Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ya atau tidak
"Jadi, semua diserahkan kepada keputusan mu saja. Karena kamu ayah anggap sudah besar, sudah tahu mana yang terbaik untuk dirimu. Kami ini hanyalah orang yang membantu membesarkan mu." lanjut pak Simon lagi.
"Ya ayah, Nita paham. Tapi keputusan Nita tetap bersama ayah dan ibu." jawab Nita dengan agak keras seakan menekankan juga bahwa dia tidak mau pulang ke ibu nya Ema atau ke kakek Simon.
"Yah, kalau begitu ikuti aturan di rumah ini." lanjut pak Simon dingin.
"Ya ayah." jawab Nita pendek.
"Baiklah, kalau begitu cepat makan. Nanti kalian terlambat ke sekolah. Ayah juga bisa terlambat kerja" potong bu Tere cepat untuk menghindari konflik lagi.
Semuanya makan dengan tenang dan buru-buru karena mengingat waktu berangkat ke sekolah.
Di dalam pikiran Joni dan Doni mereka sadar, ayahnya sudah sampai di titik pasrah. Artinya ada Nita atau tidak, sama saja. Ya kalau ada dibiayai dan diberi makan, tapi kalau tidak juga tidak masalah.
Bu Tere sendiri juga sedikit sedih mendengar ucapan suaminya. Tapi mengingat perkataan Nita kemarin, memang anak ini susah diarahkan. Jadi ya, sekarang biar dia saja membuat pilihan.
Sedangkan Nita sedikit kesal tapi menahan emosinya. Dia takut dia akan langsung diantarkan ke rumah pak Simon jika dia masih membuat masalah untuk sekarang.
Dia akan terus memperjuangkan kasih sayang ibunya. Dengan tameng itu, pak Guntur juga tidak bisa bertindak keras kepadanya.
Dia tahu, bu Tere adalah kelemahan pak Guntur. Karena pak Guntur selalu mengalah jika bu Tere sudah berkomentar.
Jadi dia harus memenangkan terus kasih sayang ibunya dan dia akan membalas perbuatan mereka nanti.
Akhirnya semua berangkat ke sekolah dan pak Guntur juga berangkat kerja. Tinggal bu Tere yang sibuk membersihkan rumah.
"Mungkin anak ini bukan jodoh kalian"
"Kemalangan selalu beruntun menimpa kalian"
"Dia mirip dengan Ema ibunya."
"Ema lari dengan pria lain"
Banyak perkataan yang muncul di kepala bu Tere.
Dia begitu pusing dan cemas.
"Apakah aku salah selama ini?"
"Bagaimana kalau Nita memang kelakuan nya lama-lama seperti Ema?"
"Apakah aku terlalu memanjakan dia? Tapi kenapa Joni dan Doni berbeda? Padahal Joni dan Doni juga tidak pernah aku marahi, dan mereka juga anak laki-laki."
"Apa yang harus kulakukan?"
Perasan bersalah pelan-pelan mulai menggerogoti hati bu Tere, seperti tinta hitam yang diserap tisu putih, tinta itu merambat perlahan dan mulai membuat tisu itu berwarna hitam legam.
Seperti itulah yang dirasakan bu Tere. Dia teringat lagi bagaimana Nita melawan kepada dirinya dan bahkan sampai memancing amarah suaminya.
Selama mereka menikah, baru kali itu pak Guntur marah besar.
Bahkan ketika menghadapi kelakuan Joni dan Doni, tidak pernah pak Guntur seperti itu.
Bu Tere sadar, pemicu kemarahan pak Guntur adalah karena Nita yang terus melawan kepada bu Tere. Karena pak Guntur selalu menekankan anak-anak harus hormat kepada ibunya.
"Ya Tuhan, akan bagaimana hari-hari ini aku lewati? Aku merasa bersalah kepada suamiku. Tapi aku juga sayang kepada Nita." gumam bu Tere tak sadar airmata meleleh di pipinya.
"Aku akan coba bujuk Nita lagi, mungkin dia mau berubah setelah kejadian ini." bu Tere mencoba menyemangati diri nya sendiri.
...----------------...
Di samping itu, Nita di rumah sekolah memiliki teman-teman yang sama nakalnya dengan dirinya. Tanpa sepengetahuan bu Tere, dia bolos di sekolah hari itu.
"Ah, aku malas ke sekolah. Kalian mau bolos juga ngga?" tanya Nita kepada teman nga Dwi dan Anggi.
"Sama, aku juga bosan. Apalagi hari ini ada pelajaran matematika dan fisika." jawab Anggi kesal.
"Ya udah, bolos aja. Kan kita belum pernah bolos ni. Kalau sekali ngga bakalan ditanya. Asal jarak nya berjauhan, ngga ketahuan kok" ujar Dwi rajanya bolos.
"Kabur kemana kita?" tanya Nita.
"Di belakang gang sekolah ini ada warung, aku sering duduk di sana sepulang sekolah" ujar Dwi memberi saran.
"Ya sudah, kesana aja" jawab Nita dan Anggi barengan.
Dwi anak keluarga broken home, ibunya bercerai dengan ayahnya karena sang ayah selingkuh dengan tetangga mereka sendiri. Lalu sang ibu menikah lagi dengan laki-laki mata keranjang yang selalu mencari kesempatan menggoda Dwi.
Dwi mencoba memberitahukan ibunya, malah dia yang dituduh menggoda sanga ayah tiri. Akhirnya Dwi memilih lebih lama di luar daripada di rumah sendiri.
Beda lagi dengan Anggi, anak orang kaya yang orangtuanya sibuk bekerja. Dia memiliki segalanya, uang saku jumlahnya banyak, apa yang dia mau pasti dia dapatkan. Tapi dia kehilangan kehadiran orangtua. Akhirnya dia juga memilih sering bermain dengan temannya daripada cepat-cepat pulang ke rumah tapi mendapati rumah kosong.
Orangtuanya seringkali pulang di jam makan malam saja, sehingga waktu mereka bertemu juga sebentar. Hal ini membuat Anggi jadi muak.
Sebenarnya Nita iri dengan Anggi, dia lebih memilih tidak mendapatkan kasih sayang daripada tidak punya uang.
Di lain pihak, Anggi justru iri dengan Nita yang memiliki ibu dan ayah yang menyayangi nya. Juga kedua abangnya yang selalu mengalah kepada Nita.
Dwi juga iri melihat keluarga Nita, karena dia tidak mendapatkan kasih sayang seperti Nita.
Lucu kan? Manusia memang tidak pernah puas. Dan pertemanan mereka juga diselubungi dengan iri hati, tapi karena saling membutuhkan, akhirnya mereka menjadi anak nakal bersama-sama.
"Kenapa bolos?" tanya Dwi.
"Huh...kemaren tuh buat aku kesal." Ujar Nita geram.
Dia tidak sadar, kedua temannya ini memang sedikit mengharapkan Nita juga mengalami nasib yang tidak enak seperti mereka, sama-sama tanpa kasih sayang.
Akhirnya Nita menceritakan semua yang dialami nya kemarin kepada Dwi dan Anggi.
Mulut kedua anak ini langsung menganga mendengar cerita Nita.
"Ngga masuk di akal deh, kayak cerita dongeng aja lah." celutuk Dwi.
"Iya, mana ada orang tua angkat yang sayang ke anak angkat melebihi anak kandung." timpal Anggi juga.
"Kan udah ku bilang, ini nyata." Nita menjadi marah.
"Ya, oke deh kami percaya. Lalu sekarang kamu mau ngapain? Toh mereka kan sayang sama kamu." tanya Dwi lagi tergelitik.
"Aku mau buat masalah, biar mereka rasakan bagaimana susahnya ngurus aku. Jika saja dulu aku diambil orang lain, hidupku ngga bakalan sesusah ini." ujar Nita.
Dwi dan Anggi hanya saling bertukar pandang, pandangan mereka saling beradu dan saling tersenyum.
"Yah, ada teman sesama kekurangan kasih sayang." gumam Dwi.
"Hidupnya juga hancur mirip aku." pikir Anggi.
"Ya udah lah, sekarang kita santai-santai dulu di warung itu. Mau makan apa nanti aku yang bayar." ujar Anggi menggeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.