Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Unit 812
Bu Ratna berdiri di ambang pintu, menatap Raka dan Dedi dengan ekspresi tajam. Udara di koridor terasa lebih dingin dari biasanya, seolah hawa malam ikut mendengar percakapan mereka.
“Masuk,” katanya pelan, kemudian berbalik masuk ke dalam apartemennya.
Raka dan Dedi saling berpandangan sebelum akhirnya mengikuti wanita tua itu masuk ke unit 311.
Unit 311 terasa berbeda dibandingkan unit lain di Sky Haven Residence. Tidak seperti unit modern lainnya, ruang tamu Bu Ratna dipenuhi perabotan kayu klasik dan pajangan antik. Cahaya lampu kuning temaram membuat suasana semakin terasa suram.
Bu Ratna duduk di sofa tua, menyilangkan tangannya di atas lutut. “Duduklah,” ujarnya sambil menunjuk kursi di hadapan mereka.
Raka dan Dedi menurut.
Setelah beberapa detik keheningan, Bu Ratna akhirnya berbicara.
“Kalian bertanya tentang unit 812… Apa yang sebenarnya sudah kalian lihat?”
Dedi menelan ludah, masih terbayang sosok yang mereka lihat di lorong tadi. “Kita lihat ada seseorang… berdiri di depan unit itu. Tapi katanya unit itu kosong.”
Bu Ratna mengangguk pelan. “Tentu saja kosong.” Ia menatap mereka dalam-dalam. “Karena tidak ada seorang pun yang berani tinggal di sana setelah kejadian itu.”
Raka mengernyit. “Kejadian apa?”
Bu Ratna menarik napas panjang sebelum mulai bercerita.
________________________________________
Lima Tahun Lalu
Dulu, unit 812 ditempati oleh seorang pria bernama Faisal Putra. Faisal adalah seorang pegawai kantoran biasa, tidak banyak bicara, dan jarang berinteraksi dengan tetangga. Setiap harinya ia berangkat pagi dan pulang larut malam, sehingga hampir tidak ada yang benar-benar mengenalnya.
Namun, ada satu kebiasaan Faisal yang aneh.
Setiap pukul tiga pagi, terdengar suara langkah kaki berat dari dalam unitnya. Bukan langkah biasa, melainkan seperti seseorang yang sedang menyeret sesuatu.
Tetangga di lantai delapan sering mendengar suara itu, tapi tidak ada yang berani bertanya langsung kepada Faisal. Hingga suatu malam, seorang penghuni bernama Hendra merasa terganggu dan mengetuk pintu unit 812.
Tidak ada jawaban.
Tapi suara langkah kaki… terus terdengar.
Hendra semakin kesal dan mengetuk lebih keras. “Pak Faisal, bisa lebih pelan sedikit?” teriaknya.
Hening.
Tidak ada jawaban.
Namun, tepat ketika Hendra berbalik untuk kembali ke unitnya…
Pintu unit 812 terbuka sendiri.
Hendra menoleh kembali. Tidak ada siapa pun di balik pintu.
Namun, dari dalam kegelapan unit itu, ia melihat sesuatu yang bergerak di dalam—bayangan gelap, tinggi, dengan postur membungkuk yang aneh.
Hendra mundur perlahan, merasakan bulu kuduknya berdiri.
Dan kemudian…
Suara langkah kaki itu tiba-tiba terdengar tepat di belakangnya.
Hendra berteriak dan langsung berlari kembali ke unitnya.
Sejak malam itu, ia tidak pernah lagi berbicara tentang unit 812.
Dan sebulan setelah kejadian itu… Faisal menghilang tanpa jejak.
Kembali ke Masa Sekarang
Bu Ratna menghela napas panjang setelah menyelesaikan ceritanya. “Polisi sempat datang untuk menyelidiki, tapi tidak ada bukti bahwa Faisal pergi atau dibawa seseorang. Barang-barangnya masih ada di dalam apartemen, bahkan kopinya masih ada di meja, seolah ia hanya keluar sebentar.”
Dedi menggigit bibirnya. “Dan nggak ada yang lihat dia keluar?”
Bu Ratna menggeleng. “Tidak ada. Tidak ada CCTV yang menangkap rekaman dia pergi. Seolah dia… menghilang di dalam unit itu sendiri.”
Raka diam, mencerna cerita itu.
“Tapi kenapa datanya dihapus?” tanya Raka akhirnya. “Kenapa apartemen ini seolah menutupi kejadian itu?”
Bu Ratna tersenyum tipis, tapi matanya tidak menunjukkan kehangatan. “Karena ini bukan satu-satunya kasus. Beberapa penghuni lain yang pernah tinggal di unit itu juga menghilang tanpa jejak. Pihak apartemen tidak ingin reputasi mereka hancur, jadi mereka menghapus catatan penghuni yang menghilang.”
Dedi bersandar ke belakang, merasa mual. “Jadi… bukan cuma Faisal?”
Bu Ratna mengangguk. “Sebelum Faisal, ada dua penghuni lain yang menghilang dengan cara yang sama.”
Raka merasa tengkuknya semakin dingin. Ia ingat sesuatu yang dikatakan Dedi sebelumnya.
“Tadi… saat gue cek data di komputer administrasi, gue sempat lihat nama penghuni lama sebelum datanya tiba-tiba menghilang.”
Bu Ratna menatapnya dengan tajam. “Siapa namanya?”
Raka menelan ludah. “Bayu Lesmana.”
Hening.
Dedi menatap Raka dengan ekspresi ngeri. “Lo serius?”
Raka mengangguk. “Kenapa?”
Bu Ratna menggigit bibirnya, raut wajahnya berubah. “Bayu Lesmana…” katanya pelan. “Itu nama penghuni terakhir yang pernah tinggal di unit 812 sebelum Faisal.”
Dedi tampak semakin tidak nyaman. “Terakhir? Maksudnya?”
Bu Ratna menatap mereka dalam-dalam.
“Karena Bayu Lesmana adalah penghuni pertama yang menghilang.”
Langkah ke Unit 812
Malam semakin larut di Sky Haven Residence. Lampu-lampu di lorong sudah banyak yang dipadamkan, menyisakan hanya cahaya remang dari emergency light yang membuat suasana semakin mencekam.
Setelah mendengar cerita dari Bu Ratna, Raka dan Dedi kembali ke ruang keamanan. Namun, rasa penasaran mereka semakin menjadi-jadi.
“Mas Raka, kita beneran mau ke unit 812?” bisik Dedi, wajahnya penuh keraguan.
Raka menghela napas panjang. “Kalau kita nggak ke sana, kita nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Dedi menelan ludah, lalu menatap layar CCTV. Koridor lantai delapan tampak kosong. Pintu unit 812 tertutup rapat, tanpa tanda-tanda kehidupan.
Namun, satu hal membuat Dedi merasa tidak nyaman.
Bayangan aneh di lantai.
Di layar CCTV, tampak ada bayangan gelap yang terlihat samar di depan unit 812. Namun, anehnya, tidak ada siapa pun di sana.
“Mas…” suara Dedi melemah. “Lihat itu.”
Raka menajamkan pandangan. Bayangan itu tidak diam—perlahan bergerak ke arah kamera.
Namun sebelum bisa terlihat jelas, layar CCTV mendadak berkedip, lalu berubah menjadi hitam.
Dedi langsung mundur, mengumpat pelan. “Sial! CCTV-nya mati!”
Raka mengeratkan rahangnya. Ini bukan kebetulan.
“Kita harus ke sana sekarang,” katanya akhirnya.
Dedi ingin menolak, tapi dalam hatinya ia tahu bahwa mereka sudah terlibat terlalu dalam.
Mereka mengambil senter dan kunci cadangan unit dari laci kantor keamanan sebelum berangkat menuju lantai delapan.
Koridor Lantai 7 – Unit 812
Lorong lantai tujuh terasa lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Tidak ada suara penghuni lain, tidak ada suara TV dari kamar-kamar lain.
Seolah seluruh lantai ini hanya milik mereka… dan sesuatu yang bersembunyi di unit 812.
Dedi menggenggam senter dengan tangan sedikit gemetar. “Mas… kita beneran mau masuk?”
Raka tidak menjawab. Ia berdiri di depan pintu unit 812, merasakan hawa dingin menjalar di tengkuknya.
Pelan, ia memasukkan kunci cadangan ke lubangnya.
Klik.
Pintu 812 terbuka sedikit, mengeluarkan suara decitan panjang yang nyaring di keheningan malam.
Di dalamnya… gelap total.
Dedi menyorotkan senter ke dalam ruangan. Debu tebal menutupi lantai, tanda bahwa ruangan ini memang sudah lama tidak dihuni. Semua furnitur masih ada—sofa, meja, rak buku—seolah pemiliknya pergi begitu saja tanpa membawa barang-barang mereka.
Namun ada sesuatu yang aneh.
Di lantai, terdapat jejak kaki.
Dedi tersentak. “Mas… ini jejak kaki siapa?”
Raka berjongkok, memperhatikan jejak itu dengan saksama. Jejak itu menuju ke dalam kamar tidur.
Dan lebih buruknya lagi…
Jejak itu hanya ada yang masuk. Tidak ada jejak keluar.
Raka menegakkan tubuhnya, mengambil napas dalam.
“Dedi, tetap dekat gue.”
Dedi mengangguk, berusaha menenangkan diri.
Mereka berjalan perlahan ke dalam unit, mengikuti jejak kaki itu.
Saat mereka sampai di depan pintu kamar, tiba-tiba…
Pintu kamar itu berguncang keras, seperti ada seseorang di dalam yang berusaha keluar.
Dedi mundur seketika, jantungnya hampir copot. “Mas! Itu apa?!”
Raka menggenggam gagang pintu dengan ragu. Ia bisa merasakan sesuatu… ada sesuatu di balik pintu ini.
Perlahan, ia memutar gagang pintu dan mendorongnya terbuka.
Di dalam kamar, gelap pekat.
Namun, di tengah ruangan, ada sesuatu yang membuat mereka membeku.
Di dinding, terlihat tulisan besar berwarna merah.
“AKU MASIH DI SINI.”
Dedi hampir menjatuhkan senter. “Mas… ini darah?”
Raka tidak menjawab. Matanya terpaku pada lemari besar di sudut kamar.
Dari celah pintunya yang sedikit terbuka, ada sesuatu yang bergerak.
Seseorang… atau sesuatu… sedang bersembunyi di dalamnya.
ke unit lantai 7