aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
langkah dalam dilema
Keesokan harinya, suasana pagi di desa yang tenang terasa lebih sejuk, meski langit sudah mulai cerah. matahari perlahan menerobos tirai jendela kamar, menciptakan kilauan hangat yang menyentuh permukaan lantai kayu. suasana yang damai itu masih terasa memenuhi ruangan, meski tanpa bantuan pendingin ruangan.
di salah satu kamar, Alda terlelap dengan tenang, tubuhnya tampak lelah setelah perjalanan panjang yang sudah ia lalui. namun, di kamar ini jugalah, Rama sudah membuka mata lebih dulu. tepat pukul 5:00 pagi, ia terbangun dan menyadari bahwa hari ini adalah hari pertama dia bekerja di kebun kopi. ia melihat Alda yang masih terlelap, wajahnya tampak lelah, dan sepertinya membutuhkan waktu lebih banyak untuk beristirahat.
Rama perlahan beranjak dari tempat tidurnya. memastikan tidak membuat suara yang bisa membangunkan Alda. Rama mempersiapkan dirinya untuk berangkat bekerja, mulai dari mandi sampai mengenakan pakaian kerjanya dengan hati-hati. setelah memastikan semua barang yang diperlukan sudah siap, Rama melihat ke arah Alda untuk terakhir kalinya sebelum keluar.
"aku berangkat dulu, Da," bisiknya pelan, meskipun ia tahu Alda tidak bisa mendengarnya.
Rama pun meninggalkan kamar dengan jangkah pelan, dan keluar dari rumah singgah mereka. di luar, teman-temannya sudah menunggu dengan mobil yang siap mengantarkan mereka ke perkebunan kopi.
setelah menempuh kurang lebih 15 menitan, sampailah rombongan ini pada tujuan mereka. udara di sekitar perkebunan terasa segar, dengan aroma khas daun kopi yang masih basah karena embun pagi. para pekerja lokal sudah bersiap, menunggu arahan dari tim mereka.
di antara orang-orang yang menyambut, Rama tak menyangka akan melihat Karina di sana. wanita itu tampak santai dengan pakaian kasual, tetapi tetap menunjukkan wibawa. ia berdiri tak jauh dari kelompok pekerja, seolah menunggu kesempatan untuk berbicara.
Rama menegakkan bahunya, berusaha tidak menunjukkan ekspresi apa pun. sejak tadi, ia menghindari tatapan Karina, fokus pada pekerjaannya. mereka mulai bekerja dengan profesional, membahas kualitas biji kopi, proses pemilihan, dan teknik pemrosesan yang harus diterapkan. semua percakapan hanya berputar di seputar kopi, tanpa ada celah untuk topik pribadi.
setiap kali Karina mencoba mendekat, Rama dengan halus menjauh. bukan karena ia membenci keberadaan wanita itu, tetapi karena ia tak ingin membahas hal yang seharusnya sudah berlalu. terutama soal Nayla.
waktu terasa berjalan cepat. tepat pukul 2 siang, pekerjaan mereka selesai. Rama dan rekan-rekannya berpamitan, bersiap kembali ke rumah singgah. Karina mengangguk saat mereka berpamitan, tampak menerima kepergian mereka begitu saja. namun, tanpa disadari, gadis itu justru membuntuti rombongan Rama dari kejauhan.
saat tiba di rumah singgah, Rama terkejut melihat Alda sudah ada di teras. gadis itu tampak baru saja selesai menyapu halaman, tangannya masih memegang sapu. ia tersenyum tipis saat melihat Rama turun dari mobil.
dengan segera, Alda langsung menyambutnya. dengan senyum lembut, ia berjalan mendekat, lalu tanpa ragu, ia meraih tangan Rama dan menciumnya dengan penuh hormat. setelah itu, ia sedikit menunduk, sungkem layaknya seorang istri yang menghormati suaminya.
Rama sedikit terkejut, namun ia tidak menolak. ia hanya menatap Alda sesaat sebelum akhirnya tersenyum tipis.
"maaf, aku tadi tidak sempat menyiapkan sarapan untukmu," ucap Alda dengan nada bersalah. "harusnya aku bisa bangun lebih pagi, karena itu kewajiban ku, maaf Ram"
Rama menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Da. jangan berlebihan seperti ini, kesehatan mu lebih penting dari apapun, jangan merasa bersalah ya, itu hanya masalah kecil." dengan penuh kelembutan Rama mencoba menenangkan Alda yang masih bertahan dirasa bersalah nya.
"tadi aku sudah belikan makanan untuk makan siang mu, Ram. ingin bersih-bersih dulu atau langsung makan?"
Rama tersenyum tipis mendengar perhatian Alda. ia bisa melihat bagaimana wanita ini benar-benar merasa bersalah, meskipun baginya itu bukan hal besar.
"sepertinya aku akan bersih-bersih dulu, Da. baru makan," jawab Rama santai.
Alda mengangguk mengerti. "baik, kalau begitu aku siapkan makanannya dulu. nanti kalau sudah selesai, langsung makan, kan?"
"iya," balas Rama sebelum melangkah masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri.
Alda memperhatikan punggung Rama yang menghilang di balik pintu. ia menghela napas kecil, lalu beranjak ke dapur untuk menyiapkan makanan. namun, sebelum sempat masuk ke dalam rumah, suara langkah kaki membuatnya menoleh.
di depan pagar, seseorang berdiri dengan tatapan tajam. dia adalah.... Karina.
Alda tidak langsung bereaksi, hanya diam menunggu wanita itu berbicara lebih dulu. Karina melangkah masuk dengan santai, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat suasana terasa berbeda.
"jadi, kau ini istrinya Rama?" Karina membuka percakapan dengan nada datar, tetapi jelas mengandung makna.
Alda tidak terkejut. dengan tenang, ia mengangguk. "iya."
Karina menyilangkan tangan di dadanya, menatap Alda dengan pandangan menilai. "sejak kapan kau mengenal Rama?"
Alda berpikir sejenak sebelum menjawab, "tidak terlalu lama," Alda sengaja berbohong tentang ini, bermaksud hanya ingin memancing reaksi Karina selanjutnya.
"begitu?" Karina menyipitkan mata. "dan kau langsung mengajukan diri untuk menikah dengannya? kenapa?"
Alda tetap tenang. "itu keputusan yang harus aku ambil saat itu."
Karina tertawa kecil, tapi nadanya terdengar sinis. "kau menikah tanpa berpikir panjang? apa kau tidak tahu tentang Nayla?"
nama itu akhirnya keluar. Alda bisa merasakan ketegangan yang tersirat dalam pertanyaan Karina.
"aku tahu," jawab Alda jujur. "tapi masa lalu tetaplah masa lalu. aku tidak bisa menilai sesuatu yang sudah terjadi sebelum aku ada dalam hidupnya."
Karina menyipitkan mata. "apa kau benar-benar tidak peduli dengan siapa dia sebelumnya?"
Alda menggeleng pelan. "aku peduli dengan Rama yang sekarang. masa lalunya bukan urusan yang harus aku campuri."
Karina tertawa kecil, entah mengejek atau kagum. "jawabanmu cukup bijak, tapi kau yakin bisa bertahan? kau pikir Rama benar-benar sudah melupakan semuanya?"
lagi-lagi Alda tidak langsung menjawab. ia tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang. matanya menatap Karina tanpa gentar, meskipun ia tahu wanita di depannya ini membawa sesuatu yang tidak biasa.
"aku tidak suka ikut campur urusan orang lain," ujar Alda pada akhirnya, suaranya tetap lembut namun tegas. "kalau ini tentang Nayla dan Rama, maaf, aku tidak tertarik."
Karina menyeringai kecil, seolah sudah menduga jawaban itu. ia melangkah lebih dekat, suaranya merendah, seakan takut ada yang mendengar.
"kau pikir semuanya sudah berakhir? kau pikir Rama benar-benar sudah meninggalkan masa lalunya begitu saja?" Karina menatap Alda lurus-lurus, matanya seakan mencari celah di balik ketenangan wanita itu.
Alda masih diam. ia tidak tertarik dengan permainan psikologis semacam ini.
"kalau kau memang tidak peduli, aku tidak akan memaksa," lanjut Karina, nada suaranya terdengar hampir santai. "tapi kalau kau ingin tahu kenyataan yang sebenarnya, datanglah besok pagi ke tepi danau sekitaran sini. sendirian. jangan beritahu siapa pun, termasuk Rama."
Alda mengerutkan kening. "kenapa harus aku?"
Karina menatapnya dalam sebelum akhirnya tersenyum miring. "karena kau istrinya sekarang."
Alda hampir tertawa kecil. "dan kamu pikir aku akan langsung datang hanya karena kamu bilang begitu?"
"awalnya, aku juga tidak yakin kau akan mau," ujar Karina dengan anggukan kecil. "tapi kau orang yang cerdas, bukan? kau pasti ingin tahu seperti apa sebenarnya orang yang sudah menjadi suamimu."
Alda mendesah pelan. "aku sudah tahu siapa dia."
"tidak, nona." Karina menatapnya tajam. "kau hanya tahu versi yang ingin dia tunjukkan padamu."
hening sejenak. angin sore berhembus pelan, membawa suara dedaunan yang bergesekan.
Alda menimbang-nimbang ucapan itu. ia memang bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang lain, tapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik semua ini.
Karina sepertinya paham akan keraguan Alda. ia melangkah mundur, siap beranjak pergi. "kalau kau tidak datang, berarti kau memang memilih untuk tetap buta dengan kenyataan," katanya pelan, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan halaman rumah singgah.
Alda masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Karina yang menjauh. dalam kepalanya, pertanyaan mulai bermunculan.
apa yang sebenarnya terjadi? haruskah dia datang? atau lebih baik mengabaikannya saja?
tak selang lama, Rama baru saja muncul dengan handuk yang masih mengalungkan dileher nya, matanya sempat menyapu sekeliling halaman sebelum akhirnya menatap Alda yang berdiri di dekat pintu. ada sesuatu yang berbeda dari ekspresi gadis itu, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"ada apa?" tanya Rama setelah mendekati Alda, suaranya masih terdengar santai.
Alda menoleh sekilas, lalu menggeleng kecil. "nggak ada apa-apa," jawabnya ringan.
Rama mengernyit, tidak langsung percaya. "serius?"
"serius," Alda tetap tenang, tapi ia buru-buru mengalihkan pembicaraan. "ayo makan siang, Ram. aku akan siapkan makananmu."
Rama menatapnya sejenak, lalu menghela napas pelan. ia tidak ingin memaksa Alda untuk bicara kalau memang gadis itu tidak mau. "iya," ucapnya akhirnya.
Alda langsung berjalan lebih dulu ke dalam rumah, sementara Rama menyusul di belakang. tapi sejak tadi, pikirannya terusik oleh sesuatu.
Parfum!
Ada aroma lain yang tertinggal di sekitar sini, bukan miliknya apalagi milik Alda.
Rama sangat mengenal wangi Alda, lembut dan segar, seperti aroma bunga yang baru mekar di pagi hari. tapi yang ia cium sekarang bukan itu. Ada jejak parfum lain di udara. Aroma yang lebih tajam dan berkarakter.
Rama tidak langsung menunjukkan kecurigaannya. ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan tenang, mengambil tempat di meja makan bersama Alda. Tapi pikirannya masih berputar-putar.
Siapa yang tadi ada di sini?
di meja makan, Alda sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk, sementara Rama duduk di seberangnya, tampak melamun. tangannya memegang sendok, tetapi tidak segera bergerak. tatapannya kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Alda yang memperhatikan gelagat Rama akhirnya berdeham pelan. "Ram, kamu kenapa?" tanyanya dengan nada lembut.
Rama tersentak kecil dari lamunannya. ia menoleh ke arah Alda dan tersenyum tipis, meski jelas ada sesuatu yang masih mengganggu pikirannya. "nggak apa-apa," jawabnya singkat, kemudian mencoba menyendok supnya.
Alda mengernyit, merasa jawaban itu terlalu cepat dan terlalu dibuat-buat. ia sangat paham tentang ekspresi itu, ekspresi seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu.
"kalau nggak apa-apa, kenapa dari tadi kamu diam saja?" Alda bertanya lagi, suaranya tetap lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
Rama menatapnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas pelan. "tadi… di luar ada seseorang, ya?" tanyanya hati-hati.
Alda tidak langsung menjawab. ia bisa merasakan arah pembicaraan ini. "kenapa tanya begitu?"
"parfum." Rama menatapnya tajam. "aku tahu wangi parfummu, dan yang tadi aku cium bukan parfummu."
Alda menegang sesaat. ia tidak menyangka Rama bisa menyadari detail sekecil itu. namun, ia tidak bisa langsung menghindar, karena semakin ia mengelak, semakin Rama akan curiga.
ia meletakkan sendoknya dan menatap suaminya dengan tenang. "iya, tadi ada seseorang yang datang," akhirnya Alda mengaku.
Rama mengangkat alisnya. "siapa?"
Alda berpikir sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak langsung memberitahu semuanya. "Karina," jawabnya singkat.
Rama sedikit terkejut, lalu mengangguk kecil. "dan dia bilang apa?"
Alda masih ragu, tetapi ia tidak ingin Rama semakin curiga. "nggak banyak. dia cuma bertanya soal kita," ujarnya sambil memutar sendok di dalam supnya.
"dan?..." Rama masih menatapnya lekat.
"dan aku jawab seadanya." Alda mengangkat bahu, berusaha terlihat santai. "dia cuma penasaran dengan pernikahan kita."
Rama menatapnya lama, seperti menimbang apakah Alda benar-benar jujur atau tidak. Alda tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang, meski dalam hati ia tahu bahwa ada sesuatu yang Rama tidak percaya.
"kalau begitu, lupakan saja," ucap Rama akhirnya, sebelum kembali menyantap makanannya.
Alda mengangguk kecil, ikut kembali makan. namun, di dalam kepalanya, percakapan dengan Karina tadi masih bergema.
sementara itu, Rama juga tidak benar-benar melupakan kejadian ini. ada sesuatu dalam sikap Alda yang terasa berbeda.
dan entah kenapa, firasatnya mengatakan bahwa ini belum benar-benar selesai.