk lebih dalam daripada yang dia bayangkan.
“Lekky…” suara Yuki hampir tak terdengar, gemetar.
Lekky tidak mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap dingin dan tajam. “Kau harus menghadapi Argueda demi anak dalam perutmu.” Dia bersedekap, seolah menantangnya untuk menyangkal. “Banyak yang ingin anak itu tidak lahir, Yuki. Jika kau terus larut dalam kesedihan, bagaimana kau bisa melindunginya?”
Yuki mengepalkan tangannya, hatinya berdebar kencang.
Lekky melangkah lebih dekat, suaranya merendah, tapi tetap menusuk. “Dan aku setuju dengan Riana. Jika anak itu membahayakanmu, aku yang akan mengambilnya dari perutmu.”
Darah Yuki seakan membeku. Dia menatap Lekky dengan penuh keterkejutan, tubuhnya menegang.
Yuki menunduk, kedua tangannya dengan lembut melingkari perutnya. Hatinya bergetar saat menyadari betapa rapuh dan berharganya kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya.
Anak ini… satu-satunya yang tersisa dari Pangeran Sera.
Satu-satunya bukti bahwa pria itu pernah ada, pernah hidup, pernah mencintainya dengan cara yang bahkan tak bisa dia pahami sepenuhnya.
Air mata menggenang di matanya, tapi kali ini bukan sekadar kesedihan—melainkan tekad.
Ada cinta di antara mereka, cinta yang telah diuji dan direnggut berkali-kali, tapi akhirnya terbukti dengan kehadiran anak ini
Lekky menghela napas sebelum merogoh sesuatu dari balik jubahnya. Dari genggamannya, sebuah kalung berayun pelan, menggantung sebuah cincin di ujungnya.
Yuki membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan saat matanya menangkap kilauan familiar dari cincin itu. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia mengenali benda itu.
Itu… cincin kawin Pangeran Sera.
Tangannya terulur dengan gemetar, ragu-ragu seolah takut menyentuh kenangan yang begitu nyata di hadapannya. Tapi saat jemarinya menyentuh logam dingin itu, seketika tubuhnya dipenuhi gelombang emosi yang begitu kuat.
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Namun Lekky belum selesai. Dengan ekspresi tanpa emosi, dia mengeluarkan sesuatu lagi—selembar kertas yang terlipat rapi. Dengan tenang, dia menyodorkannya ke arah Yuki.
Yuki mengerjap, matanya terpaku pada kertas itu sebelum akhirnya perlahan menerimanya. Hanya dengan sekali tatap, dia tahu siapa pemilik tulisan yang tergores di atasnya.
Pangeran Sera.
Tangannya semakin bergetar. Hatinya mencelos.
Pangeran Sera…
Bahkan setelah kematiannya, pria itu masih meninggalkan sesuatu untuknya.
Jari-jari Yuki bergetar saat dia membuka lipatan kertas itu. Tulisan tangan yang tertulis di sana begitu familiar, begitu rapi, dan begitu menyakitkan untuk dibaca. Seolah-olah Pangeran Sera sedang berbicara langsung padanya, seolah pria itu masih hidup dan berdiri di sampingnya.
***Ketika hari pernikahan kita, di mata itu kau melihat ke arah lain. Dan aku tahu, kau menangis.***
Yuki menutup mulutnya, menahan isakan yang mulai pecah di dadanya. Dia ingat hari itu. Hari pernikahan yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan, namun justru terasa seperti penjara bagi mereka berdua. Dia memang menangis. Bukan karena Pangeran Sera, tapi karena seseorang yang hatinya masih enggan dia lepaskan.
***Aku sangat membencinya, Yuki. Aku membenci kesedihanmu, dan aku membenci pria yang kau tangisi.***
***Dan aku ikut menangis.***
Matanya kabur oleh air mata. Pangeran Sera… Dia juga terluka saat itu. Bukan hanya Yuki yang tersiksa oleh pernikahan itu, tapi Pangeran Sera pun merasakan pedih yang sama. Namun, dia tidak pernah menunjukkannya.
***Saat kau menghilang, aku sangat merindukanmu. Aku sakit hingga ingin merobek diriku sendiri. Rasa sakit itu menyiksaku, Yuki…***
Tangannya mengepal di atas kertas, tubuhnya bergetar menahan sesak yang meluap-luap. Dia tidak pernah tahu… Dia tidak pernah menyadari betapa dalamnya penderitaan Pangeran Sera.
***Yuki, bahkan jika aku sudah tidak ada, karena cintaku ini… aku berharap kau bahagia.***
Aku tidak dapat meninggalkanmu. Aku akan tetap di dalam dirimu.
Berhentilah menangis karenaku lagi.
Air mata jatuh tanpa bisa dikendalikan.
***Aku sangat mencintaimu. Tidak ada alasanku untuk pergi.***
***Jangan menangis lagi karenaku Yuki. Kau tahu Aku paling membenci saat Kau menangis. Terutama karenaku. Jadi berhentilah…***
Kertas itu terjatuh dari tangannya. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada ribuan belati menusuknya sekaligus.
Yuki terisak, tubuhnya bergetar hebat saat air mata terus mengalir tanpa henti. Kenangan tentang Pangeran Sera membanjiri pikirannya, menyelimuti setiap sudut hatinya dengan rasa sakit yang begitu dalam.
Dia ingat bagaimana tangan PangeranSera selalu terasa hangat saat menggenggamnya, bagaimana pria itu selalu tersenyum lembut meski hatinya hancur. Yuki teringat suara Pangeran Sera yang selalu menenangkannya, cara pria itu memanggil namanya dengan penuh kasih.
Namun, ada juga kenangan yang menyakitkan—pertengkaran mereka, kesalahpahaman, luka yang pernah mereka berikan satu sama lain. Tapi meskipun begitu, mereka selalu menemukan jalan untuk kembali. Mereka saling memaafkan, saling menerima, dan akhirnya menyadari bahwa mereka saling membutuhkan.
Pernikahan mereka mungkin bukan dimulai dengan cinta, tapi seiring waktu, Pangeran Sera telah menjadi bagian dari dirinya—menjadi seseorang yang tidak bisa dia lepaskan.
Dan sekarang, dia benar-benar telah kehilangan pria itu.
“Kenapa…?” Yuki berbisik di antara tangisannya. “Kenapa kau pergi…?”
Tak ada jawaban. Hanya angin yang berembus pelan, seolah menyampaikan kehangatan yang dulu pernah ada.
Dia memeluk cincin yang masih digenggamnya erat, menekan benda itu ke dadanya seakan berharap bisa merasakan keberadaan Pangeran Sera sekali lagi. Tapi kehangatan itu tidak ada. Yang tersisa hanyalah kehampaan yang terus menelannya.
...****************...
Lekky mengulurkan tangan. Saat Yuki akhirnya menerimanya, segalanya terjadi dalam sekejap.
Ketika dia berkedip, tiba-tiba dia sudah berada di punggung Lekky.
Dibawah mereka, atap kediaman Bangsawan Tinggi Trigar semakin mengecil seiring ketinggian yang mereka capai. Angin malam menerpa wajah Yuki, membuat rambutnya berkibar liar.
Sayap hitam Lekky mengepak dengan tenang, membawa mereka melesat di langit.
Tanpa berpikir, Yuki langsung melingkarkan kakinya di pinggang pria itu, tangannya mencengkeram kuat bahunya. Ini bukan pertama kalinya Lekky membawanya pergi dengan cara seperti ini.
Meski begitu, satu hal tetap sama—Yuki tidak tahu ke mana Lekky akan membawanya kali ini.
Sementara itu, para prajurit yang ditugaskan mengawasi Putri Yuki panik.
Semuanya terjadi begitu cepat—sekejap yang lalu, Putri Yuki masih berada di taman, duduk dalam kesendiriannya. Namun, dalam sekejap mata, dia sudah lenyap dari pandangan bersama Lekky.
Beberapa prajurit segera menghunus senjata mereka, sementara yang lain mencari di sekitar taman dengan cemas, berharap ini hanya tipuan mata.
Tapi saat mereka mendongak ke langit, mereka melihatnya.
Siluet Lekky melayang di bawah cahaya matahari, sayap hitamnya mengepak lebar dengan anggun, membawa seseorang bersamanya.
Tidak perlu menebak lebih jauh.
Putri Yuki berada di sana. Dan mereka semua tahu, mereka telah kehilangan jejaknya.