Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Ketukan di Tengah Malam
Naila menunduk, wajahnya penuh keraguan. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia memeluk Reivan dengan erat, seakan mencari pegangan dalam situasi yang mendadak jadi rumit ini.
"A-apa maksud Bapak... saya harus tidur di kamar ini?" suaranya pelan, nyaris tenggelam di balik tangisan Rindu yang masih tersedu.
Martin tidak segera menjawab. Sorot matanya dalam, seperti sedang bertarung dengan pikirannya sendiri. "Rindu tidak akan bisa tidur tanpa kamu. Dan aku, tak bisa memaksanya berhenti menganggapmu sebagai mamanya."
Naila menggigit bibir. Rindu meraih ujung gamisnya sambil memelas. "Mama, Lindu udah ngantuk, ayo kita bobok."
...
Suasana kamar begitu sunyi. Foto-foto keluarga Martin terpajang anggun di dinding, menyaksikan drama yang kini berlangsung dalam diam. Kamar ini adalah kenangan Rindu kepada ibunya dan tak akan bisa dihapus oleh siapa pun.
Ia hanya bisa mengangguk pasrah. "Baiklah. Tapi saya hanya akan menemani anak-anak, karena ini tugas saya. Bukan karena hal lain."
Martin mengangguk, tidak berkata apa-apa, tapi wajahnya tampak sedikit lega.
Setelah memastikan kedua bocah itu tertidur, Naila duduk diam di sisi ranjang, membiarkan pikirannya mengembara. Matanya menatap satu per satu pada foto yang memenuhi dinding kamar ini.
Setelah itu, ia menatap langit-langit yang berhiaskan lampu gantung kristal. Rumah ini indah, tapi ia merasa bagai di dalam penjara.
Tiba-tiba...
Krak!
Sebuah suara pelan dari jendela membuatnya terperanjat. Ia sempat menoleh, tetapi tak melihat apa pun. Jantungnya berdetak cepat.
"Apa itu hantu? Atau Bu Rianti marah padaku karena tidur di kamar mereka?" gumamnya merasa takut.
"Maafkan saya, Bu Rianti. Saya di kamar ini hanya ingin menemani anak-anak ibu. Tolong jangan ganggu saya." Naila menutup wajahnya dengan kedua tangan, ketakutan.
Tok. Tok.
Ketukan pelan di pintu membuatnya refleks lari naik ke ranjang memeluk kedua anak yang lelap dalam mimpinya.
Tok. Tok.
'Ah, siapa sih?'
Ia bangkit memberanikan diri melawan rasa takut. Perlahan, dia berjalan mendekati jendela.
"Si-siapa?" ucapnya meski suaranya seakan lari ke dalam.
Tak ada jawaban.
Ia membuka pintu jendela. Sebuah sosok bayangan gelap berdiri di sana.
"Aaaaaahhhh, hantuuuuu!" pekik Naila memutar balik. Namun tiba-tiba mulutnya disumpal oleh tangan si hantu membuat suaranya terbungkam. Naila terus meronta.
"Woooi, ini aku!" bisiknya menenangkan Naila.
Naila yang mengenal suara itu mengetahui pemilik suara akhirnya tenang.
"Om Marvel?" Ia memutar badan.
"Ma-maaf... aku gak bisa tidur," katanya menggaruk kepala bagian belakang.
"Ada masalah, Om?" tanyanya hati-hati.
Marvel mendekat, tapi Naila langsung melangkah mundur.
"Anak-anak sudah tidur. Saya harap Om Marvel juga bisa istirahat."
Marvel membisu sesaat, tapi kemudian bibirnya tersenyum. "Aku hanya ingin mengingatkan. Jangan mempercayai siapa pun yang ada di rumah ini."
Naila terdiam, tampak sedang berfikir. "Termasuk, Om?" tebaknya.
Marvel tak menjawab. Ia hanya tertawa kecil, lalu berbalik dan pergi.
Naila menutup pintu dengan cepat, sebenarnya dia sedikit takut. Ditambah sikap Marvel itu aneh.
"Aku harus hati-hati..." gumamnya.
...
Alarm azan subuh dari ponselnya berbunyi. Naila menggeliat, meski sedikit malas akhirnya ia segera menutup alarm yang membuat dua bocah itu menggeliat.
"Cup cup cup, ayo bobo lagi." Naila mengusap-usap punggung Rindu, dan menepuk lembut Reivan membuat mereka tenang kembali.
Setelah itu, ia melaksanakan kewajiban subuh dan langsung mengenakan kembali kerudungnya. Ini kamar seorang pria dewasa, takutnya sang pemilik tiba-tiba masuk, membuatnya memilih selalu memakai kerudung.
"Mama, Mama di mana? Mama udah bangun ya?" Rindu menguap sambil mengusap matanya. Wajahnya masih lekat dengan kantuk, tapi senyum kecil mulai merekah.
Naila mendekat, menyentuh pipi bocah itu dengan lembut. "Pagi, Rindu, ayo anak pintar bangunnya pagi."
Rindu mengangguk lemah, lalu duduk dan langsung menyibak selimut. "Ma, Lindu lapel. Lindu mau susu sama roti, terus nonton dolaemon, boleh ngga, Ma?"
"Kalau udah mandi dan sikat giginya cepat, tentu aja boleh," jawab Naila, sambil mencubit gemas pipi Rindu.
Reivan pun menggeliat pelan, menguap lebar, lalu mulai menangis pelan, seperti alarm kecil yang membangunkan rumah. Naila buru-buru menggendongnya, mengusap lembut punggung si kecil sambil mengayun-ayunkan badannya pelan.
"Wah, popokmu udah penuh ya? Ayo mandi dulu yuk. Biar seger."
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk perlahan. Belum sempat Naila menjawab, pintu terbuka sedikit dan kepala Martin muncul, rambutnya masih sedikit acak-acakan dan baju semalam belum terganti. Wajahnya terlihat lebih suram dibanding sebelumnya.
Seketika, Naila teringat akan pesan yang disampaikan oleh Marvel semalam. Ia harus berhati-hati terhadap semua orang. Berarti termasuk pada Martin.
"Pagi," ucapnya dingin. "Saya menyiapkan sarapan. Anak-anak biasanya bangun tidur langsung sarapan," ucapnya lagi.
Naila teringat pada pesan Bu Juwita. Ternyata memang benar dua bocah ini bangun-bangun langsung minta makan.
"Terima kasih, Pak."
Martin mendorong pintu dengan bahunya, membawa nampan besar berisi tiga piring kecil, segelas susu, dan satu cangkir kopi yang aromanya langsung menyeruak memenuhi kamar.
"Ini roti bakar keju buat Rindu, bubur untuk Reivan, dan..." Ia menoleh pada Naila, tanpa ekspresi. "Kopi pahit tanpa gula, untukmu."
Naila mengernyit. "Kok Bapak bisa berinisiatif menyiapkan ini semua? Apa lagi menyiapkan kopi pa—hit untuk saya ...."
Martin mengangkat wajah, ternyata apa yang dipikirkan sungguh sangat berbeda dari tanggapan gadis ini. "Kamu tidak menyukai ini," tanyanya ragu.
"Saya tak pernah minum kopi sebelumnya, Pak. Tapi, kalau di kampung pun saya membuatkan kopi selalu pakai gula untuk ayah. Jadi, kopi pahit rasanya agak..." Naila tak lagi melanjutkan ucapannya melihat reaksi majikannya berubah drastis.
"Ah ... Ah, tidak apa-apa, Pak. Saya akan coba meminumnya," ucapnya lagi.
Martin duduk di sisi ranjang, menuangkan bubur ke mangkuk kecil untuk Reivan. Tangannya cekatan, namun gerakannya tetap tenang. Naila memperhatikan dengan bingung, tak biasa melihat pria setegas itu ternyata cukup terampil menyiapkan makanan untuk mereka.
“Saya kira Bapak nggak terbiasa urus hal beginian,” ujar Naila, setengah bercanda.
Martin melirik, lalu angkat bahu. “Bisa. Tapi belum terlalu mahir."
Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Ternyata Marvel muncul dengan kaus longgar dan rambut acak-acakan, berdiri di ambang pintu sambil membawa bantal yang dipeluk layaknya anak kecil.
“Eh, sarapan keluarga? Kok nggak undang saya?"
^^^Revisi tanggal 16 Mei 2025^^^