NovelToon NovelToon
Alone Together

Alone Together

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horror Thriller-Horror / Teen School/College / Romansa
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Mara Rainey

Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).

Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.

Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 13 : Into the Abyss

                                                                                        ~Happy Reading~

Jiha melangkah pelan-pelan menyusuri selasar yang gelap. Dia mulai diliputi rasa gelisah. Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Masih sunyi. Hanya derap langkahnya yang bergema di lantai. Jiha melihat jam bandul kuno yang indah. Warnanya hitam dan terbuat dari kayu mahoni. Piringan jamnya berwarna putih dengan jarum-jarum penunjuk dan angka romawi berwarna emas. Ada satu pintu kecil yang letaknya tepat diatas angka dua belas. Mungkin burung kukuk atau apapun namanya sedang bersembunyi di dalam situ. Tertidur. Menunggu dibangunkan.

Jiha menggeleng, buru-buru mengusir cerita-cerita menakutkan yang pernah dia dengar dari teman-temannya soal arwah penunggu jam antik.

Kaki-kakinya bergerak melanjutkan perjalanan. Suara napas Jiha terdengar tidak teratur. Jangan lupa bunyi detak jantungnya yang keras sekali.

Begitu dia berpindah ke lorong berikutnya, tiba-tiba angin dingin bertiup dari arah belakang. Debaran jantungnya berpacu cepat. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya. Telapaktangan Jiha basah. Pintu di depan sana pelan-pelan terbuka, menimbulkan bunyi derit yang menyeramkan.

Jiha buru-buru putar arah kembali ke koridor yang tadi karena perasaannya mulai tidak enak.

 "Junseoook!" Jiha berseru ke dalam kegelapan, tetapi hanya kesunyian yang menjawab. "Junseoooook, aku di sini! Junseooook!"

Tidak ada sahutan.

"Junseoook!"

Pikiran-pikiran buruk berdengung di benaknya: Untuk apa cowok itu mencarinya? Toh sejak awal Junseok membencinya. Jiha terjebak hukuman detensi tolol ini gara-gara Junseok membencinya. Kenapa dia harus bersusah payah mencari Jiha? Mereka bisa kabur selagi ada kesempatan. Untuk apa mencari Jiha?

Berusaha membendung pikiran-pikiran negatif, Jiha mulai bersenandung, berusaha menghilangkan pikiran itu. Dia menyanyikan lagu yang dia ingat, menyenandungkan melodi sampai rasa takutnya mereda dan pikirannya lebih jernih. Ayo bertahanlah! Semua akan beres pada akhirnya.

Aku gila, nekat keluyuran sendiri.

Kembali, tolol! Apa yang kau lakukan jalan-jalan sendirian seperti ini?!

Tapi kembali kemana?!

Banyak suara-suara penolakan meneriakkan peringatan di kepalanya. Tapi bukannya menurut dan ambil langkah seribu, kaki Jiha terus melangkah. Hanya bola mata dan debaran jantungnya yang menggeliat gelisah.

Perasaan gusar mengiringi langkahnya, Jiha tidak sadar kemana arah yang dia tuju. Saat menoleh, hanya ada pemandangan suram yang sama.

Dimana ini?

Jiha tidak tahu. Masih belum ada tanda-tanda teman-temannya akan datang menjemput. Jiha telah melewati pintu aula, tapi itu bukan lorong yang dia harapkan. Ada meja dan beberapa kursi, lukisan di dinding, tetapi ini lorong yang asing. Saking besarnya sekolah ini, Jiha sampai bingung ini dimana. Tidak semua gedung dan lorong Seoryeong pernah dia jelajahi.

Saat Jiha mencoba mundur dan masuk ke pintu yang barusan dia lewati, tangannya tidak menemukan apa pun selain dinding kosong.

Kalian dimana?

Sekarang dia mendengar suara-suara dari belakang, suara-suara itu teredam.

Jiha melangkah mengikuti suara itu. Jalan tergesa-gesa. Berusaha tidak melirikjendela-jendela kelas yang gelap. Takut melihat bayangan sendiri.

"Pssst... psstt!"

Mulanya bisikan tadi samar-samar akibat tertelan suara hujan. Dengan hati-hati dia membuat langkah pertama, lalusatu lagi. Perasaan gelisah menggelenyar di perutnya, memburuk setiap kali melangkah.

Jantungnya seperti retak saat dia menoleh. Jiha melotot kaget, ada perempuan sedangmengamatinya dari sisi lain jendela kelas, memperhatikan gerakannya. Rambutnya panjang, bergelombang. Satu pita imut mengikat sejumput rambutnya menjadi kunciran. Perempuan itu menyunggingkan cengiran.

"Kau dihukum ya?"  dia bertanya.

Eh...

"Gurumu mana? Sudah pergi?" Perempuan itu masih menyeringai, suaranya cempreng seperti anak kecil.

Jiha menatap perempuan aneh itu, curiga campur ketakutan. "Siapa kau?"

Seringai gadis itu kayaknya permanen, tidak terhapus-hapus, dia menakutkan seperti boneka Anabelle. "Aku menemukanmu. Hihihihi~ anak nakal! Kau harus dihukum."

Merinding, Jiha melangkah mundur menjauh dari jendela itu.

Jelas ada yang tidak beres. Meski perempuan di belakang jendela sedang tersenyum ke arahnya, dia memiliki sorot mata sekeras dinding bata. Sorot matanya fokus dan menusuk.

Ada sensasi dingin merangkak naik ke leher Jiha.

Perempuan aneh itu menyeringai culas, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk kaca. Baru satu gerakan sudah membuat Jiha berjengit.

Ketukan telunjuk menjadi kepalan tinju. Satu tinju melesat menghantam jendela hingga lapisannya pecah dan bertebaran.

Tanpa pikir panjang Jiha berlari sekencang-kencangnya.

Tolong aku! Kalimat yang sama terus terulang-ulang di kepalanya.

Perempuan itu terkekeh seperti tokoh kartun, terdengar cempreng dan palsu. Jiha nyaris sampai di pintu ketika seseorang menubruk tubuhnya dari belakang. Sebelum dia sempat berdiri, perempuan berambut cokelat tadi sudah berada di atasnya, merayapi punggungnya. Lalu menangkup kedua pipinya. Jiha menangis. Tangisan pilu menyayat hati.

Si rambut cokelat tersenyum. "Sssh..." telunjuknya ditempel ke bibir Jiha. "Jangan ribut. Nanti orang-orang dengar."

"Mau apa kau? Plis... kumohon, jangan sakiti aku.." Jiha terisak.

Perempuan bermata besar itu mengelus puncak kepala gadis di bawahnya dengan gerakan lembut, mengambil sehelai rambutnya kemudian memuntir-muntir ujungnya penuh kekaguman seorang bocah. "Aku tidak akan menyakitimu."

Nyaris saja Jiha bernapas lega ketika satu kalimat lagi meluncur dari bibir merah menor perempuan aneh itu.

"Lagipula ini tidak akan sakit. Aku janji."

Elus, elus, elus.

Sorot curiga Jiha memandangi perempuan itu penuh tanya. Wajah perempuan itu tampak kejam dan tua dilihat dari jarak dekat.

"Anak pintar, anak yang manis..." Perempuan itu membelai-belai rambut panjang Jiha. "Anak baik... bonekaku sayang."

A... apa?

Perempuan berambut cokelat itu menjejalkan sarung tangan ke mulut Jiha, sangat efektif menyumpal tangisan bernada sumbang. Dia mengikat kedua tangan Jiha dengan tali. Menyeret tubuh Jiha dengan cara menarik kakinya di sepanjang lantai koridor. Perempuan itu bersenandung riang. Membawanya seperti pedagang buah membawa gerobak di belakang. Menurutnya ini cuma permainan. Permainan yang mengasyikkan. Apabila tangisan Jiha diabaikan.

Perempuan bergaun putih menyeret kedua kaki Jiha, ujung gaunnya yang panjang menyapu permukaan lantai yang dingin.

.

.

.

Taera membuka laci meja karena penasaran, dan menemukan foto lama yang sudah memudar.

Foto ayah Taera waktu muda.

Ada yang salah dari foto itu. Terutama bagian mata. Satu-satunya benda paling normal di wajah itu adalah hidung. Taera terpaku ngeri menatap dua lubang gelap di tempat yang seharusnya terdapat bola mata. Pemuda dalam foto ini kedua matanya sengaja dilubangi oleh mantan kekasih yang marah.

Mantan yang... marah?

Taera hanya tertegun memandangi foto ayahnya yang berubah jadi menyeramkan seperti ini. Merasa seluruh tubuhnya berdengung. Dia menutup mata dan menekan kedua tangannya pada pelipisnya yang berdenyut-denyut.

Mamanya juga menyimpan foto yang sama di laci meja, bedanya, foto yang disimpan ibunya menampilkan pemuda tampan dengan mata besar yang indah, cerah, penuh rasa ingin tahu. Rambut hitamnya dibiarkan tumbuh sebatas tengkuk. Lebat dan indah untuk ukuran pria muda dengan senyum cemerlang. Dia tersenyum, gigi-giginya berbaris rapi, memperindah bentuk senyum bulan sabitnya. Tampak bersemangat. Pada apa? Segala hal, mungkin. Dia jelas tidak takut akan apapun. Ayahnya dari dulu bukan tipe lemah, Taera yakin. Periang yang hanya ingin semua orang menyaksikan betapa bahagianya dia. Senyum lebar itu kentara sekali selalu terpasang di sana, tak peduli apapun yang terjadi. Tanpa peduli kepedihan apa yang menyertainya. Meski sekarang keberuntungan tidak berpihak padanya.

Keringat dingin berkumpul di pangkal lehernya. Taera kembali merasa pusing, mungkin ini gara-gara tadi menabrak pintu. Seluruh ruangan mendadak berputar. Taera mencoba meraih pinggiran meja tapi meleset dan tersandung ke belakang.

Sebuah tangan yang kuat menangkap lengannya dan menariknya berdiri. "Wah! Hati-hati, Taera-sshi..." Haekyung menepuk pundaknya dari belakang. "Ada apa?"

"Aku... aku menemukan foto ini. Ini sangat aneh." Taera mengangkat foto di tangannya.

"Itu foto siapa?"

"Foto ayahku," gumam Taera. "Aneh nggak sih?"

"Setahuku wanita tidak pernah berbuat kelewatan seperti ini pada foto seorang pria kalau memang yang bersangkutan tidak punya masalah."

Taera menghela napas, kemudian menatap tubuh bersimbah darah Seoyeon. "Jadi si nenek lampir itu yang mengirimiku paket berisi sampah?"

"Kau dan keluargamu juga dapat?" Haekyung tercekat dengan fakta ini.

"Graaaaaaaaaaaaaaaarrhhhh!" Junseok mengaum seperti singa, nyaris menjambak rambutnya sendiri. Tumpukan kertas di sisi meja jadi sasaran kemarahan, ditamparinya sampai berterbangan ke udara.

"Heh! Bisa kurangi tingkat kebuasanmu? Kau ini kenapa?!" Haekyung jengkel.

Junseok menunjuk lubang berbentuk persegi panjang di meja, tempat dimana tombol-tombol itu tersembunyi di bawah tutup kaca meja kayu mahoni. Yang ternyata berasap dan korslet, kabel-kabelnya mencuat seolah habis digunting paksa.

"Ini... ini yang kita cari, ini yang kita perjuangkan."

BRAKKK! Junseok meninju meja hingga bergetar. Satu tinjuan lagi mejanya kemungkinan hancur.

"Kau ambil kelas teknik tenaga listrik?" Haekyung berkacak pinggang.

"Apa aku kelihatan seperti orang yang mengambil kelas tenaga listrik?" balas Junseok nyolot.

Haekyung menggaruk-garuk kepalanya gemas. "Aish! Aku lupa kau tidak bisa apa-apa."

Junseok melotot.

"Selain menghajar orang sampai mampus," lanjut Haekyung.

Taera merasakan tengkuknya basah terkena percikan air dari belakang.

Eh... percikan air?

"Guys." Taera menoleh. "Jendelanya terbuka."

Cowok-cowok itu sama-sama berpaling menatap jendela, batal menyelenggarakan pertandingan tinju.

"Tadi kalian bilang di pos security ada tombol-tombol seperti itu juga, iya kan?"

Haekyung menatap Junseok. Junseok balas menatap Haekyung. Dua-duanya menyeringai.

"Hyung," kata Junseok. "Kau ke sana, aku di sini cari Jiha, bagaimana?"

"Ide bagus." Haekyung menurut tanpa basa-basi. "Aku akan ke sana. Taera, kau ikut Junseok."

Cewek itu bersiap memprotes. "Kau gila? Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi sendiri!"

Dia memegang erat pundak Taera. "Yakin mau loncat dari jendela dengan kondisimu yang seperti itu?"

Tap, tap, tap. Bunyi langkah sepatu di lorong. Berasal dari sepatu bot kulit milik pria berbadan besar.

Tap, tap. Sepatu bot itu berhenti  di depan pintu. Tiga remaja itu tidak berani mengeluarkan napas, diam mendengarkan. Sejenak ruangan itu menjadi sunyi.

"Dimana kalian anak-anak nakal?"

Haekyung menempelkan telinga ke pintu. Jika mereka tetap menunggu di sini tanpa berbuat apa-apa, bedebah itu pasti akan menerobos masuk lalu menghabisi mereka seperti tikus-tikus terperangkap di dalam sangkar.

Jantungnya berdetak kencang di dada. Pria itu berada di sisi lain pintu ini.

Sepatu bot hitam bergerigi... mantel panjang... semua itu terpampang dalam ingatan Haekyung dengan kejelasan gambar berkualitas tinggi yang jernih. Bahkan Haekyung dapat mengingat dengan jelas pria itu menggendong kapak di punggungnya.

"Lewat jendela!" Taera segera menarik tangancowok itu menjauh dari pintu. "Cepat!"

Jantung Taera berdegup kencang saat dia mengintip ke bawah melalui jendela.

"Ada semak-semak di bawah. Jangan takut."

"Hyung, sebaiknya kau duluan. Nanti tangkap Taera noona di bawah," usul Junseok.

Atas nama cinta Haekyung membungkuk ke jendela, mengangkat satu kaki melangkahi bingkai jendela, kemudian satu lagi, sial sekali ujung sepatunya tersangkut, Haekyung terpeleset ketika menginjak permukaan genteng yang basah dan licin.

Taera shock menyaksikan Haekyung terguling-guling di genteng dan terlempar ke bawah seperti guling tak bernyawa.

"Aaa-" Untungnya Taera lebih cepat membungkam mulut sebelum jeritannya menerobos lapisan dinding.

Untungnya lantai dua masih relatif dekat dengan tanah. Tubuh Haekyung mendarat di semak-semak. Itu menyakitkan, namun dia cukup yakin dia belum mati.

Mengerang dan bangkit dari semak-semak, menggerutu pada diri sendiri karena sekarang pakaiannya basah kuyup diguyur hujan. Ada daun tersangkut di rambutnya. Haekyung tolah-toleh dulu, memastikan keadaan, tidak ada seorang pun di sekitarnya.

Taera terkikik melihat cowok itu merapikan penampilannya, kemeja kusut, rambut acak-acakan, luka sabetan di pipi. Belum lagi dia tersandung saat mencoba keluar dari semak-semak.

"Noona, sekarang giliranmu," ujar Junseok. "Cepat!"

Taera tarik-buang napas dulu. Di luar sini dingin, lapisan tipis keringat menutupi kulitnya, dingin dan lembap. Mula-mulanya dia ragu. Tapi kekuatan sorot mata memang tidak pernah kalah. Taera yang berhasil dihipnotis tatapan Haekyung langsung melangkah keluar dengan gagah berani, punggung tegap, kepakkan tangan, lalu terbang begitu saja...

Ralat... tidak begitu saja.

Hapus adegan tadi!

Taera duduk, genangan air merembes ke bokongnya. Persetan genangan air, dia menjulurkan kaki rampingnya, pelan-pelan beringsut maju menggeser bokongnya di permukaan genteng yang licin seperti bocah kecil yang sedang main perusutan. Taera mengerahkan tenaga, dan dengan modal nekat dia meluncur turun. Bukan semak-semak tujuannya, dia meloncat ke dalam pelukan Haekyung. Tangan kokoh cowok itu berhasil menangkap dan menahan beban tubuh yang ditimpakan ke lengannya.

Naluri Taera menyuruhnya untuk memeluk leher Haekyung. Mereka berdua basah kuyup bareng-bareng.

Sayang sekali...

Scene ini akan terlihat romantis dalam kondisi berbeda.

"Semangaaat!" Junseok mengepalkan tinju ke udara, kemudian menjauh dari jendela.

Setelah memungut senjata di lantai, Junseok menempelkan telinganya ke pintu, tidak mendengar apa-apa, menggenggam gagangnya, mendorong pintu hingga terbuka. Tidak ada tanda-tanda kemunculan pria besar itu atau kawan-kawannya. Mereka pasti melewati salah satu dari tiga lorong yang membentang di depan mata Junseok. Entah lorong mana yang aman dilalui. Entah ke arah mana Jiha pergi. Entah di lorong mana Yoohan dan kawan-kawan.

Junseok tutup mata, lalu bergumam "Cap cip cup kembang kuncup" sambil menunjuk ketiga lorong itu secara bergantian. Telunjuk bersama dengan lagunya berhenti di lorong paling kanan. Junseok membuka mata. Pasrah oleh pilihannya sendiri. Biarkan takdir menentukan kemana arah kakinya melangkah.

Junseok melangkah menyusuri selasar. Banyak pintu di sisi kanan dan kiri. Tetapi Junseok tidak tertarik dengan pintu-pintu lain. Tujuan Junseok cuma satu, dan itu terletak di ujung aula. Pintu besar itu.

Badan Junseok tersentak, rasa pusing menyerangnya dengan tiba-tiba. Rasa sakit di kepalanya bereaksi. Kegelapan menyergap.

 

Dingin. Namun pengap di saat bersamaan. Udara terasa berat untuk dihirup. Seperti terjebak di ruang sempit ketika listrik tiba-tiba padam. Junseok berusaha membiasakan matanya. Masih gelap. Dia mencoba untuk menggerakkan tungkai-tungkai kakinya. Karena kegelapan yang menyelimuti, Junseok tidak yakin bisa menggerakkan leher, dia terlalu takut untuk menoleh dan melihat apa yang muncul berikutnya. Gelap banget! Terlalu gelap. Keadaan sekelilingnya terasa hampa.

Hingga beberapa saatsetelahnya, kegelapan sirna berganti dengan terang yang sangatbenderang, dia merasa seperti berada di stadion yang luas dengan penerangan maksimum.Matanya silau. Dia pejamkan selama satu-dua menit, lalu dibuka, memaksa keduamatanya melihat, Junseok akhirnya sadar dia sedang berada di sebuah lorong yang berbeda.

Ini mungkin koridor sekolah di tahun yang berbeda. Junseok menyadari foto hitam-putih murid-murid yang ditempel di papan pengumuman berlapis kaca. Dia amati dari dekat. Wajah dan gaya rambut mereka kuno.

Junseok mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sejauh ini tidak ada siapa-siapa. Dia sendirian.

Junseok merasa sesak di bagian dada. Ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Terbukti dari bulu kuduk yang meremang di leher belakang. Perutnya mulas. Ragu-ragu Junseok mengawasi kanan-kiri seperti pemburu yang waspada.

Perasaan merinding di lehernya semakin kuat seiring dengan langkah kakinya yang terasa berat. Junseok terus melangkah waspada. Napasnya putus-putus dan cepat. Sekarang di hadapannyamuncul seonggok tubuh. Matanya melotot seakantewas dalam keadaan terperanjat. Bekas tusukan yang seperti membabi butamerobek lapisan kaosnya dan mempertontonkan daging yang mencuat. Bukan cuma satu, dia melihat tubuh-tubuh kaku lainnya bergelimpangan di lantai, mulai menampakkan bentuk paling real.

 

Seolah belum cukup horror, tempat ini masih harus dikotori tumpukan mayat-mayat dan genangan darah. Percikannya bahkan ada yang menempel di tembok. Bau amis yang kuat menguar dan berputar-putar disini, mondar-mandir di hidungnya.

Junseok melangkahkan kaki kanannya, berusaha melangkahi tubuh orang.

KENAPA?! Tidakkah dia merasa takut?

Bukankah ini aneh?

Junseok menendang jauh-jauh rasa takutnya. Tentu saja dia tertekan. Siapapun pasti akan terguncang kalau dikelilingi mayat orang-orang ini.

Junseok melangkahi tubuh-tubuh hancur bermandikan darah, tak ingin mundur, dia terus melangkah kedepan. Selangkah lebih maju, lebih dekat, menghampiri pintu. Pelan-pelan berjinjit diantara tubuh-tubuh kaku. Mengernyitkan hidung saat mencium bau anyir yang membuat perutnya mual. Mata kosong mereka memancarkan sorot pilu yang mengerikan. Sebuah teror, entah apapun itu, melanda dan menerkam mereka habis-habisan, tepat sebelum ajal yang menyedot napas terakhir mereka.

Mayat-mayat menghilang, Junseok kembali ke tahun 2015 dalam satu perjalanan singkat menyusuri lorong dan waktu. Tidak ada lagi tumpukan mayat. Hanya koridor biasa.

Ambil napas dalam-dalam, dia mendorong pintu di depannya hingga terbuka.

Jiha pasti menuju ke aula ini. Junseok cukup yakin akan hal itu.

Semoga dia masih hidup...

Junseok kaget sendiri. Untuk pertama kalinya dia lebih mengkhawatirkan keselamatan orang lain. Luar biasa seberapa cepat situasi mengubahnya.

Dia punya senapan, itu yang paling utama.

Koridor itu gelap di depan dan di belakang.

Dentang nyaring terdengar di belakang sana. Junseok berbalik. Terlalu gelap untuk melihat apa pun. Dia mengeluarkan pemantik dari saku celana, dinyalakan, membiarkan api kecil menemaninya.

Suara gemericing lirih dan langkah sepatu berat. Junseok menajamkan telinga. Ada apa dengan tempat sialan ini? Dia boleh berpikir cuma sendirian saja di sini, walau situasi di sekeliling mereka terus-menerus menunjukkan bukti bahwa bukan cuma mereka yang bernapas disini.

Langkah kaki orang itu berat. Dap, dap, dap. Menuju tepat ke arahnya. Langkah kaki itu bergema di sepanjang koridor.

Junseok menarik napas dalam-dalam, fokus menenangkan getaran di tangannya. Keheningan, ketidaktahuan akan apa yang menghampirinya. Dia seharusnya kabur, temukan jalan keluar. Sebagai gantinya, Junseok malah berdiri di tempat membeku, menunggu.

Mendadak pusing, terpikir olehnya bisa jadi ini gara-gara bernapas terlalu keras. Dia menutup mulutnya dan bernapas melalui hidung.

Pemantik api di tangannya lama-kelamaan panas. Junseok melepaskan pelatuknya. Kegelapan yang menemaninya kali ini. Dia menunggu beberapa detik, lalu menyalakannya kembali.

Kedua lorong di depannya tampak sama, Junseok memilih kanan.

.

.

.

Dongwon sibuk menggerak-gerakkan tangannya yang diborgol ke tiang tempat tidur. Sambil meringis, dia berulang kali berontak, mencoba meloloskan tangannya. Segala cara telah dia coba, mulai dari menyusutkan jari sampai mengepalkan tangan, dengan harapan entah bagaimana borgol sialan ini bisa terlepas sendiri.

"KURANG AJAR!" geramnya emosi. "LEPASKAN AKU DASAR KEPARAT!"

.

.

.

Haekyung dan Taera didera perasaan kecewa saat melihat tombol panel di ruang penjaga ternyata mengalami nasib yang sama. Korslet, rusak parah.

"Fuck!" Haekyung menendang-nendangi pintu saking jengkelnya. "Para bajingan sialan mirip pusar ikan!"

Taera miris melihat keadaan Haekyung yang sefrustasi ini. Dia menepuk pelan pundak cowok itu. "Beb, kita belum memeriksa parkiran di belakang, parkiran khusus petinggi sekolah. Mumpung kita di luar, sebaiknya langsung ke kantor polisi."

Haekyung terdiam mempertimbangkan saran Taera. Betul juga... parkiran belakang...

Ajaibnya, mereka menemukan mobil Dongwon justru terparkir di sana. Di slot parkiran khusus kepala sekolah.

"Ini jebakan bukan sih?" Taera menatap ragu.

"Kepala sekolah sudah kumusnahkan." Haekyung melaju menghampiri mobil Dongwon.

Pintu tidak terkunci, dan kuncinya masih menancap di lubang kunci starter. Taera curiga, namun bagi Haekyung ini anugrah, mukjizat dari Tuhan. Mana pintu gerbang utama sekolah dibiarkan begitu saja tanpa digembok atau apa.

Dengan wajah cemberut, Taera berjalan dengan susah payah menuju mobil Dongwon, Ford Fairlane. Mengabaikan angin yang berputar-putar dan udara dingin menggigit.

Haekyung menyelinap di belakang kemudi dan membanting pintu. Kaki Taera terpeleset dan tergelincir saat dia lari memutari mobil dan melompat ke jok penumpang.

Roda-roda mobil itu menggelinding di jalan ketika Haekyung melajukan mobil, dia turun sebentar untuk membuka pintu gerbang lebar-lebar, lalu kembali ke belakang kemudi.

"Pelan-pelan," Taera memperingatkan. Dia memasang sabuk pengamannya dan menoleh untuk memeriksa apakah sabuk pengaman Haekyung sudah terpasang.

Haekyung mengabaikan Taera. Sambil memandang melalui kaca depan mobil yang tertutup embun dan rintik hujan, Haekyung memacu mobil melewati lampu merah tanpa memperlambat mobilnya.

"Hei! Jangan menyopir seperti ini. Ayolah!" protes Taera. "Pelan-pelan dong!" pinta Taera. Dia berpegangan pada dasbor mobil dengan kedua tangannya.

Haekyung tidak menggubris. Pohon-pohon dan tiang-tiang listrik tampak meluncur cepat diterangi lampu depan mobil.

Taera memperhatikan wajah Haekyung dalam cahaya suram dari dasbor. Rahang pemuda itu terkatup, dan pandangannya lurus ke depan, matanya penuh kemarahan, ketegangan, bercampur segala macam emosi.

Mobil itu tergelincir di luar kendali. Haekyung memutar setir mobilnya, bersusah payah untuk tidak tergelincir ke luar jalan.

Mereka meluncur di jalan. Taera biasanya suka ngebut di kegelapan. Ada saatnya dia ingin merasakan kebebasan, namun tidak malam ini. Tidak di jalanan yang penuh genangan air. Tidak dengan Haekyung yang mengemudikan mobil ugal-ugalan.

Kami bukan naik mobil. Kami terbang, pikir Taera, merasa kepanikan mencekik lehernya. Kami terbang di luar kendali.

"Haekyung! Jalan ini terlalu licin!" pekiknya. "Aku mohon padamu, pelan-pelan!"

"Hei, bisa diam tidak sih?!" bentak Haekyung tanpa sadar. "Kalau aku pelan-pelan, mereka keburu mati!"

Kaca depan berembun. Taera memicingkan mata, hampir tidak bisa melihat ke luar.

Telunjuk Haekyung mendorong tuas wiper ke atas, tidak ada air menyembur di kaca depan mobil, tidak ada pergerakan.

"Nyalakan! Kau tidak bisa melihat! Terlalu deras hujannya!" tuntut Taera.

"Rusak," decak Haekyung berkali-kali mencoba.

Taehyug menghapus kaca depan dengan lengan bajunya. Tapi hasilnya embun itu hanya tercoreng sedikit.

"Oh, please," pinta Taera. "Kita hampir tidak bisa melihat jalanan."

Haekyung menginjak pedal gas lebih kuat. Ford tua itu meraung di atas genangan air.

Aku benci bila dia emosional seperti ini, pikir Taera cemas sambil memandang lewat kaca depan yang berembun.

Dan melihat samar-samar sesosok pria berdiri di depan sana.

Eh?

Orang itu ngapain sih berdiri di tengah jalan?

Taera lantas menjerit. "Awas... BERHENTI!"

Terlambat. Ban terlanjur menginjak paku-paku yang ditebarkan di jalanan.

Haekyung membanting setir mobilnya, menginjak rem. Mobil zig-zag tak terkendali. Remnya blong, dalam kepanikan Haekyung malah menginjak pedal gas. Roda mobil berdecit-decit di atas jalan raya. Semuanya tampak kabur, jantung mereka berdetak keras.

Taera melihat wajah Haekyung yang panik ketika berjuang mati-matian mengendalikan kemudi, membanting setir kuat-kuat, ke kanan, kemudian ke kiri. Berusaha agar tidak menabrak apa pun.

Semuanya tampak berlangsung dalam gerakan lambat.

Taera menjerit dengan suara melengking ketika mobil itu malah menabrak pagar pembatas jalan. Namun jeritannya berhenti mendadak ketika Taera terlempar ke depan dan kepalanya retak menghantam dasbor.

Kegelapan memenuhi mobil ketika rimbunan rumput yang panjang menutupi kaca depan.

Taera merasakan darah hangat menetes turun dari kepalanya. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, berjuang untuk bisa melihat dalam kesakitan yang amat sangat.

Sakit...

Mobil itu terus terjun. Terjun ke jurang di samping jalan. Taera bisa merasakan mobil itu jatuh, tetapi dia tak bisa bergerak.

Dia merasakan cairan hangat mengalir turun dari wajahnya.

Merasakan gelombang rasa sakit melandanya berkali-kali.

Mobil itu terpelanting keras. Berguling. Terbalik dan berguling lagi.

Turun, terus turun.

Haekyung tidak sempat mencari-cari pegangan karena butiran batu dan tanah menggagalkan usahanya. Badannya terus meluncur turun, meluncur cepat menuruni lereng. Dia tak ingat lagi apa yang terjadi atau berapa lama gaya gravitasi membuat tubuhnya terus berguling. Sebuah akar pohon yang kokoh muncul dari arah depan. Haekyung tak bisa apa-apa lagi. Dia benar-benar kehabisan tenaga. Pasrah menerima takdir. Akar pohon itu sudah dekat dari kepalanya.

.

.

Bersambung...

1
QueenRaa🌺
Keren banget ceritanya thorr✨️ Semangat up!!
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Mara Rainey: siappp aku akan mampir. makasih juga lho udah berkenan mampir dan meninggalkan komentar serta vote. /Heart/
total 1 replies
QueenRaa🌺
satu kata untuk novel ini, SERU!
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami
Mara Rainey: Makasih bangett untuk reviewnya, aku akan berusaha lebih baik lagi dan lebih semangat lagi. senengg banget dikunjungin author favoritkuuu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!