"Seharusnya aku tahu, kalau sejak awal kamu hanya menganggap pernikahan ini hanya pernikahan kontrak tanpa ada rasa didalamnya. Lalu kenapa harus ada benihmu didalam rahimku?"
Indira tidak pernah mengira, bahwa pada suatu hari dia akan mendapatkan lamaran perjodohan, untuk menikah dengan pria yang bernama Juno Bastian. Indira yang memang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Juno, langsung setuju menikah dengan lelaki itu. Akan tetapi, tidak dengan Juno yang sama sekali tidak memiliki perasaan apapun terhadap Indira. Dia mengubah pernikahan itu menjadi pernikahan kontrak dengan memaksa Indira menandatangani surat persetujuan perceraian untuk dua tahun kemudian.
Dua tahun berlalu, Indira dinyatakan positif hamil dan dia berharap dengan kehamilannya ini, akan membuat Juno urung bercerai dengannya. Namun takdir berkata lain, ketika kehadiran masa lalu Juno yang juga sedang hamil anaknya, sudah mengubah segalanya.
Apa yang akan terjadi pada rumah tangganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma Kirana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Tercengang!
Entah takdir atau kebetulan, Bu Lusi, Jenny dan anak berusia 1 tahun bernama Cecil itu sedang berada di rumah makan, tempat Indira dan Devan akan makan di sana juga.
Bu Lusi dan Jenny terkejut, melihat Indira yang masih hidup dan lebih terkejut lagi saat melihat Indira bersama anak laki-laki.
"Dia pasti pura-pura mati setelah mengambil aset dan uang Juno, lalu dia hidup bersama laki-laki kumpul kebo dan anak haramnya juga. Ih najis!" ucap Bu Lusi menghina Indira, bahkan sebelum tahu bagaimana kehidupan Indira dan Devan selama ini. Seenaknya Dia berbicara seperti itu, dan berasumsi sedemikian pedasnya.
"Iya Ma, pasti tuh. Enak banget dia bisa hidup dari uang dan aset milik kak Juno. Nggak, kita nggak bisa diem aja Ma!" seru Jenny yang kesal, mengingat aset-aset dan uang Juno diambil oleh Indira 6 tahun lalu.
"Kamu bener Jen, kita nggak bisa diam aja dan biarkan dia kesenangan seperti itu!" kata Bu Lusi yang mudah terhasut oleh kompor api dari anaknya sendiri.
Dia tidak menyangka kalau Indira masih hidup dan dia terlihat baik-baik saja. Bahkan pakaian yang dikenakannya juga terlihat elegan, berbeda dengan Indira dulu yang sederhana. Bu Lusi tidak terima Indira bahagia. Dia juga penasaran seperti apa wajah Putra Indira, karena posisinya Devan adalah membelakangi mereka berdua.
"Ayo kita kesana sekarang Ma!" ajak Jenny dengan menggebu.
"Enggak Jen, tunggu dulu sebentar." Bu Lusi meminta Jenny untuk diam terlebih dahulu sebelum melabrak Indira dan Devan. Atensinya masih tertuju pada ibu dan anak yang duduk dikursi tengah itu. Entah apa yang Bu Lusi perhatikan sampai dia begitu serius.
"Kamu mau makan apa sayang?" tanya Indira pada putranya dengan lembut, sambil melihat daftar menu yang sedang dipegang oleh Devan.
Mata Devan menelisik daftar menu itu dan mencari makanan apa yang dia ingin pesan.
"Aku mau ayam bakar Ma," putus Devan setelah dia memastikan apa yang ingin dia makan.
"Oke. Minumnya apa sayang?" tanya Indira lagi.
"Minumnya...mau jus jeruk aja Ma."
Indira menganggukkan kepalanya, dia pun memanggil pelayan ke meja tempatnya duduk untuk mencatat pesanan mereka. Kebetulan pelayan itu sedang di meja yang berada disebelah meja tempatnya dan Devan sedang duduk.
"Mbak, saya pesan ayam bakar paket 2 yang plus nasi bakar ya. Yang satunya jangan pake sambel. Terus minumnya es teh sama jus jeruk," tutur Indira yang mengatakan semua pesanannya pada si pelayan itu. Si pelayan mencatat pesanan Indira pada secarik kertas kecil yang di bawahnya dan bolpoint berwarna hitam.
"Baik bu, mohon menunggu terlebih dahulu ya!" kata si pelayan itu dengan ramah.
Indira menganggukkan kepalanya, tak lupa dia tersenyum tipis pada pelayan itu, sebelum pelayan meninggalkan mejanya untuk mempersiapkan pesanannya dan Devan.
Selagi menunggu pesanan, Indira dan Devan berbincang-bincang soal sesuatu. Devan tiba-tiba membahas soal papanya.
"Ma, Devan kan punya Papa sama Opa buyut. Apa Devan juga punya kakek sama nenek, atau bibi?" tanya Devan yang penasaran dengan keluarga Papanya. Apakah dia sama seperti anak lainnya yang memiliki nenek, kakek atau bibi dari pihak papa? Tidak mungkin papanya tidak punya keluarga.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari putranya, hati Indira mendadak sesak. Lantaran dia menyadari kalau Devan pasti ingin memiliki keluarga lengkap, seperti anak-anak lain. Memiliki kakek, nenek dan bibi.
'Maafkan Mama nak, ternyata kamu kesepian selama ini. Tapi, mama pergi jauh membawa kamu...demi keselamatan kita berdua' kata maaf itu Indira ucapkan dalam hatinya. Karenanya dia tidak mau kalau sampai Devan mengetahui tentang dirinya yang dulu sedang hamil Devan, hampir mati dicelakai orang.
"Kamu punya kok. Kamu punya nenek, kakek dan tante."
Mata Devan berbinar-binar setelah mendengar jawaban dari ibunya. Kalau dia punya kakek, nenek dan tante.
"Oh ya? Apa mereka baik Ma?" tanya anak laki-laki tampan itu sambil tersenyum.
"Mereka baik," ucap Indira sambil memaksakan sebuah senyuman dibibirnya. 'Mereka mungkin akan baik sama kamu, tapi tidak dengan mama' sambung Indira dalam hatinya.
"Kalau gitu, nanti kita juga bakal ketemu kakek, nenek sama bibi dong di rumah opa buyut?" tanya Devan semangat. Dia penasaran seperti apa nenek, kakek dan bibinya itu. Mungkin mereka akan jauh lebih baik dari papanya yang katanya selalu menyakiti mamanya. Opa buyutnya saja baik, mungkin nenek, kakek, dan bibinya juga baik.
"Iya, insya Allah nanti kita ketemu sama mereka, Nak."
Sama sekali, Indira tidak pernah menjelek-jelekkan soal Juno dan keluarganya. Dia malah tidak pernah membahas mereka kepada Devan, kecuali Devan menanyakannya. Indira juga tidak pernah menjawabnya dengan panjang lebar, hanya seadanya saja. Tidak menjelekkan mereka.
"Sayang, kamu tunggu disini ya. Mama mau ke kamar mandi dulu sebentar. Jangan kemana-mana," ucap Indira memperingatkan putranya. Indira merasa tidak tahan lagi untuk buang air.
"Oke Ma."
"Ingat kalau ada orang asing-"
"Jangan mau ikut, jangan ngomong sama orang asing!" sambung Devan yang selalu mengingat ucapan ibunya. Indira langsung mengacungkan satu jempolnya sambil tersenyum bangga pada Devan.
"Pinter!"
"Mama nggak akan lama sayang."
Tak lama kemudian, seorang pelayan datang untuk mengantarkan pesanan Indira dan Devan. Pelayan itu menyimpan makanan tersebut di atas meja Indira dan Devan.
"Mbak, bisa saya minta tolong sebentar?"
"Ya Bu?"
"Kalau mbak nggak lagi sibuk, bisa nggak mbak jaga anak saya sebentar disini? Atau lihatin anak saya, saya cuma takut anak saya kemana-mana. Saya mau ke toilet."
"Boleh Bu, kalau ibu nggak lama...saya disini sama anak ibu!" kata pelayan itu yang menyetujui permintaan tolong dari India.
"Makasih ya mbak! Saya nggak akan lama kok!" kata Indira yang lalu berlari pergi dari sana dengan terburu-buru, dia tenang meninggalkan Devan bersama pelayan itu.
Setelah menuntaskan urusannya di toilet wanita, Indira keluar dari toilet dan alangkah kagetnya dia saat melihat Bu Lusi, wanita yang masih menjadi Ibu mertuanya itu berada di hadapannya.
'Tante Lusi?'
"Kaget lihat saya? Dasar penipu kamu! Jadi selama ini kamu berpura-pura mati hah? Lalu kamu menikmati harta Juno dengan selingkuhan kamu dan anak haram kamu itu?"
Indira menghembuskan napasnya, dia memejamkan mata sebentar setelah mendengarkan tuduhan dari ibu mertuanya itu. Tidak tahukah dia, siapa yang dia sebut sebagai anak haram itu? Cucunya sendiri!
"Maksud anda apa bicara seperti ini Bu? Jangan menuduh saya seperti itu! Satu lagi, anak saya bukan anak HARAM!" sentak Indira yang sama sekali tidak takut dengan Bu Lusi, karena dia bukanlah Indira yang dulu, Indira yang selalu menunduk ketakutan ketika Bu Lusi menghinanya.
"Cih! Kamu berani melawan saya?" tanya Bu Lusi dengan kedua alis yang terangkat ke atas, seakan dia tidak percaya dengan pemberontakan Indira.
"Kenapa saya harus diam saat anda menghina saya dan anak saya? Anda bahkan menuduh saya dengan tuduhan yang tidak benar," sinis Indira dengan emosi.
Bu Lusi yang tidak tahan dengan sikap Indira, langsung murka. "Kenapa kamu marah hah? Sudah seharusnya wanita seperti kamu dihina dan diperlakukan seperti ini!"
Bu Lusi menarik hijab Indira dari belakang dengan kasar. Indira kaget dan langsung mendorong bu Lusi.
"Saya akan menuntut anda atas perlakuan yang tidak menyenangkan dan penganiayaan di tempat umum!" seru Indira dengan berani.
"Apa?" Bu Lusi kembali berdiri lalu mendekati Indira dan melayangkan satu tangannya mengarah pada Indira.
"Jangan sentuh Mama caya! Nenek jahat!" suara Devan menghentikan Bu Lusi yang tadinya akan menampar Indira. Indira pun melihat Devan bersama dengan pelayan tadi dibelakangnya. Anak laki-laki itu menghampiri ibunya dan menatap marah pada Bu Lusi.
"Beraninya mau pukul mamaku! Sini, lawan aku!" Devan mengepalkan kedua tangannya seperti akan tinju, dia menantang Bu Lusi.
Sementara itu, Bu Lusi terlihat tercengang saat melihat wajah Devan. Jantungnya seakan berhenti berdetak, begitu dia mengamati wajah yang tidak asing baginya itu. Bu Lusi membeku, menatap Devan tanpa berkedip.
****
Hai guys ada rekomendasi novel keren lagi nih siapa tahu kalian mau mampir
penyesalan mu lagi otw juno