Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Surat Cerai
Begitu punggung Ardian menghilang di balik gerbang, kekuatan yang tadinya Eva kumpulkan perlahan runtuh. Selimut tipis yang membalut tubuhnya melorot ke tanah, dan seketika tubuhnya bergetar hebat.
Eva jatuh berlutut di halaman itu, tangannya menutup wajah, dan tangisnya pecah tanpa bisa ditahan lagi.
Isakannya terdengar pilu, menghujam langsung ke dada siapa pun yang mendengarnya. Seakan semua luka yang selama ini ia tahan, kini tumpah dalam tangisan itu.
"Eva!" seru Julia panik, segera berlari menghampiri.
Arsen hanya diam saja di tempatnya dan menatap perempuan itu. Entah mengapa, hatinya sakit saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Eva.
"Tolong, Eva... cukup, jangan siksa dirimu lagi," bisik Julia, memeluk tubuh rapuh sahabatnya itu. Tapi Eva tetap menangis, seakan air matanya tidak akan pernah habis.
"Aku capek, Julia..." gumam Eva di sela-sela isakannya. Suaranya nyaris tidak terdengar. "Aku capek berusaha kuat... aku capek menunggu dia berubah... aku capek terus berharap..."
Julia membelai rambut Eva, mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri terasa ikut hancur melihat sahabatnya sejatuh ini.
Sementara Arsen, yang biasanya tegas dan dingin, kali ini hanya bisa berdiri membisu. Ada rasa perih di dadanya melihat Eva menangis sedemikian rupa. Tanpa sadar, tinjunya mengepal kuat.
"Sudah, Eva..." kata Arsen akhirnya, dengan suara rendah tapi penuh ketulusan. "Sekarang kamu enggak perlu berjuang sendiri lagi. Kami di sini... Saya dan Julia. Kami akan lindungi kamu."
Eva perlahan mengangkat wajahnya. Matanya bengkak, basah, penuh duka. Tapi di balik itu ada secercah kelegaan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa tidak sendirian.
Julia merangkul bahu Eva erat-erat, mengajaknya berdiri.
"Mari kita masuk ke dalam, sayang. Kamu butuh istirahat," bujuknya lembut.
Dengan langkah lemah, Eva membiarkan dirinya dibawa masuk ke dalam rumah.
***
Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu. Luka di hati Eva memang belum benar-benar sembuh, tapi ada tekad baru yang mulai tumbuh di dalam dirinya—tekad untuk membebaskan diri, untuk benar-benar lepas dari belenggu luka lama.
Di ruang tamu rumah Arsen, yang kini sudah terasa seperti tempat perlindungan baginya, Eva duduk bersama seorang pengacara. Tangannya gemetar saat membolak-balik berkas di hadapannya, tapi matanya tegas.
"Saya mau ajukan gugatan cerai secepat mungkin," kata Eva dengan suara pelan, tapi tegas.
Julia duduk di sampingnya, menggenggam tangan Eva memberi dukungan. Sementara Arsen berdiri di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari sosok Eva, siap membantunya kapan pun dibutuhkan.
Pengacara itu mengangguk profesional. "Kami akan memprosesnya segera, Bu Eva. Tapi mengingat kondisi suami Anda, ada kemungkinan dia tidak akan setuju begitu saja. Apakah Anda sudah siap menghadapi itu?"
Eva menarik napas panjang, menahan gemuruh dalam dadanya. "Saya sudah siap," jawabnya. "Saya harus melindungi diri saya sendiri sekarang. Saya enggak mau lagi hidup dalam ketakutan... dalam keraguan..."
Matanya berkaca-kaca, tapi Eva menahan air mata itu.
Tidak lagi.
Dia sudah terlalu lama menangis untuk seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar memperjuangkannya lagi.
Julia memeluk bahunya erat-erat. "Kamu kuat, Eva. Ini keputusan yang paling benar."
Tak lama kemudian, semua dokumen selesai ditandatangani. Surat gugatan resmi pun siap untuk dikirim ke pengadilan.
Saat pengacara itu pamit, Eva tetap duduk diam di tempatnya. Ada perasaan lega, tapi juga sedikit takut. Ini adalah awal baru baginya. Awal dari kehidupan tanpa Ardian.
Arsen berjalan mendekat, lalu duduk di depan Eva. Dengan suara dalam dan penuh ketulusan, dia berkata, "Kapan pun kamu merasa goyah, ingat... kamu tidak sendiri. Ada kami di sini."
Eva menatap Arsen, matanya basah namun berkilau oleh harapan baru yang mulai tumbuh perlahan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa ada masa depan yang layak untuk diperjuangkan.
Masa depan tanpa bayang-bayang Ardian.
Masa depan yang penuh dengan cinta yang sesungguhnya.
Dan kali ini, Eva berjanji dalam hati—dia tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkannya lagi.
***
Di sebuah kantor mewah milik Ardian, suasana biasanya tenang dan rapi. Namun hari itu, ketenangan itu pecah berantakan. Saat ini, dia berada di ruang rapat. Seorang bendahara di perusahaannya telah membawa kabur uang sebesar satu milyar. Bukan itu saja, dia sangat kesal dengan berita yang disampaikan oleh asisten nya. Bisa-bisanya orang kepercayaan nya yang dia tunjuk sebagai kepala proyek yang baru saja dia bangun, membawa kabur semua gajih para pegawai di proyek itu. Dia kesal sekali, di tambah masalah dia dan Eva, yang kini terus menghantuinya.
Seorang asisten mengetuk pintu ruangannya dengan ragu.
"Ada surat untuk Bapak," ucapnya gugup, lalu meletakkan sebuah amplop coklat di meja sebelum cepat-cepat keluar, seolah ingin menghindar dari ledakan yang akan terjadi.
Ardian yang sejak tadi duduk gelisah, menatap amplop itu dengan dahi berkerut. Ada perasaan tidak enak menyelinap di dadanya. Perlahan, ia mengambil amplop itu dan membukanya.
Begitu membaca isinya, napasnya langsung tersengal.
Surat gugatan cerai.
Atas nama Eva Alexia.
Tangannya bergetar saat membolak-balik lembaran surat itu, memastikan dia tidak salah baca. Tapi kenyataannya tetap sama: Eva... benar-benar ingin meninggalkannya.
"APA INI?!" Ardian membentak, suaranya menggema keras memenuhi ruangan. Dengan marah, dia melemparkan surat itu ke udara, berhamburan seperti salju pahit yang menyayat harga dirinya.
Meja kerjanya menjadi pelampiasan. Dia menyapu bersih semua yang ada di atasnya—laptop, dokumen, gelas kopi—semuanya terjatuh dengan bunyi keras menghantam lantai.
Setelah itu, dia keluar dari ruangan dan para karyawan serta karyawati di kantornya saling pandang. Mereka bingung dengan sikap bos nya. Mereka jadi penasaran, surat apa yang dibawa oleh asisten bos mereka.
Asisten merangkap sebagai sekretaris Ardian itu menatap semuanya. "Pertemuan cukup sampai di sini. Kita akan lanjutkan besok saja. Karena suasana hati bos kita sedang buruk."
Para karyawan dan karyawati di ruangan itu mengangguk cepat tanda mengerti. Lalu, dia keluar dari tempat itu.
Sementara itu, Ardian kembali ke ruangannya.
"Asal dia tahu! Aku enggak akan tandatangan!" raung Ardian, matanya memerah penuh amarah. "Eva itu milikku! Milikku seumur hidup!"
Dia menghentakkan kakinya, berjalan mondar-mandir seperti singa yang terjebak. Hatinya bergejolak antara marah, sakit, dan... ketakutan.
"Berani-beraninya dia menggugat aku! Setelah semua yang aku lakukan buat dia!" teriaknya lagi, membanting ponsel ke meja yang sudah berantakan.
"Aku tahu, kesalahan ku memang tidak bisa di maafkan. Tapi, seharusnya Eva bersikap dewasa."
Namun di balik amarah itu, Ardian tahu... Eva bukan lagi perempuan yang dulu. Eva yang dulu diam, sabar, dan selalu menunggu.
Sekarang, Eva berubah. Eva sekarang sudah berani memilih jalan hidupnya sendiri—tanpa dirinya.
Amarah Ardian bukan hanya tentang kehilangan. Tapi tentang ketidakberdayaannya. Dia tak bisa lagi mengontrol Eva seperti dulu. Dan itu membuatnya merasa kalah.
Sementara itu, jauh dari sana, Eva menatap langit sore dari balik jendela rumah Arsen. Ada kesedihan di matanya... tapi juga ada harapan. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar bebas.
Dan Ardian? Dia hanya bisa menggigit luka yang dia ciptakan sendiri.